Jumat, 14 November 2014

Zaman Kesempatan atau Kesempitan?

Zaman Kesempatan atau Kesempitan?

Anas Urbaningrum  ;  Ketua Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia
KORAN SINDO, 13 November 2014
                                                
                                                                                                                       


“Target saya, tiga tahun ke depan sudah swasembada beras, jagung, dan gula. Setelah produksi melimpah, ada pengembangan industri hilir. Kita harus siap. Arahnya harus fokus. Kita harus jelas mau menjadi negara seperti apa dan potensi ini besar sekali.”

Ini kutipan wawancara Presiden Joko Widodo (20/10) dengan media massa. Paparan yang sederhana, jelas, dan terang benderang. Swasembada beras, jagung, dan gula adalah target yang konkret dan mudah dicerna publik. Tentu sudah pula dibaca oleh menteri-menteri terkait yang baru dilantik.

Itulah salah satu contoh tentang apa itu fokus. Sebenarnya target swasembada beras, jagung, dan gula bahkan komoditas lain seperti daging yang sering jadi primadona berita bukanlah cerita baru. Hal yang sama pernah diucapkan presiden sebelumnya. Tetapi, mewujudkan memang tidak semudah mengatakannya, merealisasikan tidak segampang menjanjikan.

Pada konteks yang lebih makro banyak yang membayangkan dan berharap terjadi perubahan besar dalam waktu dekat. Harapan besar hadir Indonesia yang dicita-citakan selalu menyertai kedatangan pemimpin baru.

Pada kampanye Pilpres 2014 diangkat kembali semboyan Trisakti yang dulu digagas Soekarno: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Lalu ada terminologi besar “revolusi mental” yang ditawarkan Jokowi dan jabaran sembilan agenda perubahan yang diberi judul Nawacita.

Beberapa pokok penting Nawacita adalah keinginan menghadirkan kembali negara yang bekerja untuk melindungi segenap bangsa, mewujudkan kemandirian ekonomi, serta menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi. Pertanyaannya, apakah akan segera terjadi perubahan besar di negeri ini di bawah kepemimpinan Jokowi-JK?

Indikasi awal marilah kita tengok pada sambutan publik terhadap pengumuman kabinet baru. Setelah tertunda hampir seminggu dari rencana, susunan menteri yang diberi titel Kabinet Kerja itu tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Pengumuman kabinet disambut dingin, datar, dan jauh dari euforia.

Kabinet Kerja dengan komposisi personalia yang ada tidak disambut layaknya “tim impian”, melainkan “tim biasa” yang dihasilkan lewat proses politik yang berliku. Itulah realitas politik yang dihadapi Presiden di dalam menyusun kabinetnya. Meski secara legal-formal Presiden mempunyai hak prerogatif, nyatanya kabinet tidak bisa disusun sendiri, sesuai dengan visi dan kemauan sendiri, sejalan sepenuhnya dengan konsepsi dasar awal tentang pembentukan kabinet.

Realitas politiknya, Presiden bukan formatur tunggal dan Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa berduet saja dalam menyusun siapa menteri-menterinya. Realitas sosial, politik, kultural, dan kemajemukan Indonesia terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam pembentukan kabinet. Kenyataan ini tidak akan terkubur mati setelah selesai pengumuman dan pelantikan kabinet. Inilah hal pertama yang harus dilihat dan dipertimbangkan.

Kedua, sebagai presiden, Jokowi bukanlah pimpinan partai. Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengontrol penuh Partai Demokrat, bahkan sebagai “ veto player “. Jusuf Kalla juga sekarang bukan ketua umum Partai Golkar sebagaimana dulu ketika menjadi wapres SBY.

“Veto player” di PDI Perjuangan adalah Megawati Soekarnoputri. Dengan tujuan yang baik yakni agar menterinya bekerja penuh konsentrasi, Jokowi bahkan tegas melarang rangkap tugas dengan jabatan di partai.

Konsekuensinya, tidak ada ketua umum partai yang berada di dalam kabinet.
Juga jabatan-jabatan lain di bawah ketua umum. Pada posisi politik demikian, daya jangkau tangan politik Jokowi cenderung kurang kuat. Yang bertenaga adalah daya jangkau tangan “profesional” kepresidenannya. Persoalannya, ketika kebijakan pemerintah membutuhkan dukungan politik dari partai dan parlemen, jalannya akan lebih kompleks dan berliku. Bahkan boleh jadi akan terjal mendaki.

Apakah para menterinya bisa menjadi jembatan komunikasi politik dengan partainya? Tidak semudah yang dibayangkan. Acapkali muncul komplikasi-komplikasi tak terduga. Pada masa pemerintahan SBY yang di atas kertas seharusnya mudah, ternyata tidak gampang. Ada liku-liku yang kadang menyisakan luka-luka politik. Harus disadari bahwa masing-masing partai koalisi mempunyai logika, kepentingan, dan agenda politik yang tidak bisa diseragamkan begitu saja atas nama koalisi, apalagi dibariskan seperti peleton tentara.

Ketiga, realitas politik di DPR merupakan tantangan dan ujian tersendiri. Kekalahan 0-6 Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pertarungan di parlemen dengan Koalisi Merah Putih (KMP) adalah kenyataan politik cadasbagi pemerintah.

Memang realitas peta di Senayan tidak abadi dan bisa saja berubah menjadi lebih ramahpolitik kepada KIH dan pemerintah. Setidaktidaknya sampai pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan Dewan, dominasi KMP makin dikukuhkan. KMP menguasai semua, tidak menyisakan sedikit pun bagi KIH. Ketika KIH merespons dominasi politik KMP di parlemen dengan melancarkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR dan kemudian membentuk pimpinan DPR tandingan, langkah ini bisa memerosotkan citra dan dukungan publik.
Malah berpotensi menggerus tabungan politik Presiden Jokowi.

Perilaku politik dominatif oleh KMP memang bisa dikritik sebagai keengganan untuk berbagi peran dan tanggung jawab. Tetapi, menyikapi kekalahan dengan membuat tandingan adalah kecerobohan politik dan jauh dari citra dewasa. Membuat tandingan mudah dilihat sebagai ketidaksanggupan dan kelemahan.

Itu dipertontonkan secara telanjang. Jika suasana politik di parlemen tidak mengalami perubahan yang berarti dan relasi KIH dan KMP yang antagonistik terus berlangsung, amat jelas ini tidak menguntungkan pemerintah. Bagaimanapun pimpinan DPR, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan Dewan bisa mengatur orkestra sikap DPR kepada pemerintah, presiden, dan menteri-menterinya.

Dalam konteks inilah Presiden Jokowi membutuhkan tim komunikasi politik dan juru lobi yang cakap. Tim ini bisa bekerja jika diberi mandat dan kepercayaan yang jelas, termasuk panduan yang terang. Pasti perseteruan antara KIH dan KMP akan menjadi ganjalan atau setidaknya hambatan bagi kelancaran agenda dan program kerja pemerintah. Memang berlebihan untuk bicara pemerintah akan lumpuh, tetapi kalau tidak hati-hati bisa membuat pemerintah tertatih-tatih.

Realitas politik yang tidak mudah tersebut akan bertemu dengan pertanyaan: berapa lama masa bulan madu pemerintah? Jika dilihat dari respons publik termasuk pasar terhadap pengumuman Kabinet Kerja dan rencana kenaikan harga BBM sebelum 2015, rasanya masa bulan madu akan berlangsung singkat.

Boleh jadi lebih singkat ketimbang awal masa kepresidenan SBY pada 2004. Mau memakai rumus dan jurus sehebat apa pun kenaikan harga BBM pasti menurunkan tingkat kepuasan dan harapan publik. Inilah zaman kesempatan yang bertemu berbagai realitas kesempitan. Ada peluang yang telah dibuka oleh kristalisasi harapan kepada Presiden Jokowi untuk mengukir sejarah baru yang membanggakan dan membahagiakan rakyat.

Ada kesempatan sejarah untuk menata keadaan dan membuka ruang hidup yang lebih segarbagi sebanyak-banyaknya mungkin rakyat. Tetapi, menulis sejarah tidak pernah gratis. Ada ongkos, ada tantangan, dan kesukaran- kesukaran. Inilah saat yang menentukan, apakah kesempatan bisa mengalahkan kesempitan.

Inilah waktu yang bersejarah untuk memastikan apakah kesempatan sanggup mengatasi kesempitan. Bagi sebuah bangsa, pemimpin dan rakyatnya yang bersungguh-sungguh dan konsisten pada visi awal, kesempitan bisa berubah menjadi kesempatan dan kelapangan. Waalahu aWaalahu aalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar