Menyoal
E-voting
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 29 November 2014
Belum
lama ini penulis beruntung memiliki kesempatan turun ke lapangan di satu
tempat, menggali informasi perihal topik yang sedang hangat dibicarakan saat
ini, yaitu e-voting.
Tempat
yang dimaksud adalah Boyolali, salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Boyolali
menarik untuk diteliti karena di sana pada 2013 lalu ada penerapan metode
e-voting dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades). Boyolali adalah
satu dari tiga daerah di Indonesia yang sudah bersentuhan dengan e-voting
selain Jembrana dan Musi Rawas.
Di
Boyolali, pelaksanaan pilkades memang masih menggabungkan model elektronik
dan manual. Selama setahun lalu, ada delapan dari total 260 desa yang
pilkadesnya dengan evoting. Sisanya dilakukan dengan cara manual. Tulisan ini
tidak berpretensi untuk membahas apakah evoting bisa diterapkan dalam
pemilukada serentak pada 2015 seperti kebanyakan dibahas di media massa
akhir-akhir ini. Tulisan ini hanya ingin mengangkat secara singkat tentang
pilkades di Boyolali dengan e-voting.
Pada
saat pertama kali menginjakkan kaki di Boyolali, penulis yakin bahwa
penerapan teknologi elektronik dalam pilkades di Boyolali berkaitan dengan
kemajuan yang ada di daerah tersebut. Namun, kesimpulan itu sahih di awal
saja karena selama di Boyolali kebetulan penulis tinggal di wilayah
perkotaannya.
Baru
setelah berkeliling ke desa-desa di Boyolali dan melihat kondisi masyarakat
dan pembangunan fisik di sana kemudian di benak penulis timbul beberapa
pertanyaan. Mengapa Boyolali yang memiliki luas 1.015 km2 dan kondisi alam
kombinasi dataran rendah dan sebagian berbukit itu diadakan pilkades dengan
e-voting?
Kedua,
apakah masyarakat Boyolali yang menurut data BPS Boyolali 2008 mayoritas
(258.202 orang atau 32%) tamat SD dan 75.302 orang atau7,9% diantaranya
berusia di atas 65 tahun itu siap sekaligus percaya pada e-voting? Apa saja
kelebihan serta kekurangan dari pilkades diBoyolali dengan evoting
dibandingkan dengan model manual?
Awal mula penerapan evoting dalam Pilkades di Boyolali adalah tahun
2012, ketika BPPT mengadakan dialog nasional tentang pemilu elektronik. Saat
itu banyak kepala daerah yang hadir dan ada dua kepala daerah yang ketika
ditanya oleh BPPT kemudian menyatakan siap melaksanakan pilkades dengan
evoting, yakni Bupati Boyolali dan Bupati Musi Rawas.
Menurut pengakuan Bupati
Boyolali, Seno Samodro, pilkades dengan e-voting di Boyolali dilatarbelakangi
oleh pengalaman kepala daerah itu selama 13 (tiga belas) tahun berada di
Prancis. Di sana hal yang berbau elektronik dalam kegiatan seharihari dan
khususnya kegiatan politik adalah hal yang biasa dan beliau juga melihat
bahwa penggunaan metode e-voting bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan di
daerahnya.
Sebagai tindak lanjutnya kemudian pemerintah Kabupaten Boyolali
mengundang salah satu universitas di Jawa Tengah untuk menawarkan proposal
mesin dan peranti lunak e-voting. Akan tetapi, dikarenakan tawaran angka yang
terlampau tinggi niat bekerja sama itu tidak dilanjutkan.
Pemerintah Boyolali lantas memilih untuk menggunakan model yang
dimiliki oleh BPPT dikarenakan hanya mengeluarkan biaya untuk pelatihan untuk
panitia, peranti lunak e-voting yang akan digunakan, dan membeli sendiri
perangkat keras (beberapa unit monitor layar sentuh, termal printer, dan smartcard reader) sesuai arahan
spesifikasi yang ditentukan oleh BPPT.
Pertanyaan berikutnya, dari ratusan desa di Boyolali, desa mana saja
yang dipilih untuk menghelat pilkades e-voting dan apa dasar pertimbangannya?
Desa yang dipilih adalah Kebongulo, Kebonbimo, Genting, Karangnongko, Trayu,
Sambi, Gondongslamet, dan Dologan. Pertimbangannya adalah keterwakilan
sebagian dengan kombinasi dua prinsip.
Pertama, satu desa satu kecamatan. Kedua, dipilih gabungan antara
daerah perkotaan dan daerah yang wilayahnya jauh dari kota. Bahkan, akhirnya
untuk memperbanyak uji coba di daerah yang jauh dari kota, secara keseluruhan
mayoritas (5 dari 8) desa berada jauh dari perkotaan.
Berikutnya, apakah memang masyarakat Boyolali, terutama yang
pendidikannya menengah ke bawah dan yang berusia lanjut (diatas 65 tahun),
bisa dan percaya dengan e-voting? Awalnya, sempat ada kekhawatiran seperti
itu. Namun hal itu sudah diantisipasi sebelumnya dengan menyelenggarakan
berkali-kali sosialisasi kepada masyarakat tentang cara pelaksanaan pilkades
dengan cara e-voting.
Yang menarik, di samping sosialisasi sebelum hari H, pada hari H di
sekitar TPS juga ada sosialisasi untuk para calon pemilih yang belum tahu dan
tidak dapat hadir dalam sosialisasi sebelumnya. Sosialisasi itu yang kemudian
menekan angka kebisaan dan mendorong kepercayaan masyarakat umumnya dan
pemilih berpendidikan menengah ke bawah dan berusia renta pada khususnya.
Secara umum masyarakat Boyolali bisa dan lebih senang menggunakan
metode e-voting ketimbang cara manual karena kelebihan-kelebihannya. Hal itu
terlihat setidaknya dari tingkat partisipasi masyarakat dengan metode
e-voting yang ratarata di atas 70%. Apa saja kelebihan dari metode e-voting?
Pertama, metode e-voting tidak sulit digunakan.
Pemilih menggunakan smart card yang dimasukkan ke dalam card-reader lalu setelah itu memilih
calon kepala desa di layar sentuh. Setelah selesai memilih, pemilih mengambil
print out pilihannya dan memasukkan kertas print out itu ke dalam kotak yang
sudah disiapkan. Kedua, metode e-voting lebih cepat dalam perhitungan dan
dapat mengurangi terjadinya ketegangan antara calon dan tim sukses.
Dari ditutupnya TPS ke akhir perhitungan hanya memakan waktu sekitar 15
sampai 30 menit. Bandingkan dengan cara manual yang bisa berjam-jam, bahkan
dibeberapa desa perhitungan baru selesai esok sore dari hari pemilihan.
Metode e-voting dalam pilkades lebih mengurangi ketegangan antarcalon dan
atau tim sukses karena tidak ada ribut-ribut soal keabsahan coblosan karena
perhitungan dikerjakan oleh mesin dan tinggal direkapitulasi per kotak suara
atau bilik saja.
Ketiga, berbeda dengan model manual yang sekali memakai kertas tidak
dapat dipakai lagi, dengan e-voting perangkat kerasnya dapat digunakan
berkali-kali. Bahkan selama delapan kali Pilkades e-voting, perangkat yang
digunakan adalah perangkat yang sama. Di samping kelebihan, sejauh ini juga
masih ada juga kelemahannya yang bisa dijadikan input untuk perbaikan ke
depan.
Kelemahan utamanya, secara teknis bilik memilih terlalu pendek (hanya
sekitar 30 cm) sehingga mengurangi kerahasiaan pemilih. Dengan bilik yang
pendek dan pilihan yang hanya sedikit (dua atau tiga calon), orang lain di
luar pemilih bisa lebih tepat menduga apa pilihan pemilih saat itu. Dalam
metode mencoblos, bilik yang pendek relatif tidak merupakan masalah karena
gerakan tangan pemilih mengarah ke pilihan mana tidak mudah diprediksi.
Sebagai penutup, apa yang terjadi di Boyolali adalah segelintir usaha
baik dari daerah untuk memperbaiki hal yang baik dalam hal kepemiluan baik di
tingkat lokal maupun lesson learned
untuk pemilu nasional. Karenanya, wajib untuk diapresiasi setinggi-tingginya
dan bukan tidak mungkin dijadikan pertimbangan untuk dilakukan juga oleh
daerah-daerah lain di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar