Mari
Bekerja
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for Education
Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
29 November 2014
PIDATO Presiden
Joko Widodo pada pelantikan 20 Oktober 2014 menarik untuk dibahas. Dalam
pidato yang terdiri atas 824 kata itu, sebelas kali Presiden menyebut kata
”bekerja keras”, ”bekerja sekeras-kerasnya”, ”kerja besar”, atau ”kerja”
saja. Belakangan, kata ”kerja” jadi nama kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla:
Kabinet Kerja.
Pidato
itu memang terasa tak begitu indah, kecuali sedikit pada paragraf terakhir.
Namun, ungkapannya gamblang, pesan yang disampaikan Presiden mudah dipahami
oleh siapa pun.
Dari
rasa bahasa, terkesan Presiden menyiratkan ”jangan (hanya) banyak bicara,
kita harus banyak bekerja”. Imbauan Presiden kiranya mengena karena bangsa
ini terlalu banyak berwacana.
Padahal,
kita tahu, perubahan hanya mewujud jika ada kerja yang nyata. Kerja, bukan sekadar
bergerak, menggunakan dan atau membuat alat, tetapi juga terkait dengan
budaya. Kerja dan kinerja belum jadi satu tata nilai masyarakat kita sehingga
merealisasikan anjuran bekerja Presiden memerlukan respons terencana.
Pertama,
masyarakat harus disadarkan bahwa bekerja dan kinerja adalah satu
keniscayaan. Manusia tercipta untuk bekerja, baik untuk sintas maupun
kualitas hidupnya. Oleh sebab itu, selain dianugerahi kemampuan beradaptasi,
manusia juga diberi kekuatan mengintervensi untuk mengubah lingkungan.
Kemuliaan manusia terletak pada karyanya, apakah ia berkontribusi pada
kemaslahatan atau kemudaratan. Jika maslahat, ia mulia melebihi kadar
malaikat. Sebaliknya, apabila kemudaratan yang disumbangkannya, ia hina lebih
rendah dari kawanan hewan.
Kedua,
masyarakat perlu difasilitasi dan didorong agar memfasilitasi lapangan kerja.
Orang tidak bekerja belum tentu karena tak mau bekerja, tetapi mungkin tak
tersedia lapangan kerja, perolehan dan jenis pekerjaan tidak memadai, atau
tak terpikir untuk menciptakan pekerjaan buat dirinya dan orang lain. Arah
kebijakan dan strategi ketenagakerjaan kita, tampaknya, belum terpadu dengan
strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan kebudayaan, khususnya
pendidikan. Alhasil kualifikasi tenaga kerja kita rendah—lebih dari separuh
pekerja kita maksimal hanya tamatan SD—dan terjadi banyak pengangguran
terdidik.
Selain
itu, lulusan pendidikan banyak bekerja tak sesuai bidangnya; anak petani dan
anak nelayan disekolahkan agar tak jadi petani atau nelayan seperti orangtuanya.
Padahal, pertanian dan kelautan adalah takdir negeri ini. Peningkatan
kualifikasi dan sinkronisasi ketenagakerjaan hendaknya jadi agenda
penting bagi pemerintah baru yang
selain bervisi kerja, juga bertekad mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim
yang mandiri.
Pendidikan vokasional
Ketiga,
perlu penataan dan pengutamaan pendidikan vokasional—yang sekarang kurang
efektif dan seperti dianaktirikan—untuk disesuaikan dengan arah dan prioritas
baru pembangunan ekonomi dan kebudayaan.
Pendidikan
memang tak semata mempersiapkan orang bekerja. Namun, secara filosofis,
alasan utama pendidikan diselenggarakan untuk memenuhi aspirasi pragmatis
masyarakat: mempertahankan dan mempermudah kehidupan. Sejak Aristoteles,
pengetahuan bekal bekerja, yaitu ”techne”,
telah diajarkan bersama episteme (pengetahuan ”ilmiah”) dan phronesis (kearifan). Pragmatisme
pendidikan memprioritaskan pendidikan pada kemampuan praktis yang berguna
bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dengan demikian, pendidikan harus bersifat
vokasional alias kejuruan.
Sejarah
pendidikan kita sebenarnya diawali ide sekolah kerja, di antaranya dari Raden
Dewi Sartika dan Mohammad Syafei. Dewi
Sartika mendirikan Sakola Istri pada 1904 yang mengajarkan berbagai
kepandaian perempuan, termasuk membaca dan menulis. Setelah kemerdekaan,
sekolah perempuan itu dilebur jadi sekolah kepandaian putri (SKP) yang
selanjutnya diganti sekolah kesejahteraan keluarga tingkat pertama dan
tingkat atas (SKKP dan SKKA).
Sementara
Syafei, diinspirasi oleh John Dewey (1859-1952) yang terkenal dengan learning
by doing-nya, dan pengaruh pendekatan pragmatik pemikir pendidikan Jerman,
George Kerschensteiner (1854-1932), mendirikan sekolah Indonesische Nederland
School (INS) pada 31 Oktober 1926 di
Kayu Tanam, Sumatera Barat. Kurikulum INS berpusat pada pelajaran pekerjaan
tangan. Menurut Syafei, perbuatan atau aktivitas adalah saluran terbaik
pengetahuan menuju jiwa atau kesadaran seseorang.
Setelah
kemerdekaan, pendidikan vokasional dikembangkan dari sekolah menengah tingkat
pertama selama tiga atau empat tahun yang dapat dilanjutkan ke tingkat
menengah atas. Sekolah teknik (ST), misalnya, dapat melanjutkan ke sekolah
teknik menengah (STM), sekolah guru B (SGB) melanjutkan ke sekolah guru atas
(SGA), sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) melanjutkan ke sekolah
menengah ekonomi atas (SMEA). Lulusan sekolah kejuruan tingkat atas dapat ke
pendidikan tinggi atau (belakangan) ke politeknik atau diploma yang
sejurusan. Di luar jalur itu terdapat balai latihan kerja (BLK) yang cukup
representatif melatih keterampilan tertentu bagi tenaga kerja, baik lulusan
kejuruan maupun umum.
Sekarang,
sekolah kejuruan dimulai sekolah menengah keterampilan (SMK) setara SMA yang
substansi kejuruannya relatif sama dengan sebelumnya. Setelah itu tersedia
politeknik tiga tahun, yang sejak periode lalu dikembangkan juga D-4 (sarjana
terapan). Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh juga didirikan
akademi komunitas setara D-1 dan D-2 yang tidak begitu jelas arah dan
tujuannya, kecuali untuk mengatrol angka partisipasi pendidikan tinggi.
Sementara BLK tetap ada, tetapi bak kerakap tumbuh di batu.
Berbeda
dengan negara maju, pendidikan kejuruan di negeri ini dianggap ”kelas dua”
dan tak banyak diminati karena anak muda terobsesi jadi sarjana, lalu bekerja
sebagai pegawai negeri. Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan bukannya memperbaiki kualitas dan daya serap terhadap lulusannya,
tetapi bertubi-tubi menghebatkannya
dalam iklan. Jika pendidikan kejuruan hebat, penghasilan alumninya tinggi,
tentu pendidikan vokasional jadi prioritas.
Sebuah momentum
Suksesi
kali ini hendaknya dijadikan momentum untuk merombak sistem pendidikan
nasional secara fundamental, total, dan gradual dengan mengutamakan
pendidikan vokasional. Untuk itu diperlukan pengkajian mendalam tentang
kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Apakah akan mengembangkan tenaga
kerja terdidik/terlatih di level bawah yang pasarnya tampak luas atau tenaga
kerja di tingkat madya dan tinggi.
Pilihan
pertama menuntut modifikasi pendidikan menengah pertama. Misalnya SMP plus
satu atau dua tahun yang dibarengi dengan perluasan dan penguatan di jalur
pendidikan nonformal. Namun, perlu dipertimbangkan kaitannya dengan rencana
wajib belajar 12 tahun.
Sementara pilihan kedua memerlukan penataan jenjang dan jenis sekolah
menengah atas. SMK mungkin ditingkatkan jadi D-1, D-2, atau diintegrasikan
dengan akademi komunitas. Sementara itu, SMA kiranya cukup dua tahun, pada
tahun ketiga murid telah dipilah untuk persiapan ke perguruan tinggi atau ke
vokasional. Namun, perlu diingat, pengembangan jenis kejuruan perlu
disesuaikan dengan kebutuhan lapangan kerja yang akan dikembangkan
pemerintah, di antaranya kelautan, perikanan, dan pertanian serta kejuruan
yang terkait ekonomi kreatif dan kekayaan budaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar