Serigala
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
23 November 2014
Marilah—dengan
jujur dan rendah hati—kita melihat sifat-sifat buruk manusia. Inilah
sifat-sifat destruktif manusia terhadap sesamanya: menghancurkan, merampas,
menganiaya, menikam, membakar, memecah belah, menyiksa, menistakan,
mengolok-olok, melecehkan, membasmi, mencemarkan, merobek-robek,
mencabik-cabik, memukuli, menggebuki, menusuk, menghujat, menghina, dan masih
banyak lagi yang pada intinya bertujuan menghancurkan sesama.
Itulah
sebabnya filsuf asal Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679), menyebut ”manusia
serigala bagi sesamanya”, homo homini
lupus est. Frasa populer tersebut mula pertama diungkapkan oleh Plautus
Asinaria, seorang komedian zaman Romawi. Secara lengkap ia mengatakan, lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit,
yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah manusia serigala bagi sesamanya; ia
bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya.
Kita
melihat, sekarang ini, serigala muncul di mana-mana; entah itu serigala
berbulu serigala maupun serigala berbulu domba. Bahkan, menurut istilah Daoed
Joesoef, musang berbulu ayam. Padahal, masih jauh larut malam.
Kekerasan
telah menjadi mantra utama. Kita menyaksikan, di mana-mana, di Palestina,
Israel, Afganistan, Pakistan, Irak, Suriah, Mesir, Libya, Ukraina, dan
berbagai sudut dunia ini. Bahkan di Indonesia, kekerasan selalu mengiringi setiap
peristiwa sosial ataupun politik. Kekerasan bukan hanya monopoli politikus
dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Tetapi, ada kecenderungan
beberapa kelompok mengatasnamakan tatanan moral dengan menghalalkan
kekerasan.
Menurut
data yang dikeluarkan Institute for
Economics and Peace (IEP) yang berpusat di New York, Amerika Serikat,
hampir 18.000 orang tewas karena serangan teroris sepanjang tahun 2013. Itu
berarti naik 61 persen dibandingkan dengan tahun 2012.
Lima
negara—Irak, Afganistan, Pakistan, Nigeria, dan Suriah—menyumbang 80 persen
jumlah korban. Di Irak saja, lebih dari 6.000 orang tewas tahun lalu. Negara
lain yang menjadi penyumbang korban tewas karena aksi terorisme adalah India,
Somalia, Filipina, Thailand, dan Yaman. Masih menurut IEP, 66 persen korban
tewas karena aksi yang dilakukan oleh Al Qaeda, Taliban, Boko Haram, serta
Negara Islam di Irak dan Suriah. Di Suriah dan Irak, begitu banyak korban
NIIS, banyak di antara mereka dipenggal kepalanya.
Kekerasan
fisik—termasuk juga intimidasi, ancaman, dan pengerahan massa seperti yang
kerap kali terjadi di negeri kita—telah menjadi sarana untuk mencapai tujuan;
apa pun tujuannya, termasuk tujuan politik. Hal itu selaras dengan apa yang
pernah dikemukakan oleh Niccolò di Bernardo dei Machiavelli, yang lebih
dikenal dengan nama Niccolo Machiavelli (1469-1527), dengan istilah ”menghalalkan segala cara”.
Kekerasan sudah menjadi biasa. Manusia sudah benar-benar menjadi homo
homini lupus, padahal seharusnya homo
homini socius, manusia adalah teman bagi sesamanya. Kini, telah terjadi,
menurut istilah filsuf politik Hannah Arendt, banalisasi kejahatan. Padahal,
sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan berarti sudah kehilangan
keberadabannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar