Menyiram atau
Mencerabut Beringin Besar?
Arya Budi ; Research Associate pada Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 26 November 2014
Babak
baru politik nasional bisa jadi ditentukan beberapa hari ke depan dalam Munas
IX Golkar. Ada dua hal yang menjelaskan Munas Golkar menjadi krusial dalam
konstelasi politik nasional.
Pertama,
Golkar teruji sebagai organisasi kepartaian yang mapan dan bisa dijelaskan
dengan banyak kerangka teoretis pengorganisasian partai (Tomsa, 2008), dengan
stok kader-politikus melimpah, sehingga posisi politiknya berpengaruh pada
konstelasi inter-party politics.
Kedua,
posisi politik terkini Golkar terlihat memimpin Koalisi Pendukung Prabowo
(KPP) yang berkekuatan 52 persen dan terkonsolidasi cukup matang dengan
kendali palu pimpinan Dewan dan alat kelengkapan Dewan, selain kekuatan 91
kursi parlemen terbesar kedua setelah PDIP. Di titik inilah, sesi pemilihan
ketua umum baru Golkar pada Munas IX dengan debat perihal status-quo dan
leadership renewal (pembaruan kepemimpinan) menjadi agenda paling krusial
bukan hanya bagi Golkar, tapi juga bagi kepentingan politik KPP dan politik
nasional secara keseluruhan. Walaupun, dalam kasus kepemimpinan partai di banyak
negara, pembaruan kepemimpinan adalah bagian penting bagi survival strategy
sebuah partai (Serenella Sferza, 2002).
Terkait
dengan hal ini, Rapimnas VII Golkar di Yogyakarta tempo hari telah
mengirimkan dua pesan penting: 1) ambisi ketua umum inkumben mempertahankan
struktur ruling elite yang dipimpinnya melalui deklarasi "kesiapan"
maju dalam Munas IX; 2) Ical memiliki kekuatan jangkar politik di daerah,
minimal struktur provinsi alias DPD I. Meski demikian, klaim dukungan DPD I
sebenarnya tidak selalu linier dengan kemenangan kandidat.
Pada
Munas IX bisa jadi kontestannya tak sampai sejumlah nama yang sudah
mendeklarasikan diri jika prasyarat dukungan 30 persen pemilik suara masih
berlaku sebagaimana Tata Tertib Munas Riau Pasal 39 perihal mekanisme
pencalonan ketua umum. Namun jika benar bahwa Aburizal Bakrie telah
mendapatkan dukungan tertulis-institusional lebih dari 400 suara (tempo.co, 23 November 2014), bisa jadi
Ical menang secara aklamasi, kecuali terdapat perubahan tata tertib munas
yang menyatakan bahwa jika calon ketua umum mendapatkan dukungan lebih dari
50 persen, otomatis menjadi ketua umum terpilih.
Singkat
cerita, potensi politik ketua umum inkumben Golkar memang besar, tapi hasil
survei atas 173 pakar dan public
opinion maker yang dilakukan Poltracking Institute pada awal November
2014 menunjukkan bahwa Aburizal Bakrie merupakan tokoh Golkar paling tidak
direkomendasikan sebagai satu dari delapan kandidat yang diukur. Riset ini
menunjukkan bahwa 52 persen juri penilai yang terdiri atas akademikus di
bidang sosial politik dan analis/peneliti politik memilih Aburizal Bakrie
sebagai figur yang paling tidak direkomendasikan dibanding Agung Laksono (7
persen) atau Priyo Budi Santoso (2 persen), misalnya.
Dalam
hal ini, dari 10 aspek atau dimensi yang dinilai menggunakan interval poin
1-10, Ical hanya unggul pada dua aspek, yaitu aspek komunikasi elite (6,42
poin) dan kemampuan memimpin koalisi partai (6,48), yang masuk pada posisi
urutan ketiga dan kedua. Sedangkan pada tujuh aspek lainnya, nilai Ical hanya
berkisar 5,5 poin dengan posisi urutan kedua dari bawah dari delapan nama
kandidat yang mendeklarasikan diri.
Namun,
selain reputational disincentives akibat kekalahan Golkar pada pemilu
legislatif dan kekalahan telak pilpres 2014 lalu atau persepsi publik soal
personalitas dirinya, harus diakui bahwa Ical mempunyai positional incentives, yang mana posisinya sebagai ketua umum
sekaligus bakal capres sepanjang 2011-2013 memungkinkan dirinya menanam
jangkar politik di daerah yang terus berputar sepanjang roadshow kampanye bakal capres hingga menjelang munas partai.
Faksionalisasi
yang dipimpin para calon ketua umum tentu semakin mengkristal dan, bisa jadi,
dinamika faksi akan berujung pada model degeneratif (Boucek, 2009), yang
saling menghancurkan karena konsolidasi kelompok yang retak menstimulasi
bertumbuknya kepentingan-kepentingan individu elite di tiap faksi.
Namun
jika faksionalisasi Golkar mampu dilembagakan dengan baik dalam Munas IX
esok, dua model dinamika faksi bisa saja tercipta: 1) kooperatif, di mana
blok politik yang ada di dalam partai pada akhirnya bernegosiasi untuk sebuah
kepentingan organisasi partai, 2) dinamika faksi kompetitif, yakni faksi yang
ada terkonsolidasi dengan baik, sehingga menciptakan kompetisi dengan
substansi kompetisi pada pengaruh kebijakan dan jabatan publik.
Munas Golkar bisa saja memupuk-menyiram beringin yang mulai meranggas
ditinggalkan pemilih, atau justru bisa mematahkan-mencerabut partai ini
menjadi beberapa "beringin baru", bergantung pada resolusi politik
dan elite pemimpin yang dihasilkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar