Generasi
Tanpa Kantor
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Generasi Milenial yang malas bangun pagi; Penggemar
susu murni dan cilok goang
|
DETIKNEWS,
01 Februari
2018
Pengangguran. Satu kata itu pernah
disematkan kepada saya—yang kegiatannya hanya berdiam diri di rumah. Mereka
pikir, saya tidak bekerja. Mereka pikir saya hanya menjalani siklus bernapas,
makan, tidur, dan berak. Tak ada yang lain. Padahal yang saya lakukan di
dalam rumah juga kerja yang menghasilkan penghasilan. Ada uang yang setiap
bulan masuk ke dalam rekening saya.
Siklus kerja seperti itu saya lakoni
setelah setahun sebelumnya keluar dari pekerjaan pada sebuah industri
perbankan. Saya merasa tidak cocok dengan lingkungan yang begitu kaku, rekan
kerja yang culas, dan atasan yang hobinya marah melulu. Ketika itu saya
menjalani rutinitas layaknya robot—tetapi masih bisa saja menggerutu.
Hari-hari berlalu dengan dingin tanpa
makna. Rasanya juga tak ubahnya kuda dalam kuasa tali kekang seorang kusir.
Bekerja menjadi beban yang menyebalkan.
Bahkan, sampai saya memutuskan untuk
resign pun, nuansa menyebalkan itu masih saja menggelayuti. Sang atasan masih
saja sempat mengomeli saya. Ada satu perkataan darinya yang mustahil saya
lupakan. Kalimat itu terlontar ketika saya mengajukan surat resign. Begitu ia
menerima surat yang saya sodorkan dan membacanya sekilas, ia berseloroh
dengan congkak, "Generasi sekarang memang cengeng-cengeng semua. Baru
setahun kerja sudah nggak kuat. Beda sekali dengan generasi saya dulu.
Generasi saya dulu mau berusaha merasakan perih dulu."
Kata-kata itu ia ucapkan dengan sok
gagah sembari menunjukkan betapa hebatnya generasi lawas. Sekaligus terkesan
menyayangkan keputusan saya yang memilih resign—lucunya beberapa bulan
sebelumnya ia pernah mengatakan saya tak becus dalam bekerja dan sebaiknya
resign saja. Dasar bos plin plan!
Baginya, keputusan saya adalah bukti
bahwa generasi sekarang—atau kita lebih mengenalnya sebagai millenials—itu
lemah. Mental generasi milenial itu seperti tempe, agar, dan keju. Sedangkan
generasi baby boomers dan generasi X mentalnya baja kualitas super. Generasi
lawas adalah mereka yang selalu identik dengan sikap bijak bestari.
Dan, atasan saya di kantor lawas masih
saja terkungkung dalam nostalgia zaman keemasan generasinya. Kasihan! Padahal
saya menganggapnya tak lebih dari pecundang yang terjebak dalam situasi
"sudah kepalang tanggung punya banyak tanggungan". Sehingga
mustahil baginya melakukan petualangan kariernya lebih jauh dan penuh risiko.
Sedangkan saya, merasa masih dalam usia
belia dan haus akan segala bentuk petualangan karier yang seru. Meskipun
sempat juga merasa tidak tahu harus ke mana dan mengerjakan apa. Namun,
akhirnya saya memutuskan bekerja sebagai penulis lepas yang sistem kerjanya
dilakukan secara remote. Saya menjadi akhirnya sempat menjadi bagian dari
"generasi tanpa kantor".
Apa yang saya sebut "generasi
tanpa kantor" itu juga sempat disinggung oleh Yoris Sebastian dalam buku
Generasi Langgas: Millenials Indonesia (2016). Dalam risetnya Yoris
mengatakan bahwa generasi yang sering diolok-olok cengeng itu memang punya
kecenderungan budaya kerja yang berbeda. Mereka menyukai kebebasan,
kemudahan, kreativitas, tantangan, dan kolaborasi kerja yang menyenangkan.
Persis seperti lema "langgas" yang artinya juga ialah kebebasan.
Yoris juga menunjukkan data turn over
pekerja angkatan muda yang tinggi. Umumnya, generasi ini hanya butuh 1 sampai
2 tahun saja untuk memutuskan dirinya bertahan atau resign. Tetapi, menurut
Yoris hal ini bukan karena mental mereka cemen, namun karena generasi langgas
ini secara sadar paham akan pilihan hidup mereka. Yoris juga mengatakan bahwa
generasi langgas setelah resign biasanya justru beralih pada pekerjaan
kreatif yang bisa dilakukan secara remote, alias memilih menjadi
"generasi tanpa kantor."
Fenomena ini semakin kentara dengan
ditandai oleh kehadiran beberapa tempat co-working place. Di kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya co-working place bak cendawan di musim
hujan. Semuanya menawarkan berbagai fasilitas, dari wifi sampai ruangan yang
cozy. Kerja-kerja kreatif generasi tanpa kantor bisa dilakukan dengan asyik
di co-working place. Mereka pun bisa pula melakukan brainstorming dengan
rekan kerja dari berbagai background. Tentu, hal ini akan membuat kerja-kerja
menjadi lebih menyenangkan dan kaya ide.
Sekarang pun sudah banyak sekali
perkakas digital yang memungkinkan orang tidak perlu repot berangkat ke
kantor hanya untuk bekerja. Biasanya, perkakas ini sering dipakai oleh mereka
yang bekerja di industri digital start up. Ada kantor-kantor virtual seperti
platform bernama slack yang memudahkan orang untuk bekerja dan berdiskusi
bersama dalam ruang digital. Bahkan, aplikasi perkantoran bisa dikerjakan
secara online melalui fitur google docs, dan bisa disimpan di ruang digital
melalui google drive. Tanpa perlu khawatir data rusak atau lenyap karena
virus.
Jika pun ada rapat penting yang
mengharuskan tatap muka, kini orang juga tak perlu hadir di tempat rapat.
Cukup membuat teleconference dengan aplikasi seperti google hang out. Anda
bisa menghadiri rapat meski terjebak dalam mobil ketika macet, atau bahkan
melakukan rapat sembari menikmati kemalasan di atas kasur yang empuk.
Semua kerja-kerja ini tak mensyaratkan
sebuah kantor, cukup hanya dengan kuota data dan kualitas sinyal yang
mumpuni, kerja bisa tercipta. Sekali lagi, generasi tanpa kantor adalah
keniscayaan abad modern ini. Orang-orang yang melabeli generasi ini sebagai
pemalas, cemen, dan pegangguran barangkali memang belum sampai bisa memahami
betapa majunya teknologi.
Padahal, jauh-jauh hari pakar futuris
sekelas Alvin Toffler pun sudah meramalkan bahwa di masa depan kegiatan
industri bisa dilakukan di rumah, sebuah organisasi tak memerlukan struktur
formal, konsep ekonomi berbagi juga bakal makin marak. Semuanya sudah
tertulis dalam buku Future Shock yang ditulisnya pada 1970.
Jangan heran pula apabila generasi
tanpa kantor juga mulai berhenti membaca buku-buku genre motivasi. Buku-buku
motivasi perlahan akan tergusur dari rak-rak berlabel best seller toko buku.
Genre buku motivasi akan digantikan oleh genre buku bernama life enthusiast.
Jika buku motivasi melulu bicara tentang kesuksesan untuk meraih kegemilangan
materi, buku life enthusiast justru membahas tentang kebermaknaan hidup dan
cara mengelola keseimbangan hidup.
Generasi tanpa kantor tidak lagi
bekerja melulu hanya soal uang dan pangkat. Namun, jauh lebih dari itu,
mereka mencari apa yang disebut sebagai kebermaknaan—atau pada titik lain ini
juga bisa berarti sebagai sebuah petualangan batin yang menyenangkan.
Maka lengkaplah sudah karakter generasi
tanpa kantor yang unik ini. Mereka bukan generasi pengangguran tanpa visi
yang hidupnya seperti ternak yang perlu digembalakan. Generasi tanpa kantor
ialah generasi yang memenuhi tuntutan zaman teknologi. Generasi tanpa kantor
berjalan maju dengan jujur dan langkah pasti tanpa nuansa kegagahan yang
dibikin-bikin. Sebab mereka tak ingin diringkus dalam kerangka normatif yang
penuh dengan basa-basi formalitas.
Jadi sudahlah, kawanku para
"generasi tanpa kantor", jangan terlalu menganggap omongan orang
lain yang melulu mengira kerja hanya terjadi di dalam kantor berkaca yang
mewah. Mereka barangkali memang jenis manusia yang hanya bisa melihat
kebahagiaan dari seragam formal dan bilik-bilik kubikel. Kalian seharusnya
justru bersimpati kepada manusia-manusia dengan alam pikiran jadul seperti
itu.
So, baiklah, saya ucapkan selamat
berbahagia untuk kalian para generasi tanpa kantor! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar