Keagungan
Jabatan Publik
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi
Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 25 November 2014
Terpilihnya
M Prasetyo sebagai jaksa agung terus menuai polemik. Terlebih, setelah
terkuak fakta bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengonsultasikannya
ke KPK dan PPTAK untuk dianalisis dulu.
Menurut
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Jokowi tetap menerapkan mekanisme untuk
memastikan orang tersebut bersih. “Pada dasarnya ada mekanisme tim penilai
akhir yang sifatnya baku di kantor kepresidenan itu ada di Setkab, jadi
sekarang usulan nama yang merupakan prerogatif presiden itu melakukan proses
yang selama ini berlaku. Misalnya penunjukan kepala SKK Migas atau sebelumnya
pengangkatan Dirjen Migas. Itu dilakukan dengan mekanisme yang ada melibatkan
presiden, wapres, ada menteri terkait, laporan tertulis dari Kabin dan
laporan tertutup dari instansi lain. Proses itu sudah dilakukan,” papar Andi
(21/11/2014).
Tulisan
ini bukan hendak terlibat dalam polemik terpilihnya jaksa agung ataupun
beberapa jabatan publik tersebut. Bukan pula untuk memberikan justifikasi
bahwa pro dan kontra terhadap kebijakan Presiden sebagai hal wajar dan demi
waktu dibiarkan berlalu. Hemat saya, ada ihwal yang jauh lebih penting untuk
dibicarakan demi kepentingan bangsa dan negara ke depan yakni peluang
orang-orang baik untuk tampil dalam jabatan publik.
Bila
kita mau jujur, selama ini “pejabat bermasalah” pada beberapa institusi
publik seperti kementerian, parlemen, pengadilan, birokrasi, dan kejaksaan
sangat merusak potret bangsa secara keseluruhan. Sekalipun “pejabat
bermasalah” tersebut tidak absolut, sulit dimungkiri bahwa proses seleksi dan
mentalitas kepemimpinan merupakan faktor penyebab yang berpengaruh secara
signifikan.
Karena
itu, patut dipertanyakan, benarkah sistem pemerintahan sekarang telah
akomodatif dan responsif terhadap tampilnya orang-orang baik memimpin negeri
ini? Pada tataran ideologi, bangsa ini sudah lama dan intens berbicara
tentang manusia bertakwa, adil, dan beradab.
Tidak
kurang dari itu juga berbicara tentang nilai-nilai persatuan,
permusyawaratan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dalam rangkaian utuh dan
menyeluruh, dalam bingkai wawasan ideologi Pancasila, sesungguhnya bangsa ini
menaruh perhatian besar akan tampilnya orangorang baik untuk memimpin negeri
ini.
Bertakwa,
berkelakuan baik, bebas dari perbuatan tercela, asusila, korupsi, dan moralitas
lain menjadi prasyarat materiil-substantif yang tidak boleh ditawar-tawar
bagi siapa pun calon pejabat publik. Lain ceritanya kalau kita bicara pada
tataran sosiologiempiris. Ada kerisauan massal atas merebak dan masuknya
preman dan premanisme ke dalam institusi publik.
Mereka
bangkit dan mampu menyihir, bahkan mendominasi jabatan-jabatan publik melalui
saluran politik. Uang, fulus, dan gratifikasi digunakan sebagai pengganti
semua prasyarat materiil substantif yang dipatok ideologi. Oleh mereka dinyatakan
dengan vulgar, tanpa malu dan risih, bahwa kini bukan saatnya bicara
filosofi, tetapi fulusofi , alias segala hal sampai pada prinsip-prinsip
kehidupan bernegara, diyakini dapat dibeli dengan fulus .
Fulus
adalah raja, fulus-lah yang paling berkuasa. Anehnya, publik pun kian tak
berdaya berhadapan dengan “fulusofi“. Alih-alih memerangi itu, justru
terperosok di dalamnya. Kalaupun Pancasila masih ada, hanya dijadikan
komoditas politik, diperdagangkan (istilah menterengnya “sosialisasi”) agar tersedia
anggaran dari APBN, padahal mereka yang melakukan sosialisasi tergolong
penganut fulusofi dan tidak paham tentang Pancasila. Bukankah ini pembodohan
publik?
Realitasi
ini layak menjadi alasan lain untuk membendung tampilnya preman-preman
politik sekaligus mendorong tampilnya orang-orang baik dalam jabatan publik.
Berhadapan dengan fenomena preman dan premanisme, Satjipto Rahardjo (2010)
pernah mengingatkan akan bahayanya bagi kelangsungan negeri ini. Dengan
mengutip karya Ortega Y Gasset, “La
Rebelion de las Masas “ (1930), bahwa di Eropa pernah merebak penguasaan
jabatan publik oleh lapisan elite tanpa standar kualitas mental.
Mereka
mampu menyusup ke berbagai strata sosial secara massal. Mudah dijumpai ada
intelektual karbitan, ulama kotor dan pembohong, dan politikus dungu. Untuk
ukuran normal kehidupan bernegara, mereka tergolong unqualified, unqualificable. Pada dimensi mental tergolong disqualified. Implikasinya, negara
berada pada kondisi hyperdemocracy
yakni suatu demokrasi di mana massa mengabaikan moral dan aturan (hukum) dan
cenderung memainkan hukum melalui tekanan politik, kekuasaan, bahkan
kekerasan.
Sulit
ditemukan orang jujur, adil, dan beradab. Negara pun dikelola berdasarkan
piagam kebiadaban (Magna Charta of
Barbarism). Direnungkan dalam-dalam, kehidupan modern barbarisme di Eropa
pada 1930-an itu mirip-mirip fenomena di negeri ini. Reformasi dan demokrasi
tidak melahirkan pejabat publik yang memiliki standar mental-ideologi
Pancasila.
Alih-alih
revolusi mental yang diharapkan mampu membentuk karakter bangsa dan terpilih
pejabat publik yang bersih, justru muncul pejabat ingkar janji, ramah
terhadap korporasi asing, dan tega terhadap rakyat sendiri. Pimpinan
lembaga-lembaga negara terhormat diserahkan kepada orang-orang tuna-ideologi
Pancasila.
Pada
dimensi moralitas hukum, segenap komponen bangsa memiliki tanggung jawab
partisipatif baik langsung maupun tak langsung dalam seleksi pejabat publik
agar orang-orang baik berpeluang dan bersedia tampil sebagai pimpinan.
Pelaksanaan tanggung jawab moral itu mestinya dilaksanakan secara sinergis
dan simultan antara mereka yang berada di jalur formal maupun nonformal.
Apa yang
dikatakan sebagai mekanisme baku di lembaga kepresidenan atau Seskab mestinya
tidak boleh diartikan sebagai prerogatif tertutup, seraya imun terhadap
aspirasi publik. Kolaborasi berbagai pihak dan dukungan publik, secara
teoretikal empiris, sangat efektif dan potensial menghasilkan terpilihnya
orang-orang baik yang diinginkan.
Bila mekanisme demikian dapat disepakati dan dijalankan secara
akuntabel, mereka yang terpilih akan memiliki legitimitas sekaligus
legalitas, kuat dan aman posisinya, dan ringan beban sosialnya. Kita
mendambakan pejabat publik yang terjaga keagungannya. Wallahu Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar