Minggu, 30 November 2014

Putuwi Melukis Pohon

                                              Putuwi Melukis Pohon

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KOMPAS,  23 November 2014

                                                                                                                       


Putu Wijaya—tidak menggunakan singkatan ala Jokowi menjadi Putuwi, berusia 70 tahun, memamerkan lukisan—baru sekali ini, menunjukkan semangat yang membuat iri—padahal katanya baru menderita perdarahan di otak. Dalam rangkaian yang sama, tiga drama dipentaskan. Putu seniman komplet: menulis baik novel, skenario, naskah drama, laporan jurnalistik, menyutradarai, memimpin grup, dan ulet—selama 45 tahun saya mengenalnya, Putu terus berkarya, dan bagus.

Saya mengenal selama itu, bahkan waktu itu Putu belum pacaran tapi sudah menikah dengan teater.  Putu  sudah memakai topi putih tanpa pernah melepaskan juga saat tidur—entah kalau mandi, bicara cepat seolah berkejaran dengan waktu yang singkat, dan kancing atas bajunya dibiarkan terbuka seperti Rhoma Irama, dengan sepatu kets model olahraga. Putu adalah semangat, selalu bersemangat, dan lebih dari itu. Ketika saya diminta membuat tulisan apa saja tentang kiprahnya sampai usia 70 tahun, saya tidak segera mengiya. Ketika waktu pengumpulan tulisan diundur, tulisan saya belum selesai. Saya kirim sandek :  Putu, tulisan tentang kamu tak bisa menggambarkan kamu. Kamu lebih dari semua yang dituliskan itu. 

Kami tumbuh bersama teman-teman lain di awal tahun 1970-an, walau Putu selalu berada di depan karena senioritasnya yang lima tahun duluan. Saya dan Putu sama-sama menulis novel, menulis naskah drama, menulis skenario. Kadang Putu menjadi juri suatu kegiatan, misalnya festival film, atau lomba penulisan, di mana saya sebagai peserta. Juga sebaliknya, saya menjadi juri. Kami berdua adalah generasi yang dibentuk, atau dibesarkan supaya kelihatan besar, oleh berbagai lomba, berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, termasuk undangan gratisan mengikuti apa di mana.

Putu selalu menggambarkan semangat, kemauan, kerja, dan kesigapan.  Karya-karyanya relatif aman, nyaman, dan baik-baik saja ketika bersentuhan dengan kekuasaan. Ketika lakon-lakon teater Arifin C Noer, Rendra, bahkan generasi Nano Riantiarno, kena cekal atau masalah, lakon Putu melenggang dengan tenang, walau ceritanya meradang.  Lakon, atau juga novel Putu lebih memancing perhatian para kritikus, para pemerhati, yang begitu baik memberikan pencerahan apa yang diperidiomkan.

Putu beruntung karena komunitas Tempo, yang terdiri dari banyak pengamat dan pelaku seni, membantu menerjemahkan apa yang ”patut diduga dimaksudkan oleh pelaku”.  Istilah ”ada banyak belokan dalam cerita Putu”, yang disodorkan Goenawan Mohammad menerang–jelaskan kejutan jalan cerita, memungkinkan memahami pembaruan atau juga penjelasan proses kreatif yang dialami Putu, bisa dituliskan dalam berbagai resensi oleh Syubah Asa.  Putu sendiri terus berkarya, tak hirau juga tak terpukau, pujian atau penjelasan. Putu terus menuliskan karya, di samping membuat laporan untuk kegiatan jurnalistiknya. Laporan tentang grup musik Bimbo banyak membuat decak kagum, sementara laporan tentang bola dianggap lucu.

Dinamika

Kini, setelah semua perjalanan kreatifnya, dinamika semangatnya dibuktikan dengan melukis, dan bukan menangisi tangannya yang susah diatur di atas komputer. Akhir tahun lalu, dengan mengagumkan Putu tampil  membacakan cerpen. Tidak membacakan karena Putu bisa menghafal, dan dibantu anaknya. Putu juga bercerita bahwa dengan jempolnya ia  bisa mengirim sandek, bahkan menulis untuk kolom, seminggu sekali.

Kemudian sekali, Putu Wijaya melukis, dan karyanya dipamerkan, dibuka dengan meriah dan keakraban, dan pujian. Kali ini Putu tak minta tafsiran berlebih dalam membuat judul. Dulu penuh dengan Aduh, Cas-Cis-Cus, Plong, Zigzag, atau bahkan” Tai”. Termasuk dalam pengadegan.

 Kini, dalam lukisan  judul  sudah menjelaskan semua, seperti  Yang Perkasa Yang Tidak Menyerah (2014), yang gambarnya memang pohon gede kuat, gagah, Tiga Wajah Kelimutu (2014), yang memang wajah danau, maupun Sunyi Yang Damai.  Judul yang jauh berbeda dalam lukisan  tentang kapal, laut, langit ganas, Jangan Sentuh Kami (1974).

Apakah ini berarti Putu kembali  masa awal kesenimannya di Sanggar Bamboe—sanggar  seni yang intensif pergaulannya, didirikan di Yogya dengan banyak cabang di kota lain, dengan pilihan judul, misalnya Bila Malam Bertambah Malam (1964),  yang puitis yang terasa bedanya dengan Hah (1987), apalagi Jpret (2009).

Meskipun demikian, Putu selalu lebih dari semua itu. Bahkan lukisan, judul, pilihan warna, tetap akan diresensi, dikomentari, ditemukan sisi lain yang tetap menarik. Saya tak mengerti lukisan, tapi senang, ikut tersemangati melihat karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar