Estetika Erotis yang Lain
Jean Couteau ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
17 Januari 2016
Di mana dia? Berdiri
di depan kasir supermarket Carrefour kota Doha, menoleh kanan-kiri, aku
mencari-cari Shareen. Bagaimana akan ke rumahnya? Aku baru tiba tadi malam
dari Jakarta, dan belum tahu alamatnya. Bingung…. Aku memang sulit mengetahui
ke mana larinya menantuku ini: di depanku bergegas tak kurang dari 20 atau 30
”jubah” hitam identik, tepatnya 20-30 abaya yang semuanya menutupi bukan hanya
pantat, payudara, dan leher, tetapi juga ujung kaki dan bahkan kerap pula
seluruh wajahnya. Cukup kontras bila dilihat di samping lelakinya, apakah
yang ganteng berjubah putih dengan keffieh Arab penuh gaya, atau yang santai
bercelana pendek dengan kaki berbulu. Eksotis bener untuk orang yang baru
tiba dari Indonesia seperti aku ini!! Oh busana, ”bahasa” apa yang kau pakai
ini?
Tetapi kini bukan saat
untuk merenung. Ke mana gerangan Shareen? Tadi, baru masuk Carrefour, ketika
aku lalai sebentar, di dalam sekejap dia telah menghilang, abayanya tertelan
di antara lautan abaya hitam lainnya yang berkerumun di seputar rak-rak
produk kecantikan wanita.… Aku makin bingung.
”Father!!” Aku
berpaling kepala, kaget. Dua meter jauhnya terlihat sinar sepasang mata kecil
yang menatapku dari belakang celah abaya mukanya. Shareen!! Suaranya girang.
Aku lega. Kami keluar. Shareen mengambil alih kemudi, dan kami langsung
menuju rumahnya.
Inilah pengalaman
awalku di negeri Teluk itu. Semua serba aneh. Tetapi aku mempunyai prinsip:
aku harus menyesuaikan diri, baik bila berada di pulau di mana penduduk desa
menghaturkan sajen kepada roh penghuni hutan, ataupun bila mengunjungi negeri
yang tidak mengenal hutan dan di mana Tuhan tak berbentuk apa pun. Maka kalau
harus berlagak pria pelindung (muhrim) ala Arab, boleh saja! Mengapa tidak?
Dengan ini aku boleh mengantar cucu remaja putri dan menantuku ke mana pun.
Bukan perkara besar, dong… untuk orang berprinsip seperti aku ini.
”Father boleh
mengantar aku ke Carrefour hanya sebagai muhrimku,” tutur Shareen sambil
mengemudi. ”Tetapi, tadi, kalau Father sendirian, tidak akan diizinkan masuk:
ada jam tertentu di mana supermarket ditutup bagi pria yang sendirian,”
tambahnya. ”Maka di sini, kami, kaum wanita, merasa dilindungi, tidak pernah
harus berurusan dengan pria hidung belang. Memang, kalau suami pulang dari
kerja dengan teman prianya, kami harus menyingkir, tetapi tidak apa-apa,
kan?” Aku tidak menyahut: perkataan Shareen memang ada logikanya tersendiri.
Dan aku mertua yang baik.
Namun, entah kenapa,
setelah beberapa kali ber-muhrim-ria di supermarket bersama Shareen, sikapku
berubah. Bukan abaya yang kini menyibukkanku, tetapi tumit. Baru aku pandang,
bila tumit itu menjanjikan betis, aku membayangkan lutut, dan dari lutut... ah,
sialan!
Pasti Anda berpikir:
”Dasar bule yang piktor (pikiran kotor) nan sexist”. Tidaaak... lebih rumit.
Sikapku ini menyangkut estetika erotis. Menurut Abdulwahab Meddeb, seorang
penyair Sufi dari Tunisia, hijab/abaya budaya Timur Tengah mengandung ragam
estetika yang tidak kurang erotis daripada estetika ”ketelanjangan” warisan
budaya Barat. Keduanya berlandasan dialektika ”tutup-buka kain” yang sama,
tetapi dengan penekanan yang bertolak belakang satu sama lainnya. Jadi,
ketika aku mengamati tumit wanita Arab, aku hanya menyesuaikan diri pada
estetika erotis Timur Tengah saja kok!
Aku berpikir-pikir.
Apakah sudah saatnya estetika yang khas Timur ini—tetapi Timur
Tengah—diterapkan di negeri kita ini? Coba lihat di Aceh! Bukankah wanitanya,
termasuk ibu wali kotanya, sudah merupakan contoh terbaik dari estetika
erotis di atas? Tetapi apakah memang cocok untuk negeri Candi Borobudur dan
terutama Candi Boko, yang menampilkan estetika erotis berlingga-yoni yang
amat gamblang? Belum tentu…. Oh, tubuh, ”bahasa” apa yang kau pakai ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar