Kamis, 27 November 2014

Saatnya Kemendagri Ramah Daerah

                         Saatnya Kemendagri Ramah Daerah

Rohman Budijanto  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  26 November 2014

                                                                                                                       


KEBERHASILAN politis terbesar otonomi daerah adalah Joko Widodo. Berbeda dengan presiden lain setelah Pak Harto jatuh, Jokowi betul-betul ’’produk daerah’’. Gus Dur, Megawati, dan SBY adalah ’’produk Jakarta’’. Tiga mantan presiden tersebut adalah para pemimpin yang tumbuh setelah memimpin organisasi nasional. Gus Dur adalah mantan ketua umum PB NU, Megawati menjabat ketua umum PDIP, dan SBY merupakan jenderal TNI (tentara, tentu saja, institusi pusat).

Sebelum menjadi wali kota Solo, Jokowi merupakan produsen dan eksporter mebel level eks-Karesidenan Surakarta. Dalam wawancara dengan The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) waktu itu, Jokowi memuji inovasi perizinan di Sragen karena memudahkan dia sebagai pengusaha.

Ketika menjadi wali kota, Jokowi juga terkenal dengan inovasi-inovasinya yang turun langsung menyelesaikan problem. Dia pun menjadi public darling (’’kekasih masyarakat’’) dan kemudian media darling (’’kekasih media’’).

Apakah kepala daerah yang inovatif seperti Jokowi itu anomali? Jelas tidak. Sangat banyak kepala daerah yang inovatif. Pengalaman JPIP yang memonitor pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun pertama (2001) melihat lebih banyak kepala daerah yang punya semangat maju ketimbang sekadar menikmati kekuasaan. Sebanyak 70 persen inisiatif inovasi yang diteliti JPIP untuk acara tahunan Otonomi Awards (OA) lahir dari ide kepala daerah.

Di antara ribuan inovasi itu, JPIP hanya memberikan penghargaan kepada yang terbaik (dalam pelayanan publik, pembangunan ekonomi, dan inovasi politik). Inovasi yang terbaik di antara yang terbaik mendapat piala emas.

Sebagaimana diketahui, salah seorang yang pernah menerima Otonomi Award emas adalah Wali Kota Joko Widodo, lewat pengembangan technopark, sewaktu JPIP mengadakan OA wilayah Jateng-DIJ pada 2006.

Jokowi bukan anomali. Hanya, media-media, yang berpusat di Jakarta, terlambat menyadari banyaknya kepala daerah yang inovatif. Jokowi pun perlu menggunakan panggung Jakarta untuk memperkuat capaian jenjang politiknya. Sekalipun, posisi yang diduduki Jokowi tetap pemerintahan daerah, yakni DKI Jakarta (ingat, ’’D’’ dalam DKI adalah daerah).

Kepresidenan Jokowi selayaknya menjadi berkah buat para inovator daerah. Ide besar Jokowi tentang ’’membangun Indonesia dari pinggir’’ samar-samar memihak daerah yang tertinggal. Klop bila implementasinya memanfaatkan semangat inovasi di daerah. Tinggal menugasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menghimpun dan mereplikasi praktik-praktik terbaik itu.

Kemendagri, yang punya akses langsung ke 34 provinsi dan 413 kabupaten/98 kota, perlu menjaga semangat inovasi dan memaksimalkannya. Apalagi, inovasi tersebut sudah diwadahi dalam bab khusus di UU 23/2014 tentang Pemda yang baru, yakni di pasal 386 hingga pasal 390.

Mendagri sebelumnya, Gamawan Fauzi, sebenarnya juga produk sukses otonomi daerah. Mirip dengan Jokowi, dia pernah sukses menjadi bupati dua periode di Solok dan gubernur Sumbar. Bedanya, Jokowi menjadi wali kota dipilih langsung, sedangkan Gamawan dipilih oleh DPRD. Baru saat sebagai gubernur dia dipilih rakyat.

Di Kemendagri, Gamawan gemar memublikasikan kepala-kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Menjelang lengser, 6 Oktober 2014, dia masih mengumumkan adanya 155 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Menjelang lengser pula, Gamawan meraih gelar doktor dengan disertasi yang mempersoalkan pilkada langsung. Disertasinya berjudul Pengaruh Pemilihan Kepala Daerah Langsung terhadap Korupsi Kepala Daerah di Indonesia. Menjelang lengser juga, muncul UU Pilkada via DPRD yang diributkan itu. SBY terpaksa menitahkan perppu yang mengembalikan pilkada langsung untuk meredam kemarahan banyak orang.

Banyaknya kepala daerah bermasalah dengan hukum itu sebenarnya indikasi baik, hukum kita bekerja. Pada zaman Orde Baru, tidak ada gubernur, bupati, wali kota (juga menteri dan petinggi pusat) masuk penjara. Bukannya saat itu tidak ada korupsi, tetapi karena hukum digagahi rezim. Biarlah kepala daerah bermasalah itu diurusi lembaga hukum, misalnya KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Kemendagri semestinya berfokus kepada menyemangati daerah agar inovatif dan maju.

Selama sepuluh tahun Presiden SBY memerintah, tidak ada wadah lembaga di Kemendagri yang menampung inovasi-inovasi cerdas daerah itu. Kemendagri saat itu lebih suka menjadi pengawas yang bermuka masam kepada daerah. Padahal, kalau daerah gagal, mestinya juga menjadi kegagalan Kemendagri karena ada kewajiban mengasistensi dan menyupervisi daerah.

Kementerian Pendayaguaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) pun berinisiatif mewadahi inovasi-inovasi daerah itu. Meskipun, itu agak terlambat karena baru pada dua tahun terakhir pemerintahan SBY. Tahun ini Kemen PAN-RB mempromosikan inovasi daerah itu ke level PBB (United Nations Public Service Awards/UNPSA).

Ada lima inovasi daerah masuk final. Yakni. Aceh Singkil (sinergi dukun dan medis menolong ibu bersalin), Luwu Utara (pendistribusian guru secara proporsional), Barru (layanan perizinan terpadu), Kota Surakarta (layanan administrasi kependudukan catatan sipil), dan Kota Jogja (unit pelayanan informasi dan keluhan). Inovasi di Luwu Utara, Barru, dan Jogja itu juga pemenang Otonomi Award.

Dalam babak final di Seoul, mereka tidak menang. JPIP, yang hadir event PBB itu, melihat daerah-daerah tersebut perlu dibantu dalam mengemas dan menyajikan inovasi mereka kepada juri. Sebab, inovasi yang ditampilkan tidak kalah hebat bila dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, dua inovasi Thailand yang menang adalah pemberantasan malaria partisipatif dan rumah sakit yang menyediakan fasilitas khusus korban KDRT. Bukankah inovasi seperti ini sangat banyak di berbagai daerah kita?

Saatnya Kemendagri lebih ramah kepada para inovator di daerah dengan membuat lembaga khusus. Angkat, kumpulkan, dan kemas inovasi-inovasi daerah. Kalau ada daerah lain yang ingin mereplikasi, Kemendagri bisa memfasilitasi. Misalnya, membantu membiayai mendatangkan pelatih dari daerah yang sudah sukses. Dengan begitu, daerah tidak perlu memulai dari nol. Ada jalan pintas untuk maju dengan meniru praktik-praktik terbaik. Bila replikasi tersebut bisa masif, Kemendagri akan menyaksikan kemajuan yang dipercepat. Bahkan, itu bisa direplikasi negara lain bila lolos penilaian UNSPA.

Sudah bukan waktunya pusat pasang wajah marah-marah. Ramah-tamahlah ke daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar