Menanti
Komitmen JKW-JK
Menuntaskan
Kasus Tragedi Semanggi
Sumarsih ; Ibunda BR Norma Irmawan (Wawan)—Korban Semanggi
I;
Anggota Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk
Keadilan
|
KOMPAS,
26 November 2014
TERPILIHNYA
Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menumbuhkan
harapan baru bagi korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam visi, misi, dan program aksi, JKW-JK berkomitmen menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dan menghapus semua bentuk
impunitas.
Komitmen
itu disampaikan pada 2 butir, yaitu (1) ”ff.
Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial
bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2,
penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965”,
dan (2) ”gg. Kami berkomitmen menghapus
semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya
merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber
pelanggaran HAM”.
Untuk
menghapus impunitas hanya bisa terwujud dengan penyelesaian melalui
pengadilan, yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc sesuai No UU 26/2000 tentang
Pengadilan HAM yang merupakan satu-satunya UU yang mengatur tentang
penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kilas balik Tragedi 1998
Pada
Sidang Umum MPR, Maret 1998, Presiden Soeharto kembali terpilih menjadi
Presiden. Sebagian besar rakyat menolak dan kemudian mahasiswa bergerak
menuntut enam agenda reformasi untuk sistem pemerintahan yang demokratis,
yaitu (1) Adili Soeharto dan kroni-kroninya, (2) Berantas korupsi, kolusi,
dan nepotisme, (3) Tegakkan supremasi hukum, (4) Cabut dwifungsi ABRI, (5)
Laksanakan pemilu ulang, dan (6) Amandemen UUD 1945.
Kenyataannya,
kekerasan terus terjadi. Pada Maret 1998 terjadi penculikan aktivis
prodemokrasi. Pada 12 Mei 1998 terjadi penembakan empat mahasiswa Universitas
Trisakti. Pada 13-15 Mei 1998 terjadi kerusuhan di beberapa kota besar, dan
pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mundur dari jabatan presiden.
Semasa
pemerintahan Presiden BJ Habibie, mahasiswa turun ke jalan mengawal
pelaksanaan agenda reformasi. Enam belas tahun yang lalu, tepatnya 13
November 1998, seputar Kampus Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya, Jakarta,
bersimbah darah dan tiga mahasiswa meninggal diterjang peluru tajam aparat.
Para korban itu adalah BR Norma
Irmawan (Wawan), Unika Atma Jaya, Jakarta; Sigit Prasetyo, Universitas YAI;
dan Tedy Mardani, ITI. Peristiwa ini disebut Kasus Semanggi I. Korban lainnya
adalah Heru Sudibyo, STIE Rawamangun; Engkus Kusnaedi, Unija Pulomas; dan
Muzamil Joko Purwanto, UI.
Saat itu
mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR karena anggota MPR didominasi
kroni-kroni Presiden Soeharto hasil Pemilu 1997. Mahasiswa berhadapan dengan
aparat militer yang dipersenjatai peralatan perang dan Pamswakarsa yang
dipersenjatai bambu runcing.
Pada
September 1999 terjadi Kasus Semanggi II. Mahasiswa berdemonstrasi menolak
RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya karena materinya mengandung sumber
pelanggaran HAM.
Lokasi
Kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, bersebelahan dengan Jembatan Semanggi.
Semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dan wakilnya, Basuki Tjahaja
Purnama, menamai taman antara Kampus Unika Atma Jaya dan Jembatan Semanggi
itu Taman Semanggi.
Komnas
HAM lalu menyelidiki berbagai Tragedi 1998, yaitu kasus (1) Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II, (2) Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan (3)
Penghilangan Orang secara Paksa 1997/1998 (penculikan). Ketiga berkas
penyelidikan itu ditolak Kejaksaan Agung dengan berbagai alasan. Hal ini
berbeda dengan berkas penyelidikan Komnas HAM atas kasus Timor Timur dan
Tanjung Priok yang ditindaklanjuti Kejaksaan Agung hingga terbentuk
Pengadilan HAM ad hoc.
DPR
1999-2004 membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, kemudian
merekomendasikan untuk meneruskan ke pengadilan umum/militer yang sedang
berjalan. Kasus Trisakti dua kali digelar di pengadilan militer, kasus
Semanggi II satu kali digelar di pengadilan militer. Namun, kasus Semanggi I belum disentuh oleh
pengadilan apa pun. DPR juga membentuk Pansus Penghilangan Orang secara Paksa
1997/1998, tetapi tidak ditindaklanjuti ke pengadilan.
Selama
ini telah disosialisasikan cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu, yaitu (1) Melalui UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), tetapi dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena tidak
mencerminkan keadilan, dan (2) Presiden atas nama negara minta maaf tanpa
didahului proses pengadilan.
Draf RUU
KKR semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditolak oleh sebagian
korban/keluarga korban sebab materinya mengandung impunitas. Kini pemerintah
berniat membahas draf RUU KKR lagi (Kompas, 6/11/2014).
Menghapus impunitas
Kunci
keberhasilan menghapus impunitas ada di tangan Kejaksaan Agung dan DPR.
Kejaksaan Agung sebagai garda terdepan penegak hukum selama ini menggantung
berkas penyelidikan Komnas HAM. Maka, benar kata Abdul Rahman Saleh, Jaksa
Agung periode 2004-2007, bahwa Presiden harus memilih Jaksa Agung yang berani
dan baik (Kompas, 6/11/2014).
Jaksa
Agung yang baik perlu dibarengi kemauan DPR merekomendasikan kepada Presiden
untuk menerbitkan keppres pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Korban/keluarga
korban berharap agar DPR 2014-2019 segera menunjukkan wajah barunya: DPR
sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai politik.
Oleh karena kejadian Tragedi 1998 relatif belum lama, tolak ukur
keberhasilan menghapus impunitas adalah menyelesaikan Tragedi 1998 di dalam:
(1) Pengadilan HAM Ad Hoc Trisakti,
Semanggi I, dan Semanggi II, (2) Pengadilan HAM Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998,
dan (3) Pengadilan HAM Ad Hoc Penghilangan Orang secara Paksa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar