Korupsi
di Sektor Swasta
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar Hukum Pidana;
Pengajar Program
Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
|
KOMPAS,
05 Februari
2018
Gagasan DPR untuk mengajukan
dan mengkaji ketentuan tentang korupsi di sektor swasta pada Rancangan KUHP
sebenarnya merupakan kehendak yang apresiatif.
Sebab, rancangan ini
merupakan karakter perubahan dari hukum pidana yang dinamis, baik dari sisi
tempat, ruang, maupun waktu. Pembaruan hukum pidana ini tidak saja
mempertimbangkan faktor dan asas proporsionalitas serta subsidaritas, tetapi
juga mempertimbangkan pengaruh globalisasi di bidang ekonomi serta dengan
dampak dan efeknya pada kompetensi hukum dan ekonomi.
Suap yang dilakukan pada
sektor swasta merupakan bentuk implementasi dari perbuatan menyalahgunakan
kewenangan dan perbuatan melawan hukum. Jadi, pemahaman korupsi di sektor
swasta lebih dikaitkan pada perbuatan suap. Bahkan, perbuatan suap oleh dan
di antara swasta juga sudah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang
Tindak Pidana Suap (TPK), yang meletakkan unsur ”kepentingan umum” sebagai
dasar pemidanaan.
Dengan demikian, yang
membedakan antara tindak pidana suap pada UU No 11/1980 dan pidana suap yang
terakomodasi dalam UU No 31/1999 ataupun UU No 21/2002 tentang Tindak Pidana
Korupsi (TPK) adalah bahwa tindak pidana suap hanya berkaitan dengan
perbuatan yang dinamakan private bribery. Ia tidak memiliki persyaratan pada
public official bribery, seperti hubungan antara kekuasaan dan jabatan
sebagaimana rumusan yang ada dalam TPK. Selain itu , kepentingan umum (public
interest) merupakan syarat yang melekat pada delik inti dalam UU No 11/1980,
di mana rumusan unsur ”kepentingan umum” tidak ditemukan dalam TPK.
Dengan demikian, ketentuan
ini mengandung perluasan yang tidak saja membatasi persoalan suap terhadap
kegiatan olahraga, perlombaan/festival seni saja— sebagaimana jawaban
pemerintah kepada DPR saat pembahasan RUU Tindak Pidana Suap Swasta—tetapi
juga memiliki kompetensi terhadap pelanggaran dalam segala bidang sehingga
tidak membatasi.
Adopsi
Konvensi Antikorupsi
Ketentuan korupsi di
sektor swasta ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Konvensi-konvensi
korupsi internasional dan akhirnya diikuti oleh United Nations Convention Against Corruption
2003, yang dikenal dengan UNCAC 2003, dan diratifikasi melalui UU No 7/2006,
telah mengenal korupsi di sektor swasta.
Berdasarkan konvensi di atas, baik di Eropa, Amerika, maupun Afrika,
dominasi acuan korupsi itu adalah
dalam kaitan dengan bribery (suap). Begitu pula dengan Rancangan KUHP yang
menempatkan klausul korupsi swasta sekarang ini sebenarnya juga mengacu dan
merupakan adopsi Pasal 21 UNCAC 2003.
Suap di sektor swasta,
sebagaimana diatur dalam Rancangan KUHP (yang merupakan penyesuaian dari Pasal 21 UNCAC 2003) dan pernah tercantum dalam Rancangan
Perubahan UU Korupsi berbunyi : ”Setiap orang yang dalam suatu aktivitas
ekonomi, keuangan, atau komersial menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara
langsung atau tidak langsung kepada seseorang yang menduduki jabatan apa pun pada sektor
swasta suatu keuntungan yang tidak
semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya….”
Selain itu, diatur juga
”penggelapan kekayaan pada sektor swasta” (embezzlement’s private property)
merupakan penyesuaian dari Pasal 22 UNCAC 2003. Namun, yang agak unik, kajian DPR yang akan
memasukkan klausul korupsi di sektor swasta ini mengundang polemik, yaitu
pandangan Panja DPR bahwa penempatan ketentuan korupsi swasta ini hanya
memberikan kewenangan kepada Polri dan kejaksaan untuk melakukan pemeriksaan
dan perlu melakukan revisi UU KPK
untuk menempatkan otoritas KPK melakukan pemeriksaan korupsi swasta.
Delegitimasi
institusi
Pemahaman untuk
menempatkan klausul korupsi swasta seharusnya juga mempertimbangkan untuk
menghindari kesan yang terjadi selama ini bahwa aturan korupsi sekarang ini
menciptakan adanya suatu kriminalisasi kebijakan ataupun kriminalisasi privat. Alhasil, sering kali
UU Tindak Pidana Korupsi dikatakan
berfungsi sebagai sarang laba-laba bagi perbuatan yang tidak kriminalitas
sifatnya sehingga hukum pidana bukan lagi berfungsi sebagai guard dari hukum
administrasi negara dan hukum perdata.
Meski demikian, dengan
mengesampingkan kewenangan KPK, dapat diartikan bahwa penempatan aturan
korupsi swasta pada Rancangan KUHP justru menciptakan kooptasi kelembagaan.
Bahkan, memberikan stigma diskriminasi
kelembagaan penegak hukum jika (nanti) korupsi swasta mereduksi
kewenangan KPK tersebut.
Ada pemahaman yang keliru
dengan menyatakan bahwa KPK tidak memiliki otoritas terhadap pemeriksaan
korupsi swasta karena basis KPK adalah pemeriksaan terhadap penyelenggara
negara. Kesan pandangan ini adalah
bentuk delegitimasi institusi penegak hukum, khususnya terhadap KPK dalam
menangani perkara korupsi sektor swasta.
Sebenarnya Rancangan KUHP
telah memberikan solusi atas polemik ini dengan mencantumkan aturan peralihan
pada Pasal 763 Rancangan KUHP yang
berbunyi, ”Pada saat UU ini mulai berlaku, UU di luar UU ini yang mengatur
hukum acara yang menyimpangi UU tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan hukum
acaranya tetap berlaku sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan UU
tentang Hukum Acara Pidana yang baru.”
Dengan pemahaman demikian,
UU KPK yang mengatur pula hukum acara pidana secara khusus memberikan KPK
suatu kewenangan memeriksa, tidak saja subyek, tetapi juga obyek perkara
korupsi, baik di sektor publik maupun sektor swasta yang regulasinya diatur
dalam UU Tindak Pidana Korupsi maupun (rancangan) KUHP. Hal ini sekaligus
meniadakan kesan kooptasi dan dualisme regulasi korupsi dalam sistem hukum
pidana, yaitu regulasi korupsi yang akan dibentuk berdasarkan KUHP dan yang
dibentuk berdasarkan UU di luar KUHP dengan perbedaan penanganan dari penegak
hukum, sesuai tujuan hukum pidana melakukan unifikasi dan kodifikasi
hukum.
Maknanya, KPK sebagai
lembaga penegak hukum tetap memiliki kewenangan yang sama dalam melakukan
pemeriksaan korupsi di sektor swasta. Dengan demikian, prinsip Culpae poena
par esto tetap terjaga tanpa adanya kooptasi dan diskriminasi kelembagaan
penegak hukum dalam pemberantasan korupsi pada Rancangan KUHP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar