Saatnya
Kemendagri Ramah Daerah
Rohman Budijanto ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 26 November 2014
KEBERHASILAN
politis terbesar otonomi daerah adalah Joko Widodo. Berbeda dengan presiden
lain setelah Pak Harto jatuh, Jokowi betul-betul ’’produk daerah’’. Gus Dur,
Megawati, dan SBY adalah ’’produk Jakarta’’. Tiga mantan presiden tersebut
adalah para pemimpin yang tumbuh setelah memimpin organisasi nasional. Gus
Dur adalah mantan ketua umum PB NU, Megawati menjabat ketua umum PDIP, dan
SBY merupakan jenderal TNI (tentara, tentu saja, institusi pusat).
Sebelum
menjadi wali kota Solo, Jokowi merupakan produsen dan eksporter mebel level
eks-Karesidenan Surakarta. Dalam wawancara dengan The Jawa Pos Institute of
Pro-Otonomi (JPIP) waktu itu, Jokowi memuji inovasi perizinan di Sragen
karena memudahkan dia sebagai pengusaha.
Ketika
menjadi wali kota, Jokowi juga terkenal dengan inovasi-inovasinya yang turun
langsung menyelesaikan problem. Dia pun menjadi public darling (’’kekasih
masyarakat’’) dan kemudian media darling (’’kekasih media’’).
Apakah
kepala daerah yang inovatif seperti Jokowi itu anomali? Jelas tidak. Sangat
banyak kepala daerah yang inovatif. Pengalaman JPIP yang memonitor pelaksanaan
otonomi daerah sejak tahun pertama (2001) melihat lebih banyak kepala daerah
yang punya semangat maju ketimbang sekadar menikmati kekuasaan. Sebanyak 70
persen inisiatif inovasi yang diteliti JPIP untuk acara tahunan Otonomi
Awards (OA) lahir dari ide kepala daerah.
Di
antara ribuan inovasi itu, JPIP hanya memberikan penghargaan kepada yang
terbaik (dalam pelayanan publik, pembangunan ekonomi, dan inovasi politik).
Inovasi yang terbaik di antara yang terbaik mendapat piala emas.
Sebagaimana
diketahui, salah seorang yang pernah menerima Otonomi Award emas adalah Wali
Kota Joko Widodo, lewat pengembangan technopark, sewaktu JPIP mengadakan OA
wilayah Jateng-DIJ pada 2006.
Jokowi
bukan anomali. Hanya, media-media, yang berpusat di Jakarta, terlambat
menyadari banyaknya kepala daerah yang inovatif. Jokowi pun perlu menggunakan
panggung Jakarta untuk memperkuat capaian jenjang politiknya. Sekalipun,
posisi yang diduduki Jokowi tetap pemerintahan daerah, yakni DKI Jakarta
(ingat, ’’D’’ dalam DKI adalah daerah).
Kepresidenan
Jokowi selayaknya menjadi berkah buat para inovator daerah. Ide besar Jokowi
tentang ’’membangun Indonesia dari pinggir’’ samar-samar memihak daerah yang
tertinggal. Klop bila implementasinya memanfaatkan semangat inovasi di daerah.
Tinggal menugasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menghimpun dan
mereplikasi praktik-praktik terbaik itu.
Kemendagri,
yang punya akses langsung ke 34 provinsi dan 413 kabupaten/98 kota, perlu
menjaga semangat inovasi dan memaksimalkannya. Apalagi, inovasi tersebut
sudah diwadahi dalam bab khusus di UU 23/2014 tentang Pemda yang baru, yakni
di pasal 386 hingga pasal 390.
Mendagri
sebelumnya, Gamawan Fauzi, sebenarnya juga produk sukses otonomi daerah.
Mirip dengan Jokowi, dia pernah sukses menjadi bupati dua periode di Solok
dan gubernur Sumbar. Bedanya, Jokowi menjadi wali kota dipilih langsung,
sedangkan Gamawan dipilih oleh DPRD. Baru saat sebagai gubernur dia dipilih
rakyat.
Di
Kemendagri, Gamawan gemar memublikasikan kepala-kepala daerah yang bermasalah
dengan hukum. Menjelang lengser, 6 Oktober 2014, dia masih mengumumkan adanya
155 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Menjelang lengser pula, Gamawan
meraih gelar doktor dengan disertasi yang mempersoalkan pilkada langsung.
Disertasinya berjudul Pengaruh Pemilihan Kepala Daerah Langsung terhadap
Korupsi Kepala Daerah di Indonesia. Menjelang lengser juga, muncul UU Pilkada
via DPRD yang diributkan itu. SBY terpaksa menitahkan perppu yang
mengembalikan pilkada langsung untuk meredam kemarahan banyak orang.
Banyaknya
kepala daerah bermasalah dengan hukum itu sebenarnya indikasi baik, hukum
kita bekerja. Pada zaman Orde Baru, tidak ada gubernur, bupati, wali kota
(juga menteri dan petinggi pusat) masuk penjara. Bukannya saat itu tidak ada korupsi,
tetapi karena hukum digagahi rezim. Biarlah kepala daerah bermasalah itu
diurusi lembaga hukum, misalnya KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Kemendagri
semestinya berfokus kepada menyemangati daerah agar inovatif dan maju.
Selama
sepuluh tahun Presiden SBY memerintah, tidak ada wadah lembaga di Kemendagri
yang menampung inovasi-inovasi cerdas daerah itu. Kemendagri saat itu lebih
suka menjadi pengawas yang bermuka masam kepada daerah. Padahal, kalau daerah
gagal, mestinya juga menjadi kegagalan Kemendagri karena ada kewajiban
mengasistensi dan menyupervisi daerah.
Kementerian
Pendayaguaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) pun
berinisiatif mewadahi inovasi-inovasi daerah itu. Meskipun, itu agak
terlambat karena baru pada dua tahun terakhir pemerintahan SBY. Tahun ini
Kemen PAN-RB mempromosikan inovasi daerah itu ke level PBB (United Nations Public Service Awards/UNPSA).
Ada lima
inovasi daerah masuk final. Yakni. Aceh Singkil (sinergi dukun dan medis
menolong ibu bersalin), Luwu Utara (pendistribusian guru secara
proporsional), Barru (layanan perizinan terpadu), Kota Surakarta (layanan
administrasi kependudukan catatan sipil), dan Kota Jogja (unit pelayanan
informasi dan keluhan). Inovasi di Luwu Utara, Barru, dan Jogja itu juga
pemenang Otonomi Award.
Dalam
babak final di Seoul, mereka tidak menang. JPIP, yang hadir event PBB itu,
melihat daerah-daerah tersebut perlu dibantu dalam mengemas dan menyajikan
inovasi mereka kepada juri. Sebab, inovasi yang ditampilkan tidak kalah hebat
bila dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, dua inovasi Thailand
yang menang adalah pemberantasan malaria partisipatif dan rumah sakit yang
menyediakan fasilitas khusus korban KDRT. Bukankah inovasi seperti ini sangat
banyak di berbagai daerah kita?
Saatnya
Kemendagri lebih ramah kepada para inovator di daerah dengan membuat lembaga
khusus. Angkat, kumpulkan, dan kemas inovasi-inovasi daerah. Kalau ada daerah
lain yang ingin mereplikasi, Kemendagri bisa memfasilitasi. Misalnya,
membantu membiayai mendatangkan pelatih dari daerah yang sudah sukses. Dengan
begitu, daerah tidak perlu memulai dari nol. Ada jalan pintas untuk maju
dengan meniru praktik-praktik terbaik. Bila replikasi tersebut bisa masif,
Kemendagri akan menyaksikan kemajuan yang dipercepat. Bahkan, itu bisa
direplikasi negara lain bila lolos penilaian UNSPA.
Sudah bukan waktunya pusat pasang wajah marah-marah. Ramah-tamahlah ke
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar