Perguruan
Tinggi Radikal
Apridar ; Guru Besar Ekonomi dan Rektor Universitas Malikussaleh,
Aceh
|
KOMPAS,
14 Februari
2018
Setidaknya
ada dua hal yang membuat negeri ini gaduh akhir- akhir ini. Pertama karena
informasi yang sesat dan menyesatkan (hoaks). Kedua karena radikalis- me dan
intoleransi. Keduanya mengguncang dunia maya dan berimplikasi pada dunia
nyata.
Hoaks
sering kali memicu ketegangan antarmasyarakat, lebih serius lagi antarumat
beragama. Lalu, apa yang memicu radikalisme? Seperti disinggung di bagian
awal tulisan ini, tampaknya hoaks menyumbang sikap radikalisme itu. Informasi
keliru yang disebar lewat jejaring media sosial itu begitu cepat sampai ke
tangan pembaca. Sayang, meski dunia digital semakin modern, mayoritas pembaca
tak begitu bijak menyikapi informasi itu.
Begitu
menerima informasi, tanpa analisis, berupaya mencari kebenaran, lalu
menyebarkan kembali informasi keliru itu kepada pengguna akun media sosial
lainnya. Dampaknya sungguh luar biasa. Pergesekan sikap, bahkan sampai
pertikaian fisik, terjadi di masyarakat kita hanya karena satu potong
informasi yang jelas-jelas keliru.
Lalu,
bagaimana di perguruan tinggi (PT), tempat kaum terdidik berhimpun, gerbang
terdepan penjaga peradaban di Tanah Air itu? Survei Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) di 15 provinsi, tahun lalu, menyebutkan, 39
persen mahasiswa terpapar paham radikal.
BNPT
dan Polri telah menyerahkan data PT yang diduga terpapar paham radikal itu
kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Polri setidaknya
mendeteksi dua paham radikal yang paling berkembang dewasa ini, yaitu
ISIS/NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dan Al Qaeda. Kedua organisasi
itu terdeteksi pernah beraksi di Nusantara.
Mencurigai anak sendiri?
Berbicara
mengenai pencegahan paham radikalisme di PT tentu memunculkan anggapan bahwa
para orang tua (dosen/manajemen PT) sedang mencurigai anaknya sendiri
(mahasiswa). Apakah sikap ini dibenarkan? Tentu!
Dalam
literatur mana pun, tak ada orangtua yang ingin anaknya menerima paham
keliru, ilmu yang sesat, dan keburukan lainnya. Orangtua tentu ingin anaknya
memiliki pemahaman yang sedapat mungkin bisa bermanfaat bagi sesama. Dalam
bahasa lain, ini disebut toleransi.
Karena
itu, perlu dibentuk prosedur standar operasi (SOP) sistem pengawasan
mahasiswa. Tentu bukan sekadar mengawasi fisik dan aktivitasnya. Namun, jauh
lebih dalam, yaitu mengawasi sikap, kepribadian, dan perbuatannya. Untuk itu,
efektivitas dosen wali, manajemen di level jurusan harus dibenahi. Mereka
yang dipilih menjadi dosen wali atau pengelola jurusan (ketua, sekretaris,
ketua laboratorium) harus memahami esensi mendidik dan mengajar.
Dosen
dan guru sesungguhnya bukan sebatas mengajar yang mentransfer pengetahuan
kepada mahasiswa. Peran dosen dan guru jauh lebih dalam, yaitu mendidik,
maknanya bertanggung jawab akan pembentukan karakter mahasiswa tersebut.
Jadi, bukan sebatas menghabiskan jam kuliah yang tercantum dalam sistem
kredit semester.
Apakah
semua dosen memiliki kompetensi sebagai pendidik? Tampaknya belum semua
sampai ke taraf itu. Namun, jika semua dosen merenung akan itikadnya
menasbihkan hidup menjadi pendidik, esensi mendidik tersebut sama halnya
merawat anak sendiri. Itulah yang patut dicamkan semua dosen di PTN/PTS kita.
Dengan begitu, terjadinya perubahan sikap, perilaku, dan tindakan dari
mahasiswa yang diduga bersumber dari paham radikal secepat mungkin dapat
dideteksi dan diberi obat mujarab penyembuhannya.
Doktrin versus doktrin
Solusi
lainnya ialah kontra ideologi. Radikalisme dalam kajian semua pemikir dalam
dan luar negeri berkembang lewat indoktrinasi paham tertentu. Umumnya
menyitir sepenggal hadis dan ayat yang tak dibarengi dengan asbabun nuzul-nya
sehingga si penerima pesan ini langsung mengamini paham tersebut. Padahal,
sering kali paham itu salah dan bertentangan dengan agama mana pun di dunia
ini, apalagi agama Islam.
Sebagai
ideologi, tentu harus dilakukan konsep dan aplikasi penerapan ideologi pula.
Khusus untuk Universitas Malikussaleh di Aceh, konsep ini diformulasikan
dalam lembaga yang disebut Rumah Quran. Lembaga ini mengajarkan tentang Islam
moderat layaknya diterapkan organisasi umat Islam terbesar di Tanah Air,
yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Kajian
Islam dengan menghadirkan sejumlah ulama disampaikan mengikuti gaya kekinian
remaja, serta mudah dipahami, digelar dua kali dalam sepekan. Kajian ini
diikuti oleh lintas jurusan dan fakultas. Selain itu, lembaga ini berfungsi
menyiapkan kader-kader dari mahasiswa sebagai juru dakwah penyampai pesan
damai dari ajaran Islam.
Konsep
ini diharapkan mampu membendung paham lainnya, apalagi paham radikal di dalam
kampus. Program rutin ini dilakukan bukan hanya untuk mahasiwa baru,
melainkan juga mahasiswa semester lawas dalam kampus.
Kolaborasi orangtua
Langkah
lainnya yang ditempuh ialah kolaborasi antara organisasi mahasiswa,
mahasiswa, dan manajemen PT untuk menangkal radikalisme ini. Sebaik apa pun
lembaga pendidikan mengajarkan sikap demokratis, welas asih, toleransi, dan
sebagainya, jika tidak didukung orangtua, tentu akan terkikis oleh pergaulan
luar kampus.
Untuk
itu, orangtua berperan penting sebagai palang pintu utama menjaga pergaulan
anaknya. Dengan begitu, kampus dan orangtua berkolaborasi untuk menciptakan
generasi unggul, garda penjaga peradaban, dan kebanggaan bangsa itu.
Selain
itu, organisasi mahasiswa harus proaktif melihat perubahan sikap mahasiswa di
lingkungannya. Jika ditemukan, tentu saluran yang telah disiapkan kampus
menjadi tempat aduan. Saluran ini kemudian menangani dan mencari solusi.
Jangan pula diberi kewenangan organisasi mahasiswa untuk mengambil sikap
mengatasi orang yang dianggap sudah radikal itu. Dikhawatirkan akan muncul
masalah baru dan kontraproduktif dari tujuan utama mencegah paham radikal.
Kini
saatnya mengembalikan kampus sebagai tempat mendidik generasi emas Indonesia:
menyebarkan paham welas asih dan saling menghormati, menghargai perbedaan dan
pendapat. Dan, terpenting, membudayakan literasi dan terus melakukan diskusi
terbuka sebagai wujud pengembangan akademik dari waktu ke waktu.
Kampus
menjadi garda utama penjaga kewarasan bangsa. Jangan sampai terbalik, kampus
menjadi salah satu penyumbang masalah bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar