Putuwi
Melukis Pohon
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KOMPAS,
23 November 2014
Putu
Wijaya—tidak menggunakan singkatan ala Jokowi menjadi Putuwi, berusia 70
tahun, memamerkan lukisan—baru sekali ini, menunjukkan semangat yang membuat
iri—padahal katanya baru menderita perdarahan di otak. Dalam rangkaian yang
sama, tiga drama dipentaskan. Putu seniman komplet: menulis baik novel,
skenario, naskah drama, laporan jurnalistik, menyutradarai, memimpin grup,
dan ulet—selama 45 tahun saya mengenalnya, Putu terus berkarya, dan bagus.
Saya
mengenal selama itu, bahkan waktu itu Putu belum pacaran tapi sudah menikah
dengan teater. Putu sudah memakai topi putih tanpa pernah
melepaskan juga saat tidur—entah kalau mandi, bicara cepat seolah berkejaran
dengan waktu yang singkat, dan kancing atas bajunya dibiarkan terbuka seperti
Rhoma Irama, dengan sepatu kets model olahraga. Putu adalah semangat, selalu
bersemangat, dan lebih dari itu. Ketika saya diminta membuat tulisan apa saja
tentang kiprahnya sampai usia 70 tahun, saya tidak segera mengiya. Ketika
waktu pengumpulan tulisan diundur, tulisan saya belum selesai. Saya kirim
sandek : Putu, tulisan tentang kamu
tak bisa menggambarkan kamu. Kamu lebih dari semua yang dituliskan itu.
Kami
tumbuh bersama teman-teman lain di awal tahun 1970-an, walau Putu selalu
berada di depan karena senioritasnya yang lima tahun duluan. Saya dan Putu
sama-sama menulis novel, menulis naskah drama, menulis skenario. Kadang Putu
menjadi juri suatu kegiatan, misalnya festival film, atau lomba penulisan, di
mana saya sebagai peserta. Juga sebaliknya, saya menjadi juri. Kami berdua
adalah generasi yang dibentuk, atau dibesarkan supaya kelihatan besar, oleh
berbagai lomba, berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, termasuk
undangan gratisan mengikuti apa di mana.
Putu
selalu menggambarkan semangat, kemauan, kerja, dan kesigapan. Karya-karyanya relatif aman, nyaman, dan
baik-baik saja ketika bersentuhan dengan kekuasaan. Ketika lakon-lakon teater
Arifin C Noer, Rendra, bahkan generasi Nano Riantiarno, kena cekal atau
masalah, lakon Putu melenggang dengan tenang, walau ceritanya meradang. Lakon, atau juga novel Putu lebih memancing
perhatian para kritikus, para pemerhati, yang begitu baik memberikan
pencerahan apa yang diperidiomkan.
Putu
beruntung karena komunitas Tempo, yang terdiri dari banyak pengamat dan
pelaku seni, membantu menerjemahkan apa yang ”patut diduga dimaksudkan oleh
pelaku”. Istilah ”ada banyak belokan
dalam cerita Putu”, yang disodorkan Goenawan Mohammad menerang–jelaskan
kejutan jalan cerita, memungkinkan memahami pembaruan atau juga penjelasan
proses kreatif yang dialami Putu, bisa dituliskan dalam berbagai resensi oleh
Syubah Asa. Putu sendiri terus
berkarya, tak hirau juga tak terpukau, pujian atau penjelasan. Putu terus
menuliskan karya, di samping membuat laporan untuk kegiatan jurnalistiknya.
Laporan tentang grup musik Bimbo banyak membuat decak kagum, sementara
laporan tentang bola dianggap lucu.
Dinamika
Kini,
setelah semua perjalanan kreatifnya, dinamika semangatnya dibuktikan dengan
melukis, dan bukan menangisi tangannya yang susah diatur di atas komputer.
Akhir tahun lalu, dengan mengagumkan Putu tampil membacakan cerpen. Tidak membacakan karena
Putu bisa menghafal, dan dibantu anaknya. Putu juga bercerita bahwa dengan
jempolnya ia bisa mengirim sandek,
bahkan menulis untuk kolom, seminggu sekali.
Kemudian
sekali, Putu Wijaya melukis, dan karyanya dipamerkan, dibuka dengan meriah
dan keakraban, dan pujian. Kali ini Putu tak minta tafsiran berlebih dalam
membuat judul. Dulu penuh dengan Aduh, Cas-Cis-Cus, Plong, Zigzag, atau
bahkan” Tai”. Termasuk dalam pengadegan.
Kini, dalam lukisan judul
sudah menjelaskan semua, seperti
Yang Perkasa Yang Tidak Menyerah (2014), yang gambarnya memang pohon
gede kuat, gagah, Tiga Wajah Kelimutu (2014), yang memang wajah danau, maupun
Sunyi Yang Damai. Judul yang jauh
berbeda dalam lukisan tentang kapal,
laut, langit ganas, Jangan Sentuh Kami (1974).
Apakah
ini berarti Putu kembali masa awal
kesenimannya di Sanggar Bamboe—sanggar
seni yang intensif pergaulannya, didirikan di Yogya dengan banyak
cabang di kota lain, dengan pilihan judul, misalnya Bila Malam Bertambah
Malam (1964), yang puitis yang terasa
bedanya dengan Hah (1987), apalagi Jpret (2009).
Meskipun demikian, Putu selalu lebih dari semua itu. Bahkan lukisan,
judul, pilihan warna, tetap akan diresensi, dikomentari, ditemukan sisi lain
yang tetap menarik. Saya tak mengerti lukisan, tapi senang, ikut tersemangati
melihat karyanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar