Insentif
Peneliti Akan Ditingkatkan
( Wawancara )
Muh Nasir ; Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
|
KORAN
SINDO, 24 November 2014
Penelitian
yang dilakukan periset Indonesia dinilai masih tertinggal, padahal potensi di
perguruan tinggi sangat besar untuk digali. Atas dasar itulah, kemudian
pemerintah menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan
Direktorat Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menjadi satu kementerian.
Lantas,
target apa yang ingin dicapai dengan penggabungan itu? Berikut petikan
wawancara wartawan KORAN SINDO Neneng Zubaidah dengan Menristek Dikti Muh
Nasir di kediamannya di Jalan Widya Chandra IV Nomor 21, Jakarta.
Sebenarnya apa filosofi penggabungan Kemenristek
dan Ditjen Dikti?
Filosofi
peleburannya didasarkan pada fakta bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam
riset basisnya adalah teori. Teori di dalam ranah ini adalah adanya di
perguruan tinggi. Jika di SMA itu basisnya persiapan maka perguruan tinggi
adalah pengutamaan. Perguruan tinggi melakukan tiga aktivitas, yakni
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang disebut dengan
Tridarma Pendidikan Tinggi. Pemerintah ingin membuktikan apakah teori yang
ada ini bisa mendukung riset di lapangan. Kami ingin mencari solusi untuk
meningkatkan keduanya. Kami gabungkan keduanya tanpa menghilangkan asal-usulnya.
Bagaimana nanti struktur organisasi di
kementerian?
Kemenristek
akan dipimpin oleh seorang deputi, sedangkan Ditjen Dikti dipimpin seorang
dirjen. Bedanya apa? Semisal dalam pemerintahan, kementerian koordinasi
adalah kluster pertama, kementerian teknis adalah kluster kedua, dan
kementerian negara adalah kluster ketiga. Kamiakannaikkan status deputi
menjadi dirjen. Karena kalau statusnya hanya deputi, dia hanya dapat
bertindak sebagai regulator, sementara dirjen itu bisa menjadi regulator dan
eksekutor.
Lalu, bagaimana perkembangan riset di Indonesia?
Tercatat
tahun ini ada 106 hasil penelitian yang dikembangkan. Kalau dirunut dari 2008
hingga 2014, total ada 721 hasil penelitian. Tetapi yang menjadi pertanyaan,
apakah semua hasil riset sudah diimplementasikan? Maka itu, saya ingin
melihat permasalahannya mengapa sampai terjadi demikian. Ada problem hasil
riset yang bagus belum diuji ke kajian ekonominya. Ada riset jika dilakukan
secara ekonomi bagus, tapi tidak ekonomis. Ekonomis itu ukurannya hasil riset
yang ada jika dilempar ke masyarakat, lalu dilakukan produksi maka akan memperoleh
keuntungan dari riset tersebut. Sederhananya, jika riset itu memakan biaya
Rp100 juta maka produk yang dijual harus seharga Rp150 jutaan sehingga riset
mempunyai makna.
Dengan siapa mengomersialisasikan riset tersebut?
Memang
banyak riset yang sudah direalisasikan di masyarakat. Seperti penelitian tuna
pakan mandiri untuk budi daya ikan tuna. Riset semacam itu yang jika
diterapkan ke masyarakat akan memberikan makna. Memang belum semua penelitian
bisa direalisasikan sehingga kami akan kerja sama dengan para asosiasi. Saya
sudah ketemu dengan asosiasi kelapa sawit untuk membicarakan pengembangan
biodiesel yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT).
Ini
potensinya sangat besar karena biodiesel bisa menggantikan BBM. Dulu
pengembangan biodiesel tidak berkembang karena BBM mendapat subsidi dari
pemerintah sehingga harganya murah daripada biodiesel. Tetapi sekarang, BBM
sudah tinggi dan mendekati harga pasar meski masih ada subsidi. Tetapi jika biodiesel
diproduksi, harganya akan di bawah BBM. Ini keunggulannya sehingga riset
biodiesel akan menjadi komersial lagi.
Apa akan ada insentif bagi peneliti yang
mengembangkan riset?
Para
peneliti kita itu PNS sebagai jabatan fungsional. Tentu mereka akan mendapat
insentif jika meneliti. Memang jika tidak ada insentif, mereka tidak akan mau
meneliti. Ke depan insentif ini akan kami tingkatkan. Memang masalahnya ada
di anggaran negara. Namun ke depan kami akan bekerja sama dengan swasta.
Lalu, kami akan benahi lembaga penelitian untuk menjadi badan layanan umum
(BLU) sehingga pendapatan yang ada bisa menjadi remunerasi.
Banyak penelitian di jenjang SD hingga SMA, juga
pemenang olimpiade. Adakah keinginan menjaring mereka?
Mereka
peneliti dasar. Ke depan bisa dikembangkan menjadi penelitian terapan. Ini
perlu dilakukan kerja sama sehingga perlu rangsangan. Problemnya kan mereka
kadang sudah bekerja di bidang lain. Maka solusinya kita akan buat
konsorsium. Selama ini peneliti kan ada di pemerintah dan swasta yang tidak
pernah mengadakan kerja sama. Maka ke depan harus ada konsorsium peneliti
pemerintah dan swasta karena akan berdampak luar biasa. Contohnya penelitian
swasta dalam penerbangan. Penelitian pesawat terbang hampir menyamai Boeing.
Kalau kita tidak joint, mereka mau memproduksi risetnya di luar negeri.
Padahal, riset itu dilakukan oleh putra putri Indonesia.
Jumlah populasi mahasiswa kita banyak, cara
menarik mereka menjadi peneliti?
Mahasiswa
itu memang disuruh membuat skripsi. Mahasiswa bisa dibedakan antara yang
ingin menjadi peneliti dan tidak. Ada orang yang inginnya hanya terapan, maka
tidak bisa kita paksakan menjadi peneliti. Dosen pun terbagi menjadi dua. Ada
educational learning dan educational research. Ini yang harus
dievaluasi lagi. Saya sudah mencoba mengelompokkan dosen-dosen di perguruan
tinggi, mana sih dosen yang senang di bidang riset dan insentif apa yang kita
bisa berikan. Mana yang sukanya hanya mengajar dan apa yang bisa kami
berikan. Tapi yang riset berbeda dengan yang mengajar. Periset akan mendapat
insentif besar.
Bagaimana soal kampus mengejar world class
university, apa masih perlu?
Beberapa
waktu lalu kami bertemu dengan wakil menteri keuangan (wamenkeu) untuk
membahas world class university
ini. Masalahnya apa kok tidak bisa masuk di world class. Ternyata masalahnya ada di instrumen keuangannya,
itu penyebab perguruan tinggi negeri tidak bisa masuk ke kelas dunia. Lalu
problem riset. Jumlah riset di perguruan tinggi yang sampai ke publikasi
sedikit. Orang tidak terdorong karena tidak ada insentif karena mekanisme
keuangannya yang sulit.
Akhirnya
pertemuan dengan Wamenkeu itu membuahkan hasil untuk memperbaiki anggaran
keuangan kampus sehingga perguruan tinggi mampu bersaing. Saya menargetkan
pada 2017 nanti paling tidak ada 5-10 perguruan tinggi negeri dan swasta
harus masuk di 500 besar dunia. Sekarang kita hanya ada tiga kampus yang
masuk, itu pun mepet di angka 500. Yang lain sudah terpental ke 600 dan 700.
Memang berat tapi harus kita lakukan. Kemarin saya kumpulkan rektor dan
mereka bilang sanggup. Kalau dia gagal maka bantuan akan saya tarik.
Bagaimana dengan maraknya plagiasi yang dilakukan
akademisi?
Orang yang melakukan plagiasi bisa disebut curang dan harus ditindak
tegas. Saya tidak mau menoleransi orang yang melanggar hukum. Serahkan ke
kepolisian. Lalu sesuai dengan PP No 53, jika PNS oleh pengadilan dikenakan
penjara lima tahun, maka status PNSnya akan dicabut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar