Imlek,
Gus Dur, dan Ketangguhan Sebuah Bangsa
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Februari 2018
ENTAH,
mungkin ini hanya perasaan saya. Namun, pada 2018 ini, saya melihat dan
merasakan perayaan Imlek terasa lebih meriah dan gemerlap jika dibandingkan
dengan perayaan Natal dan tahun baru. Di berbagai mal dan kompleks perumahan
menengah ke atas, berbagai pernik Imlek dan warna merah banyak menghiasi
sudut-sudut pusat keramaian, pasar, dan pintu masuk kompleks perumahan.
Kue
bulan, boneka dua anak muda bermata sipit, cokelat, kaus, baju berbungkus
warna merah, lampion, dan simbol-simbol Imlek menjadi bagian dari tawaran
produk kekuatan komersial yang menggoda. Di tengah hujan yang selalu turun
menjelang perayaan Tahun Baru China, antusiasme komunitas warga keturunan
Tionghoa tak surut. Semua pihak tampaknya menerima bahwa Imlek telah menjadi
bagian dari perayaan dan kegembiraan masyarakat Indonesia.
Perayaan
Imlek yang meriah ini, niscaya sulit dijumpai di zaman Orde Baru. Alih-alih
merayakan Imlek, dalam praktik justru yang terjadi ialah pembatasan demi
pembatasan yang membuat ruang gerak warga keturunan tidak leluasa. Pengalaman
sejarah yang traumatik dan penafsiran sempit semangat kebangsaan telah
menyebabkan perayaan hari raya dari etnik dan komunitas yang berbeda (the
other) seolah haram dilakukan. Ruang gerak warga keturunan merayakan Imlek
mulai berubah drastis di era pemerintahan Gus Dur.
Saya
kira tidak ada warga keturunan yang tidak berterima kasih kepada Gus Dur.
Presiden kharismatik dan penuh humor inilah yang telah berjasa memberi ruang
bagi warga keturunan merayakan Imlek dan bahkan menetapkan Imlek sebagai
salah satu hari libur resmi nasional. Keputusan Gus Dur ini tentu bukan
sekadar keinginan untuk memberi kesempatan warga keturunan merayakan Imlek,
melainkan sekaligus mendorong agar masyarakat umum menggunakan waktu liburnya
untuk berwisata.
Menetapkan
hari Tahun Baru China sebagai salah satu hari libur nasional tentu bukan pula
karena Gus Dur sekadar ingin memperlihatkan simpatinya kepada warga keturunan
Tionghoa. Namun, dugaan saya karena Gus Dur ingin melatih bangsa ini agar
tidak terlalu peka dan mudah sensi pada perbedaan, yang dikhawatirkan akan
menjadi bibit-bibit bagi tumbuhnya syakwasangka.
Sebagai
guru bangsa, Gus Dur sejak lama telah dikenal sebagai seorang pemikir dan
sosok yang tidak mudah kaget dengan perbedaan. Meski Gus Dur tidak pernah
balajar secara resmi sosiologi, tampaknya ia tahu persis bahwa di mayarakat
manapun konflik ialah sebuah realitas yang inheren. Konflik ialah realitas
yang selalu hadir, hanya saja gradasinya berbeda di berbagai komunitas.
Kebijakan
negara yang sebelumnya lebih menekankan keserasian sosial, harmoni, dan
menutup-nutupi perbedaan, dalam banyak kasus justru menjadi bom waktu.
Pengalaman bangsa Indonesia selama ini telah menunjukkan bahwa hanya karena
persoalan sepele, konflik horizontal antaretnik begitu mudah pecah. Bangsa
Indonesia yang dibangun dari fondasi nilai Bhinneka Tunggal Ika, justru
seringkali rapuh karena perbedaan yang dipaksakan menjadi persamaan.
Konflik laten
Konflik,
dalam kacamata sosiologi, sebetulnya sesuatu yang tidak mungkin dihapuskan.
Jangankan berbicara dua kelompok yang berbeda keyakinan, agama, etnik atau
ideologi, yang namanya suami-istri yang saling mencintai pun, niscaya pernah
berkali-kali terlibat konflik. Menjelang tanggal tua, gaji mulai menipis atau
bahkan habis, jangan kaget jika banyak pasangan suami-istri tiba-tiba berubah
menjadi musuh bebuyutan.
Intinya
konflik ialah hal yang biasa dan pasti terjadi. Hanya masalahnya sekarang
bagaimana menjadikan konflik tetap sebagai konflik yang laten, dan tidak
eksplosif menjadi konflik yang manifes. Menghilangkan perbedaan, melarang
simbol-simbol budaya etnik yang berbeda muncul, atau melarang apa yang
diyakini harus diperlakukan sama kepada kelompok yang lain, sebetulnya bukan
jalan keluar yang menjanjikan.
Menyaksikan
pernak-pernik Imlek yang mencolok mata mungkin saja terasa menganggu dan
membuat hati sebagian masyarakat tidak nyaman. Namun demikian, ketika hal-hal
yang tidak nyaman itu terjadi berulang-ulang, salah satu implikasi yang
pelan-pelan muncul sesungguhnya ialah rasa toleransi dan menjadikan kita
tidak lagi mudah sensi dengan perbedaan.
Bagi
warga masyarakat yang selama memiliki dan telah mengembangkan hubungan yang
intensif dengan warga keturunan, mereka sah-sah saja ikut bergembira
merayakan Imlek layaknya merayakan persaudaraan. Sementara itu, warga
masyarakat yang masih ingin mengambil 'jarak' dengan etnik yang berbeda,
mereka juga sah-sah saja memilih bersikap dingin, mungkin pula bersikap
sinis, asalkan semua itu hanya dipendam dalam hati atau maksimal hanya
menjadi bahan pergunjingan di antara keluarganya.
Sepanjang
konflik masih di level yang laten, tidak usah risau dengan perayaan Imlek
atau perayaan budaya apa pun. Ketangguhan sebuah bangsa sesungguhnya akan
terbukti teruji kalau kita santai-santai saja menyikapi perbedaan di hadapan mata
kita, tak terkecuali perayaan Imlek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar