Zaman
Kesempatan atau Kesempitan?
Anas Urbaningrum ; Ketua
Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia
|
KORAN
SINDO, 13 November 2014
“Target saya, tiga tahun
ke depan sudah swasembada beras, jagung, dan gula. Setelah produksi melimpah,
ada pengembangan industri hilir. Kita harus siap. Arahnya harus fokus. Kita
harus jelas mau menjadi negara seperti apa dan potensi ini besar sekali.”
Ini kutipan wawancara Presiden Joko Widodo (20/10) dengan media
massa. Paparan yang sederhana, jelas, dan terang benderang. Swasembada beras,
jagung, dan gula adalah target yang konkret dan mudah dicerna publik. Tentu
sudah pula dibaca oleh menteri-menteri terkait yang baru dilantik.
Itulah salah satu contoh tentang apa itu fokus. Sebenarnya
target swasembada beras, jagung, dan gula bahkan komoditas lain seperti
daging yang sering jadi primadona berita bukanlah cerita baru. Hal yang sama
pernah diucapkan presiden sebelumnya. Tetapi, mewujudkan memang tidak semudah
mengatakannya, merealisasikan tidak segampang menjanjikan.
Pada konteks yang lebih makro banyak yang membayangkan dan
berharap terjadi perubahan besar dalam waktu dekat. Harapan besar hadir Indonesia
yang dicita-citakan selalu menyertai kedatangan pemimpin baru.
Pada kampanye Pilpres 2014 diangkat kembali semboyan Trisakti
yang dulu digagas Soekarno: berdaulat secara politik, berdikari secara
ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Lalu ada terminologi besar
“revolusi mental” yang ditawarkan Jokowi dan jabaran sembilan agenda
perubahan yang diberi judul Nawacita.
Beberapa pokok penting Nawacita adalah keinginan menghadirkan
kembali negara yang bekerja untuk melindungi segenap bangsa, mewujudkan
kemandirian ekonomi, serta menolak negara lemah dengan melakukan reformasi
sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi. Pertanyaannya, apakah akan
segera terjadi perubahan besar di negeri ini di bawah kepemimpinan Jokowi-JK?
Indikasi awal marilah kita tengok pada sambutan publik terhadap
pengumuman kabinet baru. Setelah tertunda hampir seminggu dari rencana,
susunan menteri yang diberi titel Kabinet Kerja itu tidak seperti yang
dibayangkan sebelumnya. Pengumuman kabinet disambut dingin, datar, dan jauh
dari euforia.
Kabinet Kerja dengan komposisi personalia yang ada tidak
disambut layaknya “tim impian”, melainkan “tim biasa” yang dihasilkan lewat
proses politik yang berliku. Itulah realitas politik yang dihadapi Presiden
di dalam menyusun kabinetnya. Meski secara legal-formal Presiden mempunyai
hak prerogatif, nyatanya kabinet tidak bisa disusun sendiri, sesuai dengan
visi dan kemauan sendiri, sejalan sepenuhnya dengan konsepsi dasar awal
tentang pembentukan kabinet.
Realitas politiknya, Presiden bukan formatur tunggal dan
Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa berduet saja dalam menyusun siapa
menteri-menterinya. Realitas sosial, politik, kultural, dan kemajemukan
Indonesia terlalu kompleks untuk disederhanakan dalam pembentukan kabinet.
Kenyataan ini tidak akan terkubur mati setelah selesai pengumuman dan
pelantikan kabinet. Inilah hal pertama yang harus dilihat dan
dipertimbangkan.
Kedua, sebagai presiden, Jokowi bukanlah pimpinan partai.
Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengontrol penuh Partai
Demokrat, bahkan sebagai “ veto player “. Jusuf Kalla juga sekarang bukan
ketua umum Partai Golkar sebagaimana dulu ketika menjadi wapres SBY.
“Veto player” di PDI Perjuangan adalah Megawati Soekarnoputri.
Dengan tujuan yang baik yakni agar menterinya bekerja penuh konsentrasi,
Jokowi bahkan tegas melarang rangkap tugas dengan jabatan di partai.
Konsekuensinya, tidak ada ketua umum partai yang berada di dalam
kabinet.
Juga jabatan-jabatan lain di bawah ketua umum. Pada posisi
politik demikian, daya jangkau tangan politik Jokowi cenderung kurang kuat.
Yang bertenaga adalah daya jangkau tangan “profesional” kepresidenannya.
Persoalannya, ketika kebijakan pemerintah membutuhkan dukungan politik dari
partai dan parlemen, jalannya akan lebih kompleks dan berliku. Bahkan boleh
jadi akan terjal mendaki.
Apakah para menterinya bisa menjadi jembatan komunikasi politik
dengan partainya? Tidak semudah yang dibayangkan. Acapkali muncul komplikasi-komplikasi
tak terduga. Pada masa pemerintahan SBY yang di atas kertas seharusnya mudah,
ternyata tidak gampang. Ada liku-liku yang kadang menyisakan luka-luka
politik. Harus disadari bahwa masing-masing partai koalisi mempunyai logika,
kepentingan, dan agenda politik yang tidak bisa diseragamkan begitu saja atas
nama koalisi, apalagi dibariskan seperti peleton tentara.
Ketiga, realitas politik di DPR merupakan tantangan dan ujian
tersendiri. Kekalahan 0-6 Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pertarungan di
parlemen dengan Koalisi Merah Putih (KMP) adalah kenyataan politik cadasbagi
pemerintah.
Memang realitas peta di Senayan tidak abadi dan bisa saja
berubah menjadi lebih ramahpolitik kepada KIH dan pemerintah. Setidaktidaknya
sampai pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan Dewan, dominasi KMP
makin dikukuhkan. KMP menguasai semua, tidak menyisakan sedikit pun bagi KIH.
Ketika KIH merespons dominasi politik KMP di parlemen dengan melancarkan mosi
tidak percaya kepada pimpinan DPR dan kemudian membentuk pimpinan DPR
tandingan, langkah ini bisa memerosotkan citra dan dukungan publik.
Malah berpotensi menggerus tabungan politik Presiden Jokowi.
Perilaku politik dominatif oleh KMP memang bisa dikritik sebagai
keengganan untuk berbagi peran dan tanggung jawab. Tetapi, menyikapi
kekalahan dengan membuat tandingan adalah kecerobohan politik dan jauh dari
citra dewasa. Membuat tandingan mudah dilihat sebagai ketidaksanggupan dan
kelemahan.
Itu dipertontonkan secara telanjang. Jika suasana politik di
parlemen tidak mengalami perubahan yang berarti dan relasi KIH dan KMP yang
antagonistik terus berlangsung, amat jelas ini tidak menguntungkan
pemerintah. Bagaimanapun pimpinan DPR, pimpinan komisi, dan alat kelengkapan
Dewan bisa mengatur orkestra sikap DPR kepada pemerintah, presiden, dan
menteri-menterinya.
Dalam konteks inilah Presiden Jokowi membutuhkan tim komunikasi
politik dan juru lobi yang cakap. Tim ini bisa bekerja jika diberi mandat dan
kepercayaan yang jelas, termasuk panduan yang terang. Pasti perseteruan
antara KIH dan KMP akan menjadi ganjalan atau setidaknya hambatan bagi
kelancaran agenda dan program kerja pemerintah. Memang berlebihan untuk
bicara pemerintah akan lumpuh, tetapi kalau tidak hati-hati bisa membuat pemerintah
tertatih-tatih.
Realitas politik yang tidak mudah tersebut akan bertemu dengan
pertanyaan: berapa lama masa bulan madu pemerintah? Jika dilihat dari respons
publik termasuk pasar terhadap pengumuman Kabinet Kerja dan rencana kenaikan
harga BBM sebelum 2015, rasanya masa bulan madu akan berlangsung singkat.
Boleh jadi lebih singkat ketimbang awal masa kepresidenan SBY
pada 2004. Mau memakai rumus dan jurus sehebat apa pun kenaikan harga BBM
pasti menurunkan tingkat kepuasan dan harapan publik. Inilah zaman kesempatan
yang bertemu berbagai realitas kesempitan. Ada peluang yang telah dibuka oleh
kristalisasi harapan kepada Presiden Jokowi untuk mengukir sejarah baru yang
membanggakan dan membahagiakan rakyat.
Ada kesempatan sejarah untuk menata keadaan dan membuka ruang
hidup yang lebih segarbagi sebanyak-banyaknya mungkin rakyat. Tetapi, menulis
sejarah tidak pernah gratis. Ada ongkos, ada tantangan, dan kesukaran-
kesukaran. Inilah saat yang menentukan, apakah kesempatan bisa mengalahkan
kesempitan.
Inilah waktu yang bersejarah untuk memastikan apakah kesempatan
sanggup mengatasi kesempitan. Bagi sebuah bangsa, pemimpin dan rakyatnya yang
bersungguh-sungguh dan konsisten pada visi awal, kesempitan bisa berubah
menjadi kesempatan dan kelapangan. Waalahu
aWaalahu aalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar