Baik
dan Tidak Baik
Samuel Mulia ; Penulis kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
23 November 2014
Saya
dijadwalkan mendapat giliran untuk presentasi pukul 11.00. Karena ada sesuatu
dan lain hal, presentasi saya diundur nyaris satu jam lamanya. Kami menunggu
di tempat duduk yang disediakan di tempat parkir.
Enggak ada untungnya
Kalau
Anda menanyakan mengapa saya berada di tempat parkir, yaa..., karena klien
saya memang memiliki ruang rapat yang berlokasi di tempat parkir, dan tak
memiliki ruang tunggu, kecuali kursi dengan tiga dudukan di tempat parkir
yang panasnya tak perlu saya jelaskan.
Anda
pikir saya kesal karena kepanasan? Sedikit sih, tapi hikmahnya selalu ada. Sekarang
saya bisa merasakan betapa sengsaranya para sopir yang duduk menunggu tuan
dan atau nyonyanya atau majikannya atau bosnya atau anak bosnya, menunggu di
sebuah lokasi yang sepanas itu.
Semoga
suatu hari kalau saya diberikan kemewahan untuk memiliki seorang sopir, saya
akan bisa lebih manusiawi. Ketika saya menceritakan kejadian ini, teman saya
langsung nyeletuk, ”Ahh... bisaaa aja.
Manusiawi mah sekarang. Ntar-ntar kalau udha kayak bos malah nanya manusiawi
itu apaan?”
Keterlambatan
di atas juga memorakporandakan presentasi saya berikutnya di tempat lain yang
seyogianya dijadwalkan pukul 14.00 nun jauh di luar Jakarta. Maka, saya
menulis pesan memohon pengertian klien saya itu akan sebuah keadaan yang saya
hadapi.
Alhasil,
klien saya yang pukul 14.00 itu sungguh mulia hatinya karena mau mengerti
kepelikan yang saya hadapi. Saya itu orangnya seperti itu. Selalu berpikir,
kalau seseorang mau mengerti, saya akan menyimpulkan orang itu mulia dan
baik. Kalau yang tidak mau mengerti, mereka adalah manusia yang tidak baik
dan tidak mulia.
Karena
saya itu berpikir, seharusnya semua orang itu harus memiliki tenggang rasa
untuk mengerti. Karena pasti dalam perjalanan hidup mereka, mereka toh pernah
juga menghadapi kepelikan yang sama. Nah... kalau pernah mengalami, maka saya
dengan intelektualitas yang sederhana ini berpikir, pengalamanlah yang akan
membuat seseorang bisa dan seharusnya mau mengerti.
Maka,
sering kali kekecewaan dalam hidup itu karena saya menyimpulkan terlalu cepat
dan dangkal soal baik dan tidak baik. Padahal, baik dan tidak baik, semuanya
bisa berubah, bukan? Teman saya sekali waktu pernah menguliahi saya. ”Makanya jangan keburu-buru menilai orang.
Enggak ada untungnya, bro!”
Enggak ada ruginya
Banyak
orang menganggap saya tidak mulia dan tidak baik orangnya. Saya memang
pernah, dan kadang masih demikian adanya. Saya tak tahu kalau Anda. Mungkin
gara-gara itu, untuk sebuah perbuatan yang tidak baik, bahkan yang tidak saya
lakukan pun, orang menuduh saya yang melakukannya. Saya menjadi semacam
sasaran empuk bak permainan dart.
Itu
terjadi belakangan ini karena sejumlah orang telah menuduh saya memiliki akun
di sebuah social media yang menggambarkan secara gamblang kemiripan rancangan
perancang lokal dan dunia. Padahal, saya tahu akun itu saja dari seorang
teman.
Kejadian
penuduhan juga pernah menimpa saya beberapa tahun lalu. Saya jadi sampai
berpikir, apakah ketika saya yang tidak baik memutuskan untuk berusaha
menjadi baik, orang akan melupakan ketidakbaikan yang sekali waktu pernah
saya lakukan?
Yang
saya percaya adalah, bahwa hal yang tidak baik itu agak susah terhapus dengan
perbuatan baik. Membutuhkan waktu lama untuk proses penyembuhannya. Sekali
seseorang membuat kesalahan atau perbuatan yang dianggap tidak baik, luka itu
nyaris akan selalu ada. Luka ini yang menurut saya melahirkan
ketidakpercayaan.
Waktu
ayah kandung dan ibu tiri saya meninggal, banyak orang menghibur saya dengan
menceritakan hal yang baik tentang mereka. Padahal, saya tahu pasti beberapa
orang tak menyukai ayah saya. Artinya, ayah saya pernah melakukan hal yang
tak baik di mata mereka sehingga mereka memutuskan tak menyukai ayah saya.
Artinya lagi, hal baik yang mereka ceritakan kebenarannya bisa jadi tak
seratus persen.
Yang
tidak tahu kalau ayah saya tidak baik, akan mengatakan ayah saya baik. Maka
saya menyimpulkan, saya itu sebaiknya memiliki niat berbuat baik, dan kalau
bisa diusahakan tidak menyerah di tengah jalan dalam berbuat baik meski
perbuatan baik itu tak dinilai baik oleh orang lain.
Setiap
individu berhak memutuskan untuk memelihara luka dan susah untuk memercayai
kembali seperti sediakala. Adalah hak seseorang untuk tidak memaafkan dan
memelihara luka, tetapi adalah hak seseorang juga untuk berbuat baik meski ia
tak dipercayai akan berhasil berbuat baik.
Sekali waktu ayah pernah memberi nasihat. ”Berbuat baiklah sebisa mungkin. Karena jika semua yang di dunia ini
berakhir dan tak ada hari penghakiman itu, tak ada ruginya barang sepeser pun
perbuatan baikmu itu. Kalau ternyata hari penghakiman itu ada, kamu adalah
orang yang paling beruntung.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar