Ekonomi
Pasar Pancasila
Didin S Damanhuri ; Guru Besar Ekonomi IPB; Tenaga Ahli
Lemhannas
|
KOMPAS,
15 Februari
2018
Prof
BJ Habibie menekankan perlunya realisasi ”ekonomi pasar Pancasila (EPP)”. Hal
ini disampaikan pada pembukaan Silaturahmi Kajian Nasional Ikatan Cendekiawan
Muslim Se-Indonesia yang dibuka Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, 8
Desember 2017.
Apa
yang menarik di sini? Jawabannya adalah adanya kata ”pasar” di dalam ”ekonomi
Pancasila” itu. Dan dengan intrusi kata ”pasar” di dalamnya, diskusi dan
perdebatan ekonomi Pancasila kali ini tampak berbeda dengan yang terjadi di
akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Yang terakhir ini, karena diwarnai suasana
Perang Dingin, ada kesan tekanan ideologis dalam perdebatan ”ekonomi
Pancasila”. Dalam arti bahwa walaupun rata-rata kaum intelektual Indonesia
adalah reproduksi pendidikan Barat, trauma sejarah penjajahan di bawah payung
imperialisme dan kapitalisme telah mendorong mereka mengartikan ”ekonomi
Pancasila” sebagai refleksi perlawanan terhadap liberalisme.
Maka,
kendati Emil Salim menekankan ”ekonomi Pancasila” yang lebih ramah kepada
sistem pasar, Arif Budiman menekankan elemen sosialisme di dalamnya, di mana
peran negara tetap diperlukan.
Lepas
dari perdebatan itu, secara empiris perekonomian Indonesia justru ditandai
kebijakan-kebijakan debirokratisasi, privatisasi, dan adopsi prinsip-prinsip
Organisasi Perdagangan dunia (WTO), yaitu pencabutan berbagai hambatan
perekonomian, baik subsidi maupun proteksi, yang dianggap menghambat arus
barang dan jasa secara global. Di sini, Indonesia didorong kian terintegrasi
ke perekonomian internasional (globalisasi). Maka, terutama pasca-Perang
Dingin, etatisme perekonomian Indonesia bertransformasi menjadi liberal.
Peran pelaku swasta kian mengemuka. Akibatnya, seperti diketahui, kebijakan
liberal ini berakhir dengan krisis dan pergantian rezim kekuasaan.
Ekonomi pasar
Dalam
banyak kesempatan memberikan kuliah dan berbagai seminar, penulis sering
menyampaikan, selain komunisme (yang kini praktis dianut hanya oleh Korea
Utara), tema pembicaraan ekonomi pasti berbasiskan sistem pasar. Akan tetapi,
harus cepat ditambahkan bahwa kata ”pasar” di sini sebaiknya dilihat dengan
hati-hati. Benar bahwa negara-negara Eropa Barat menganut sistem pasar.
Kendati demikian, aktivitas ekonomi mereka berdampingan dengan peran negara
yang menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui sistem jaminan sosial untuk
seluruh penduduk, mediator buruh dan majikan, pendorong gerakan koperasi yang
sangat efisien. Gabungan peran pasar dan negara dalam perekonomian ini
menyebabkan rendahnya tingkat kemiskinan dan meratanya pendapatan masyarakat.
Yang
lebih mengesankan, kinerja ”ekonomi pasar” ala Jepang. Dalam waktu relatif
singkat (1970-an hingga 1990-an) kinerja cabang-cabang industri negara ini
(elektronik, telekomunikasi, otomotif) mampu melampaui cabang-cabang industri
AS dan Eropa. Mengapa? Karena, melalui apa yang dikenal sebagai Japan
Incorporated, peranan negara dalam perekonomian cukup besar. Di sini, negara
bertindak sebagai medium yang secara aktif menyinergikan semua kekuatan yang
tersedia di masyarakat (swasta, parlemen, dunia riset, perwakilan-perwakilan
di luar negeri), melalui perencanaan jangka panjang, berkinerja secara
kolektif dan produktif.
Baru
pada tingkat praksisnya, negara menyerahkan seluruh wewenang kepada pihak
swasta untuk merealisasikan aksi korporasinya dalam mekanisme pasar (baik
nasional maupun global). Hasilnya, seperti dinyatakan sebuah studi, bersama
dengan Swedia, tingkat kesejahteraan buruh di Jepang termasuk yang paling
tinggi di dunia meskipun serikat buruh di Jepang tidak terlalu kuat seperti
di Eropa.
Walau
perekonomian terbesar dan secara politik dan militer serta teknologi mendominasi
dunia, ekonomi pasar AS ditandai dengan kerapuhan sosial. Ini karena peran
negara dalam masyarakat sangat minimal. Tak heran, sejak krisis finansial
2008, ada sekitar 2 juta gelandangan, penduduk tanpa rumah sekitar 12 persen,
kemiskinan (dengan garis kemiskinan jauh lebih tinggi dari negara-negara
sedang berkembang) sekitar 18 persen, di negara ini. Ini terjadi karena
negara tak aktif dalam masalah sosial. Problem kemiskinan lebih menjadi
urusan yayasan sosial, seperti yayasan Keluarga Kennedy, Rockefeller, dan
Ford.
Sejak
pemerintahan Obama dari Partai Demokrat, negara berusaha hadir dengan membuka
akses kesehatan melalui UU yang dikenal sebagai Obamacare. Namun, di bawah
Trump, kebijakan pro-rakyat ini justru dihapus lewat UU perpajakan baru.
Jalan Asia
Pertanyaannya,
bagaimana di Asia? Pandangan Prof Kishore Mahbubani—intelektual dari Lee Kuan
Yew School of Public Policy Singapura—yang disegani intelektual AS dan Eropa
karena pandangannya tentang ekonomi pasar di Asia, perlu dilihat. Menurut
Mahbubani, negara-negara di Asia menempatkan ekonomi pasar secara pragmatis
dalam apa yang disebut March to Modernity dan meramalkan keadaan sekarang dan
tren ke depan. Menurut dia, Asia akan menjadi ”Pusat Peradaban dan
Pembangunan” yang sekarang masih berpusat di negara-negara Barat.
Dalam
pandangan Mahbubani, keberhasilan banyak negara Asia (Jepang, China, Korea
Selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapura) adalah karena pelaksanaan
mekanisme pasar di perekonomian mereka berlangsung tanpa meninggalkan
nilai-nilai agama, nilai tradisional, dan dengan peran negara dan demokrasi
politik yang unik dan bervariasi. Di China, rakyat tidak hanya menikmati
kemakmuran yang jauh lebih tinggi, tetapi juga mulai terdapat kebebasan atau
demokratisasi secara riil berkat kemajuan ekonomi. Menurut penulis, jenis
ekonomi pasar Asia ini menyempal dari arus utama yang berlaku di AS dan
Eropa. Dalam Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi
Indonesia dan Negara-negara Sedang Berkembang (2014), saya menyebutnya
”Ekonomi Heterodoks”.
Di
Indonesia, di bawah Soeharto (1970-1998), meski secara politik bersifat
otoriter, ekonomi pasarnya ditandai adanya sentuhan negara di bidang
kesejahteraan. Ini terjadi melalui program-program ekonomi dan sosial, yakni
program delapan jalur pemerataan, kebijakan afirmatif pribumi, posyandu,
swasembada pangan, dan lain-lain sehingga kemiskinan turun dari 56 persen
tahun 1970 menjadi 13 persen tahun 1998.
Hal
itu dimungkinkan karena stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi rata-rata
7 persen dan kinerja industri manufaktur yang tumbuh rata-rata 18 persen.
Memang korupsinya tinggi, rata-rata sekitar 30 persen, dan birokrasinya
menciptakan kegagalan negara, tetapi sejak 1998 kebijakan ekonominya lebih
liberal, terutama karena tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) yang
memberikan pinjaman 45 miliar dollar AS untuk mengatasi krisis moneter
1997-1998 .
Reformasi
yang dilahirkan krisis itu mendorong terjadinya big-bang demokrasi politik
dan kebebasan pers serta otonomi daerah di Indonesia. Ini berpengaruh
terhadap corak kebijakan ekonomi di mana peranan ”pasar” kian membesar. Pada
gilirannya, semua ini mendorong penguasaan ekonomi oleh asing makin tajam,
misalnya bidang pangan, perbankan, pertambangan, pasar modal, dan seterusnya
serta maraknya impor barang dan jasa.
Maka,
kita menyaksikan sebuah paradoks. Di satu pihak, dunia dilanda krisis
finansial AS pada 2008 dan Eropa pada 2010, tetapi Indonesia mengalami
kinerja pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata sekitar 6 persen pada
pemerintahan SBY dan sekitar 5 persen masa pemerintahan Jokowi. Ini
menjelaskan mengapa Indonesia bergabung dalam G-20 dengan tingkat kekayaan
nasional (produk domestik bruto/PDB) terbesar ke-16 di dunia. Di lain pihak,
meski pada tingkatnya yang ekstrem telah menurun menjadi 12 persen, kalangan
yang hampir miskin (pengeluaran 2 dollar AS per hari) masih lebih dari 50
persen penduduk.
Yang
paling memprihatinkan adalah kesenjangan sosial. Sebelumnya, menurut Badan
Pusat Statistik (BPS), rasio gini pengeluaran yang sebelumnya sekitar 0,32
(2004), tahun 2012 sudah menjadi 0,413 (dua tahun terakhir ada perbaikan
sedikit menjadi 0,397 diduga karena pelaksanaan BPJS Kesehatan dan
ketenagakerjaan yang dilaksanakan sejak 2014). Apalagi kalau memakai data
pendapatan, menurut perkiraan penulis, rasio gini sekitar 0,5, artinya
kesenjangan yang sangat buruk. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi lebih banyak dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya.
Memang,
pertumbuhan orang kaya di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di
dunia. Dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
keragaman etnis, suku bangsa, agama dan lapisan sosial juga yang paling
heterogen di dunia, penerapan ekonomi pasar tanpa peran aktif negara hanya
akan membuat pertumbuhan ekonomi tinggi dengan berbagai masalah sosial dan
politik. Karena itu, bermodalkan UUD 1945 yang menuntut adanya EPP seperti
dilontarkan Habibie menjadi kian relevan.
Ekonomi pasar Pancasila
Pelajaran
sejarah pemikiran ekonomi pasca-Renaisans Eropa adalah bahwa kelahiran
ekonomi modern diawali konstruksi sekularisme. Ini berlaku baik model ekonomi
liberal, sosialisme-demokrasi, maupun komunisme. Dalam konteks ini, agama
telah terpinggirkan sekitar empat abad di dalam perekonomian. Bagaimana
proses ini bisa dinetralisasikan?
Jawabannya,
dengan Pancasila. Di sini, keempat silanya (Kemanusiaan, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan, dan Keadilan Sosial) haruslah ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan
perspektif ini, warna agama mengonstruksi EPP. Dengan demikian, EPP adalah
bagian atau mirip ”Jalan Asia” di mana karakteristik pasar/ekonomi dan
politik/demokrasi sebagai instrumen (bukan tujuan) sekaligus arena negara
membuat perencanaan jangka panjang dan semua pelaku ekonomi (BUMN, swasta,
dan koperasi) berjalan dalam mekanisme pasar
untuk mencapai kemakmuran (pertumbuhan ekonomi) yang tinggi dan
keadilan sosial (pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat). Sementara, agama
berfungsi sebagai penjamin akhlak individu, keluarga, dan negara.
Dalam
konteks terakhir ini, spiritualitas dan religiositas para pelaku (individu,
keluarga, hingga negara) harus mewarnai dalam pengelolaan dunia materi
(sumber daya alam dan sumber daya buatan, seperti teknologi, manajemen, dan
seterusnya) baik mikro maupun makro.
Best
practice-nya adalah Jepang sehingga model demokrasinya pun lebih dalam
Consensus Scenario (tak dalam terlalu ditonjolkan Conflictual Scenario).
Sementara dalam ekonomi secara makro berjalan dalam perspektif Indonesia
Incorporated dan secara mikro tetap dalam kompetisi (sehat). Nilai keluarga
dengan kesucian pernikahan menjadi dasar konstruksi sosial (individu dan
keluarga) sehingga semua aktivitas ekonomi tidak merusaknya. Kalangan yang
tertinggal dalam proteksi negara dan dibangun kelas menengah yang besar dalam
struktur belah ketupat di mana yang kaya dan miskin lebih sedikit. Untuk
Indonesia yang mayoritas Muslim, keuangan dan perbankan syariah yang
menghindari riba kian menjadi arus tengah yang mewarnai kegiatan ekonomi.
Tentu
energi keagamaan harus makin mewarnai dalam kemasyarakatan dan kenegaraan
serta menciptakan kedamaian, toleransi, dan kerja sama dalam memerangi
kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, dan keterbelakangan. Peran pemimpin dan
sistem serta regulasi menjadi sangat penting dalam pengejawantahan semua
proses pelaksanaan EPP. Dan dalam pelaksanaan EPP tersebut terdapat
pasal-pasal pokok pedoman dalam UUD 1945 dalam kerangka EPP: Pasal 23 (APBN
untuk kesejahteraan sebesar-besarnya rakyat), Pasal 27 (berorientasi
penciptaan kesempatan kerja penuh/besar), Pasal 33 (peran GBHN, ekonomi
kekeluargaan modern, SDA dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat
sebesar-besarnya, demokrasi ekonomi, efisiensi berkeadilan, kebersamaan,
keberlanjutan, dan kesatuan ekonomi nasional), serta Pasal 34 (sistem jaminan
sosial).
Bagaimana
hal itu dapat dilaksanakan? Para pemimpin dan elitelah yang harus bertanggung
jawab di mana ”demokrasi yang supermahal” yang berjalan sekarang ini sangat
menyulitkan pelaksanaan EPP yang harus direformasi supaya kondusif terhadap pelaksanaan
EPP.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar