Senin, 18 Januari 2016

Estetika Erotis yang Lain

Estetika Erotis yang Lain

Jean Couteau  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 17 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di mana dia? Berdiri di depan kasir supermarket Carrefour kota Doha, menoleh kanan-kiri, aku mencari-cari Shareen. Bagaimana akan ke rumahnya? Aku baru tiba tadi malam dari Jakarta, dan belum tahu alamatnya. Bingung…. Aku memang sulit mengetahui ke mana larinya menantuku ini: di depanku bergegas tak kurang dari 20 atau 30 ”jubah” hitam identik, tepatnya 20-30 abaya yang semuanya menutupi bukan hanya pantat, payudara, dan leher, tetapi juga ujung kaki dan bahkan kerap pula seluruh wajahnya. Cukup kontras bila dilihat di samping lelakinya, apakah yang ganteng berjubah putih dengan keffieh Arab penuh gaya, atau yang santai bercelana pendek dengan kaki berbulu. Eksotis bener untuk orang yang baru tiba dari Indonesia seperti aku ini!! Oh busana, ”bahasa” apa yang kau pakai ini?

Tetapi kini bukan saat untuk merenung. Ke mana gerangan Shareen? Tadi, baru masuk Carrefour, ketika aku lalai sebentar, di dalam sekejap dia telah menghilang, abayanya tertelan di antara lautan abaya hitam lainnya yang berkerumun di seputar rak-rak produk kecantikan wanita.… Aku makin bingung.

”Father!!” Aku berpaling kepala, kaget. Dua meter jauhnya terlihat sinar sepasang mata kecil yang menatapku dari belakang celah abaya mukanya. Shareen!! Suaranya girang. Aku lega. Kami keluar. Shareen mengambil alih kemudi, dan kami langsung menuju rumahnya.

Inilah pengalaman awalku di negeri Teluk itu. Semua serba aneh. Tetapi aku mempunyai prinsip: aku harus menyesuaikan diri, baik bila berada di pulau di mana penduduk desa menghaturkan sajen kepada roh penghuni hutan, ataupun bila mengunjungi negeri yang tidak mengenal hutan dan di mana Tuhan tak berbentuk apa pun. Maka kalau harus berlagak pria pelindung (muhrim) ala Arab, boleh saja! Mengapa tidak? Dengan ini aku boleh mengantar cucu remaja putri dan menantuku ke mana pun. Bukan perkara besar, dong… untuk orang berprinsip seperti aku ini.

”Father boleh mengantar aku ke Carrefour hanya sebagai muhrimku,” tutur Shareen sambil mengemudi. ”Tetapi, tadi, kalau Father sendirian, tidak akan diizinkan masuk: ada jam tertentu di mana supermarket ditutup bagi pria yang sendirian,” tambahnya. ”Maka di sini, kami, kaum wanita, merasa dilindungi, tidak pernah harus berurusan dengan pria hidung belang. Memang, kalau suami pulang dari kerja dengan teman prianya, kami harus menyingkir, tetapi tidak apa-apa, kan?” Aku tidak menyahut: perkataan Shareen memang ada logikanya tersendiri. Dan aku mertua yang baik.

Namun, entah kenapa, setelah beberapa kali ber-muhrim-ria di supermarket bersama Shareen, sikapku berubah. Bukan abaya yang kini menyibukkanku, tetapi tumit. Baru aku pandang, bila tumit itu menjanjikan betis, aku membayangkan lutut, dan dari lutut... ah, sialan!

Pasti Anda berpikir: ”Dasar bule yang piktor (pikiran kotor) nan sexist”. Tidaaak... lebih rumit. Sikapku ini menyangkut estetika erotis. Menurut Abdulwahab Meddeb, seorang penyair Sufi dari Tunisia, hijab/abaya budaya Timur Tengah mengandung ragam estetika yang tidak kurang erotis daripada estetika ”ketelanjangan” warisan budaya Barat. Keduanya berlandasan dialektika ”tutup-buka kain” yang sama, tetapi dengan penekanan yang bertolak belakang satu sama lainnya. Jadi, ketika aku mengamati tumit wanita Arab, aku hanya menyesuaikan diri pada estetika erotis Timur Tengah saja kok!

Aku berpikir-pikir. Apakah sudah saatnya estetika yang khas Timur ini—tetapi Timur Tengah—diterapkan di negeri kita ini? Coba lihat di Aceh! Bukankah wanitanya, termasuk ibu wali kotanya, sudah merupakan contoh terbaik dari estetika erotis di atas? Tetapi apakah memang cocok untuk negeri Candi Borobudur dan terutama Candi Boko, yang menampilkan estetika erotis berlingga-yoni yang amat gamblang? Belum tentu…. Oh, tubuh, ”bahasa” apa yang kau pakai ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar