Kamis, 27 November 2014

Revolusi Mental atau Revolusi yang Mental

               Revolusi Mental atau Revolusi yang Mental

Fathur Rozi  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWAPOS,  27 November 2014

                                                                                                                       


Peringatan Hari Guru Nasional, 25 November 2014, ini menampilkan nuansa berbeda. Selain karena Indonesia punya menteri pendidikan baru, Hari Guru kali ini bertema Revolusi Mental Melalui Penguatan Peran Strategis Guru. Seiring dengan slogan Presiden Joko Widodo: Revolusi Mental.

Revolusi mental memang bisa dimulai lewat bidang pendidikan. Dan, di sanalah guru memegang peran strategisnya. Banyak ahli meyakini, menuntaskan persoalan-persoalan terkait dengan guru otomatis menyelesaikan lebih dari separo masalah pendidikan di Indonesia.

Namun, siapa yang bisa menjamin revolusi mental itu akan berhasil dan tidak menjadi revolusi yang mental di tengah jalan? Guru punya banyak tantangan kekinian dalam melaksanakan tugas. Lalu, apakah semua guru menyadari peran strategis itu dan menyiapkan kompetensi mereka? Yang lebih penting, bersediakah mereka melakukan revolusi mental mulai diri sendiri?

Banyak tantangan bagi guru. Tugas mengajar berkaitan erat dengan konteks zamannya kelak. Guru diharapkan mentransformasikan pengetahuan, sikap, serta keterampilan kepada murid agar mereka mampu menjawab tantangan zaman ke depan. Salah satunya menjadi sumber sejati ilmu dan pendamping perangkat teknologi. Perangkat era multimedia itu kerap dipersepsikan anak sebagai pengganti fakta-fakta dalam belajar.

Mereka bisa memperoleh segala informasi dengan sangat instan. Bagaimana, misalnya, siswa menyusun tugas-tugas sekolah cukup dengan ponsel pintar. Contohnya, tugas bertopik kelautan tentang nelayan. Mereka hampir pasti mampu menjawab detail tentang deskripsi pekerjaan, paparan tentang jenis-jenis perairan, dan ikan tangkapan. Termasuk, narasi proses penjualan ikan di pasar hingga ke pabrik pengolahan. Cukup unduh dari internet.

Namun, belum tentu mereka mampu merasakan perjuangan seorang nelayan dalam mencari BBM yang sedang langka, menjual hasil tangkapan dengan harga layak, hingga harus menganggur berhari-hari jika cuaca sedang buruk. Mereka tahu banyak, tapi belum bisa merasakan.

Siswa-siswa mungkin matang secara pengetahuan. Namun, kematangan itu terasa semu. Ada yang hilang dari proses belajar berbekal ponsel pintar tersebut: pengalaman faktual dan empati. Pengalaman faktual merupakan bekal amat penting dalam pembelajaran. Dalam pendekatan scientific Kurikulum 2013, pengalaman itu berupa menemukan sendiri materi belajar.

Peran lain yang tidak kalah penting adalah menggelorakan mental prestatif. Menanam, memupuk, dan menumbuhkan mental juara dalam diri anak. Penguatan mental prestatif tersebut akan sangat hebat jika guru pun merupakan pendidik-pendidik berprestasi. Orientasi prestasi itu diharapkan mampu mengalihkan perhatian peserta didik dari kenakalan remaja dan budaya hedonis.

Tugas lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan mencerahkan tontonan jadi tuntunan dalam beragam panggung di republik ini. Tontonan yang tidak sengaja jadi tuntunan itu, antara lain, terlihat di panggung politik. Atas nama demokrasi, saling hujat, sikut-menyikut, berebut kekuasaan, dan sikap tidak legawa dipertontonkan dengan begitu vulgar.

Padahal, dalam pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, mereka diajari tentang sopan santun, toleransi, demokrasi Pancasila, serta teori yang menyatakan suara rakyat suara Tuhan.

Di lapangan bola, pemain saling pukul, penonton berkelahi dengan wasit. Di pengadilan dan Mahkamah Konstitusi, hakim menerima suap. Padahal, dalam pelajaran agama, mereka didoktrin dengan ajaran untuk berbuat jujur dan adil.

Kejadian-kejadian yang kontradiktif dengan akal sehat dan hati nurani itu bisa jadi disikapi sebagai hal biasa karena seringnya terjadi. Bukan lagi perilaku yang layak dinegasikan.

Tanpa disadari, anak-anak akan belajar hal-hal negatif itu sebagai referensi (negatif learning). Pembelajaran negatif tersebut bukan semata-mata fenomena sosial, melainkan problem pendidikan yang krusial. Di sinilah kehadiran guru sulit tergantikan.

Profesi guru bukanlah pekerjaan biasa. Sosok mulia guru selalu dituntut memiliki empat kompetensi. Yaitu, kompetensi profesional, sosial, personal, dan pedagogis. Mengapa? Sebab, seorang pendidik menjalankan banyak fungsi sekaligus. Guru ibarat seorang perajin. Dia wajib punya gambaran yang jelas tentang apa yang harus dilakukan sekaligus bagaimana melaksanakannya. Kehati-hatian sangat penting karena tugas guru berkaitan dengan anak manusia. Sekali salah dalam mendidik, akibatnya bisa fatal.

Di sisi lain, pendidik juga seorang seniman yang perlu mampu menjiwai karakter anak didiknya secara mendalam, detail, dan individual. Karena itulah, misalnya, seorang guru musik mungkin saja tidak cukup diisi hanya oleh seorang artis atau komposer. Guru yang bermutu biasanya lahir dari lembaga pencetak guru, lembaga pendidikan tenaga kependidikan.

Sejak diakui sebagai profesi dan ditindaklanjuti dengan program sertifikasi, tunjangan profesi pendidik (TPP atau sekarang TPG) mulai dibayarkan. Manfaat sertifikasi dan di dalamnya TPG seharusnya tidak berhenti pada kesejahteraan guru. Tunjangan itu harus berlanjut pada peningkatan kualitas murid-murid.

Sertifikasi merupakan pemacu guru untuk terus bergerak maju, bukan momentum untuk menuai hasil. Bergerak maju berarti terus berubah, bukan bersikap anti perubahan. Siap menerima belajar hal-hal yang baru tanpa pandang usia. Tidak bertahan pada tradisi lama.

Pendidikan kita tidak akan mampu mempersembahkan kemajuan jika para guru tidak antusias pada perubahan. Ekologi pendidikan perlu terus dijiwai semangat pro perubahan ke arah kemajuan. Apalagi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di depan mata. Ada persaingan baru dengan guru-guru dari negara lain.

Sudah saatnya para guru mampu menembus hambatan-hambatan dari luar. Tentu saja terutama dari diri mereka sendiri. Salah satunya, keberanian mereaksi kebijakan-kebijakan yang sering membuat guru terombang-ambing dalam ketidakpastian dan kungkungan birokrasi.

Apa artinya menuntut guru untuk terus maju dan berubah jika mereka ’’dikuasai’’ birokrasi yang melahirkan kebijakan tidak ramah pendidikan. Baik birokrasi dalam lingkungan pendidikan maupun di luar pendidikan. Birokrasi yang korup akan menerbangkan awan gelap berupa ketakutan guru untuk percaya diri, aktif, inovatif, kreatif, serta bergairah dalam melaksanakan tugas.

Karena itulah, bukan hanya guru yang harus menjiwai segala tindakannya dengan filosofi pendidikan. Para pemegang kebijakan seperti presiden, menteri, hingga kepala daerah, juga DPR dan DPRD, harus yakin. Setiap perumusan aturan dan penggodokan anggaran benar-benar perlu dijiwai dasar filosofis yang kuat dan hakiki serta tujuan yang benar. Bukan semata pencitraan. Revolusi mental dengan penguatan peran strategis guru jangan sampai menjadi revolusi yang mental karena kebijakan birokrasi yang tidak mendukung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar