Jumat, 02 Februari 2018

Masa Depan Anak-anak "Koko" dan "Tika"

Masa Depan Anak-anak "Koko" dan "Tika"
Reza Indragiri Amriel ;  Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
                                                  DETIKNEWS, 01 Februari 2018



                                                           
Di samping menggugat cerai istrinya (sebutlah Tika), terpidana penistaan agama --sebut saja Koko-- diberitakan media juga mengajukan ke majelis hakim permintaan untuk memperoleh hak asuh atas anak-anaknya. Kilas balik, Koko sebenarnya masih beruntung. Perbuatan pidana yang ia lakukan tidak berujung pada putusan hakim berupa pencabutan hak asuh.

Permintaan akan hak asuh tergolong wajar dan hampir selalu diajukan oleh suami dan istri yang bercerai. Persoalan menjadi menarik dibahas karena Koko berstatus sebagai orang yang sedang menjalani hukuman penjara. Bagaimana prospeknya untuk memperoleh hak asuh sebagaimana isi gugatannya? Bagi saya, pertanyaan itu jauh lebih krusial ketimbang menyoal spekulasi publik tentang adanya motif beraroma konspirasi ala Thaksin di balik rencana perceraian bekas Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Satu unsur yang dipertimbangkan hakim setiap kali menyidang perkara perebutan hak asuh adalah seberapa jauh masing-masing pihak yang bercerai mampu menjadi orangtua yang efektif. Tolok ukurnya beragam, salah satunya adalah di mana anak akan bertempat tinggal. Diasumsikan bahwa anak akan bisa diasuh dengan lebih optimal jika bermukim di tempat tinggal yang kondusif bagi proses tumbuh kembangnya. Dan, ketika hak asuh diberikan ke salah satu pihak, diasumsikan pula bahwa orangtua tersebut bermukim di tempat yang sama dengan anaknya.

Syarat tempat tinggal tersebut tampaknya memosisikan Koko berhadapan dengan kartu mati. Hakim, sebagaimana awam, hampir bisa dipastikan memandang bahwa penjara sama sekali tidak layak untuk dihuni oleh anak-anak. Itu karena penjara dianggap sebagai tempat sampah bagi penjahat yang justru tengah dikucilkan dari masyarakat. Anak, pada sisi lain, adalah manusia suci yang tidak sepantasnya dicemari oleh orang di balik jeruji besi, betapa pun orang itu adalah oran tua kandung si anak sendiri.

Kontra argumen bisa saja disodorkan. Bahwa ternyata, berdasarkan studi, anak-anak yang dibesarkan oleh orangtuanya di dalam penjara bisa berkembang secara memadai. Orangtua yang diberikan kesempatan mengasuh darah dagingnya di dalam penjara juga memiliki tingkat residivisme lebih rendah daripada narapidana secara umum. Pengasuhan anak oleh terpidana di dalam penjara ternyata juga memiliki efek rehabilitasi yang positif.

Masalahnya, praktik yang dilatari oleh temuan studi di atas selama ini dikenakan kepada anak-anak yang berusia masih sangat belia. Termasuk anak-anak yang masih mengonsumsi air susu ibu dan masih amat membutuhkan kesempatan untuk membangun ikatan emosional dengan tokoh lekat utamanya. Juga, dengan kondisi anak seperti itu, narapidana yang dikenakan perlakuan sedemikian rupa niscaya berjenis kelamin perempuan. Hal-hal ini tidak bisa diterapkan terhadap Koko.

Namun karena Koko dikabarkan tidak dipenjara di lembaga pemasyarakatan umum, bisa saja fasilitas yang selama ini telah diberikan kepadanya itu dilanjutkan dengan pemberian sarana-prasarana lebih eksklusif. Yaitu, kelengkapan yang memungkinkan Koko tinggal bersama anak-anaknya sembari mengasuh mereka. Tentu, ini sebuah gagasan yang membutuhkan terobosan --berarti nyali-- luar biasa untuk dieksperimenkan.

Hingga di situ, hitung-hitungan sederhana sampai pada perkiraan bahwa hakim tidak akan memenuhi permintaan Koko untuk memperoleh hak asuh.

Tinggal satu pertanyaan: Andai istri Koko, yaitu Tika, juga memperebutkan hak asuh atas kedua anak dari perkawinannya dengan Koko, akankah majelis hakim mengabulkan permintaan Tika?

Dari sekian banyak putusan hakim, perselingkuhan bahkan perzinaan salah satu pihak yang bercerai tidak mutlak membuat hakim menyerahkan hak asuh atas anak-anak ke pihak lain. Kendati demikian, tak bisa dielakkan, perselingkuhan membuat pelakunya terkesan sebagai orangtua yang tidak stabil dan tidak bertanggung jawab. Perselingkuhan, dengan demikian, bisa saja dijadikan acuan berpikir hakim bahwa kelak jika hak asuh diberikan kepada pelaku, pihak penerima hak asuh tersebut akan berperilaku tidak bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya.

Demikian pula dari sisi anak, azas yang harus hakim pertimbangkan adalah kepentingan terbaik anak. Kepentingan (baca: kebutuhan) anak tidak sebatas kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan moral. Orangtua seharusnya merupakan mercusuar moral bagi anak. Seberapa legitimate orangtua yang berselingkuh layak menjadi model ideal tentang moralitas bagi anak, hakim akan menakarnya.

Terdapat sejumlah alternatif tentang pihak-pihak yang nantinya bisa majelis hakim putuskan untuk menjadi pemegang hak asuh atas anak-anak Koko dan Tika. Pertarungan memperebutkan hak asuh tidak tertutup kemungkinan akan lebih mendidih ketimbang induk permasalahan yaitu perceraian antara Koko dan Tika. Apalagi karena perceraian konon dilatarbelakangi oleh perselingkuhan, dan skandal itu dilakukan saat Koko sedang menjalani masa sebagai pesakitan, efek pengkhianatan berpotensi memantik permusuhan dan kebencian nan dahsyat antarpihak.

Perceraian, perebutan hak asuh, berlanjut dengan penutupan akses terhadap mantan pasangan untuk berhubungan dengan anak. Itulah kasus segitiga maut yang paling banyak diadukan ke Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Seiring meningkatnya kasus-kasus perceraian, meninggi pula peristiwa penutupan akses.

Berhadapan dengan pengaduan masyarakat perihal segitiga maut, mediasi antarpihak patut dikedepankan. LPAI berupaya meyakinkan ayah (mantan suami) dan bunda (mantan istri) bahwa terbukanya akses bukan hanya kebutuhan mantan pasangan, tetapi juga kebutuhan hakiki anak. Sepanjang tidak ada alasan pembenaran, orangtua pelaku penutupan akses akan diperingatkan bahwa tindakannya tersebut tidak bisa dibenarkan.

Ketika langkah mediasi menemui jalan buntu, dan situasi penutupan akses semakin buruk, sudah selayaknya disusun rekomendasi bagi penerapan langkah pidana untuk menjebol tembok yang menutup akses anak-orangtua. Bagi sebagian kalangan, rekomendasi tersebut barangkali akan dinilai brutal. Tetapi semuanya harus sepakat bahwa, demi kepentingan terbaik anak, penutupan akses anak-orangtua pada akhirnya harus disikapi tegas sebagai situasi yang salah. Orangtua yang menutup akses, atas dasar itu, harus diposisikan sebagai pelaku kekerasan terhadap anak.

Putuskan Sendiri

Dengan penuh empati, saya terutama membayangkan beratnya kehidupan yang barangkali dilalui Koko suatu saat nanti. Dalam perkara perebutan hak asuh, di samping terhambat oleh statusnya sebagai narapidana, Koko --sebagaimana yang dialami para lelaki lainnya-- harus bertarung melawan mitos bahwa perempuan (mantan istri) niscaya merupakan manusia nomor wahid dalam urusan pengasuhan. Risiko terburuk bagi Koko adalah hidup di bui, ditinggal istri, jauh dari buah hati. Adakah dunia yang lebih sunyi daripada itu?

Bagaimana atmosfer persidangan perceraian serta penentuan hak asuh antara Koko dan Tika nantinya, saya berharap tulus awan teduh akan menaungi ruang sidang. Dalam keadaan ketika biduk perkawinan tidak mungkin diselamatkan, daripada menyerahkan keputusan tentang hak asuh kepada majelis hakim, padahal sangat mungkin akan berujung sangat menyakitkan, lebih arif seandainya Koko dan Tika membangun kesepakatan mengenai masalah itu di luar persidangan.

Satu kata untuk membesarkan anak-anak yang dibangun secara mandiri mudah-mudahan akan lebih memuaskan Koko dan Tika. Di atas itu semua, lebih memungkinkan terpenuhinya kepentingan terbaik anak-anak secara maksimal. Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar