Upah
dan Kesejahteraan Buruh
Rekson Silaban ; Direktur Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS,
25 November 2014
DUEL El Clasico” tahunan buruh versus majikan
atas besaran upah minimum kembali terjadi, mengulangi peristiwa dari puluhan
tahun lalu. Mungkin karena sudah berlangsung lama, banyak pihak yang
menganggap peristiwa ini menjadi biasa, yang sebentar juga akan berlalu. Akibatnya,
tidak lagi ada upaya untuk mencari solusi dan akar masalahnya.
Ada dua
masalah yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, banyak pihak yang berpikir
satu-satunya upaya menaikkan kesejahteraan buruh adalah melalui kenaikan upah
minimum. Akibat pemahaman ini, kenaikan upah minimum yang tinggi dianggap menjadi
satu-satunya cara untuk membuat buruh hidup layak. Padahal, fakta lapangan
yang penulis lihat di kalangan buruh Jakarta, tidak ada yang berubah dalam
keseharian buruh, sekalipun dalam tiga tahun terakhir terjadi kenaikan upah
minimum sekitar 80 persen.
Kamar
kos masih tetap berbagi dengan 2-3 teman, makanan dengan nutrisi minim, sisa
gaji tidak pernah tersisa, wajah pucat dan umumnya tetap kurus. Kenaikan gaji
selalu tergerus inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Buruh harus ambil
kerja lembur untuk menambah sedikit penghasilan. Jadi, teori tentang kenaikan
upah menuju hidup layak sejauh ini hanya ilusi. Indonesia perlu mencari model
lain untuk menyejahterakan buruh.
Kesalahan
tersebut diperburuk lagi dengan kebiasaan negara memandang kementerian
ketenagakerjaan sebagai institusi minor yang tidak penting. Bisa dilihat dari
kewenangan, anggaran, dan kompetensi menterinya. Setiap orang diasumsikan
bisa menjadi menteri tenaga kerja sekalipun tidak memiliki rekam jejak di
bidang ketenagakerjaan. Jadi, tidak perlu heran jika kementerian ini tidak
mengalami perkembangan berarti sejak dua dekade terakhir. Bentuk konflik
hubungan industrial yang terjadi di awal reformasi persis sama dengan apa
yang dihadapi pelaku hubungan industrial saat ini.
Aktor terus
berganti, tetapi masalah tidak kunjung meredup. Setelah puluhan tahun
menerapkan upah minimum, masalahnya tetap sama seperti berikut. Rata-rata
upah minimum provinsi (UMP) nasional dan rasio UMP/KHL (kebutuhan hidup
layak) tahun 2014 sebesar Rp 1,563 juta dengan rasio 93,72 persen; tertinggi
ada di Provinsi DKI Jakarta Rp 2,441 juta dengan rasio 106,14 persen. Ada 15
provinsi yang menetapkan UMP sama dengan atau di atas KHL, yaitu Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu,
Lampung, Banten, Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.
Tingkat
kepatuhan dalam membayar upah pekerja sesuai dengan UMP masih rendah; tingkat
partisipasi pekerja terhadap program jaminan sosial masih rendah; jumlah
pekerja informal lebih banyak daripada pekerja formal; tingkat produktivitas
pekerja di Indonesia masih rendah jika dibandingkan negara Asia Pasifik lain.
Sementara,
banyak pihak yang memandang urusan ketenagakerjaan, pengangguran, produktivitas,
dan kesejahteraan buruh adalah domain politik kementerian ketenagakerjaan.
Padahal, dalam urusan kesejahteraan buruh, kementerian ini hanya memiliki
peran minim. Karena hanya terbatas dalam pengawasan, penempatan, menciptakan
hubungan industrial yang harmonis. Kalaupun ada peran yang agak penting,
hanya dalam perubahan besaran komponen upah minimum.
Perlu tesis baru
Teori
konvensional negara berkembang untuk mendapatkan investasi asing (FDI)
biasanya dilakukan melalui kebijakan upah murah (cheap labor standard) dan kelonggaran aturan hukum. Di tingkat
awal ini bisa dibenarkan, untuk alasan ketiadaan modal dan sumber daya
manusia, buruh yang tersedia umumnya tak terdidik dan tak ahli. Tapi, ini
bukan era 1970-1980-an. Kebijakan konvensional itu harus diakhiri. Meneruskan
kebijakan ini tidak akan menguntungkan siapa pun. Hanya akan membuat
Indonesia lebih lama ditawan sebagai kelompok negara penyalur; produk
teknologi, rendah produktivitas, produk murah, buruh miskin.
Negara
di kelompok ini menjadi tak berminat berinvestasi dalam inovasi teknologi
bernilai tambah, berinvestasi dalam pendidikan, pelatihan keahlian.
Banglades, Kamboja, dan Pakistan adalah contoh negara yang gagal menaikkan
kesejahteraan buruh akibat menerapkan sistem ini.
Bahkan
korbannya tak hanya negara tujuan FDI, tetapi juga negara kaya. Maraknya
pekerja migran tanpa dokumen resmi, trafficking
in person, yang ”menyerbu” negara maju, dan ”mencuri” pekerjaan pekerja
lokal, telah melahirkan banyak masalah, mulai dari peningkatan kriminalitas,
tindakan fobia terhadap orang asing (xenofobia),
diskriminasi dan anti pekerja asing. Negara maju terlambat menyadari bahwa
kemiskinan di satu kawasan akan mengganggu ketenangan kawasan lain.
Persaingan FDI untuk mendapatkan kawasan paling ekonomis telah melahirkan
perlombaan ke perlakuan minimalis (race
to the bottom) yang ternyata hanya menguntungkan segelintir pebisnis
serakah, tetapi mengancam kestabilan global.
Tiongkok
lebih dulu sadar akan situasi ini. Sadar akan ketakmampuannya mengikuti jejak
sukses Jepang, Korea, Taiwan dalam inovasi teknologi, Tiongkok melakukan
investasi besar dalam pendidikan murah. Seperti disebutkan Lu Zheng, direktur
lembaga ekonomi industrial, ”Tiongkok menikmati keunggulan komparatif karena
bisa menyediakan buruh murah terlatih, yang memberikan keunggulan Tiongkok
selama dua dekade untuk meraih pertumbuhan ekonomi tinggi.”
Tiga model pengembangan
Apabila
Indonesia ingin menyejahterakan buruh, sebaiknya paradigma melalui upah
minimum harus diakhiri. Sebab, berbagai riset telah membuktikan, kenaikan
upah minimum tidak menyejahterakan buruh. Kita harus membuat sistem baru.
Tesis baru yang penulis tawarkan adalah menaikkan kesejahteraan buruh melalui
peningkatan kompetensi dan produktivitas. Sesuai janji revolusi mental
Presiden Jokowi, saya berandai menteri koordinator bidang perekonomian akan
mengumpulkan menteri ekonomi terkait untuk merumuskan peta jalan terbaru guna
menyejahterakan buruh. Tentu saja penulis sadar sepenuhnya karakteristik
angkatan kerja kita yang mayoritas tidak terdidik, minim keahlian, mayoritas
pekerja informal. Tapi itu juga fakta yang dihadapi Korea, Malaysia,
Thailand, Tiongkok, Taiwan, dan India saat mereka merumuskan arah baru
kesejahteraan buruh.
Dari
tiga jenis karakteristik buruh di atas (tidak terdidik, minim keahlian,
informal) diperlukan tiga model pengembangan dengan strategi berbeda. Untuk
buruh formal (khususnya kaum muda), hal mendesak perlu dilakukan pemerintah,
yakni mengakselerasi revitalisasi dan memperkuat fasilitas badan latihan
kerja dan berbagai pusat pelatihan, dalam upaya mendukung proses meningkatkan
daya saing dan produktivitas pekerja, melalui program sertifikasi profesi.
Ini disesuaikan dengan standar profesi dalam mutual recognition agreement
ASEAN. Agar ini berhasil, pemerintah pusat harus melibatkan pengusaha dan
pemerintah daerah untuk komitmen ini, khususnya dalam menetapkan target
penerima manfaat.
Premis
lama tentang efek upah minimum sebagai cara menciptakan hidup layak harus
diganti menjadi peningkatan keahlian/kompetensi sebagai cara untuk
mempercepat capaian hidup layak. Dalam pengalaman empiris selama ini, buruh
yang dicakup dalam upah minimum hanya mampu mencukupi kebutuhan pribadinya.
Nantinya buruh yang digaji dengan upah layak akan mampu menanggung 2-4
anggota keluarga. Jadi, efek berantainya bisa menurunkan kemiskinan absolut.
Buruh yang memiliki kompetensi pasti akan menghasilkan produktivitas tinggi. Pasar
kerja akan berebut merekrut mereka, selanjutnya upah pun otomatis akan
meningkat tanpa intervensi upah minimum.
Kebijakan
upah buruh murah (cheap labor policy)
harus diganti menjadi kebijakan tenaga kerja produktif (productive labor policy) untuk mencapai pekerja dengan
kualifikasi high-quality, high-skill, dan
high value-added production.
Apa
skenario untuk pekerja informal dan tidak terdidik? Tidak terlalu banyak
pilihan yang tersedia. Sebagian pekerja kategori ini bisa dilatih untuk
peningkatan keahlian. Namun, sebagian besar tidak akan tertampung karena
miss-match di pasar kerja. Pemerintah harus mempertinggi perlindungan
terhadap mereka, seperti dicakup dalam penerima bantuan sosial, kepastian
hukum di tempat kerja. Sementara sebagian lagi bisa dilatih untuk dikirim ke
luar negeri. Perlu antisipasi untuk mencegah kelompok pekerja ini bertumbuh,
dengan cara menaikkan investasi untuk pendidikan yang murah.
Dengan demikian, setiap orang memiliki kemungkinan untuk bekerja di
tempat yang layak. Jangan seperti sekarang, buruh melahirkan buruh. Perangkap
kemiskinan ini harus dihentikan. Karena semakin rendah tingkat pendidikan
semakin tinggi potensi untuk menjadi miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar