Seni,
Budaya, Kaum Muda, dan Budhi (2)
Sys NS ; Pendiri Mufakat Budaya Indonesia, Seniman
|
KORAN
SINDO, 29 November 2014
Secara
umum ingin saya katakan bahwa dalam perspektif kaum muda seni dan budaya
merupakan media ekspresi yang mewakili semangat pembebasan terhadap berbagai
aturan atau nilai yang dipandang tidak pas dan tidak cocok lagi dengan
kehendak zaman.
Di sisi
lain, masih dalam perspektif kaum muda, seni dan budaya merupakan media
aktualisasi diri yang mengekspresikan dinamika serta kebebasan mengusung
gagasan-gagasan baru. Karena itu, seni dan budaya harus memenuhi kriteria
universal, yaitu kreatif, komunikatif, dinamis, bermutu, mewakili perasaan
dan pikiran mayoritas penikmatnya, dan mampu menjadi media kontrol sosial
yang efektif.
Apa pun
bentuk dan jenisnya, seni dan budaya merupakan media efektif untuk
menyuarakan pembaruan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan demikian, setiap seniman dan kaum muda haruslah mencerminkan identitas
para demokrat. Yaitu orang-orang yang menjunjung tinggi persamaan dan
kesamaan, serta selalu menghormati perbedaan.
Selebihnya,
karena kita tinggal di Indonesia, kita pun harus pandai memuliakan pluralitas
alias keberbagaian. Bagi saya, di tangan kaum muda, seni dan budaya juga
mesti mencerminkan religiositas alias nilai-nilai agamais, kebangsaan, dan
kerakyatan. Dengan begitu, karya seni dapat memadukan pertimbangan artistik,
estetik, dan etik.
Sebagai
pekerja budaya, dari kerja teater, media massa, hiburan, manajemen
pergelaran, hingga pemikir dan pekerja politik, saya merasa bersyukur dapat
mengalami secara penuh perjalanan kebudayaan dalam tiga fase politik
terpenting bangsa Indonesia: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Ini
sebuah rasa syukur yang tidak berlebihan, tapi memang karena saya mendapat
pelajaran banyak dari perjalanan hidup yang setidaknya menjadi saksi dari
ekspresi-ekspresi kultural di semua elemen dan lapisan kehidupan negeri ini.
Mulai pengamen, seniman, broadcaster, pengamat yang cuma “ngamat-ngamati“,
para maestro kondang hingga presiden yang nyeni.
Dari pengalaman itulah saya merasa paham, mafhum, dan akhirnya yakin
bahwa kebudayaan kita sesungguhnya tidak pernah mandek, berhenti; tapi ia
terus berjalan, berproses dan mengembangkan (bentuk maupun kualitas) dirinya.
Bagaimanaia diukur, dalam acuan estetik, artistik, statistik dan sebagainya,
itu bukan urusan atau bidang saya. Saya hanya pelaku sekaligus saksi.
Dan saya bersuka ria karena itu. Saat peralihan kekuasaan dari Orla ke
Orba, tepatnya ketika Soeharto menjadi pejabat presiden pada 1967 hingga
menjadi penguasa di paruh awal 70-an, saya merasakan dengan sangat bagaimana
kegairahan budaya dan kesenian begitu kuat saat itu.
Muncul inspirasi-inspirasi baru, gagasan artistik yang inovatif hingga
percobaan atau eksperimen-eksperiman kultural yang menggetarkan. Kitaingat
bagaimana masa itu melahirkan Rendra, Danarto, Arifin C Noer, Teguh Karya
dalam teater. Lalu Djadug Djajakusuma, Syuman Djaya, Ami Prijono melahirkan
warna-warna baru dalam perfilman Indonesia.
Begitu pun dalam dunia tari yang melahirkan Sardono W Kusumo hingga
Retno Maruti, hingga dunia sastra tergetar oleh karya-karya Budi Darma, Iwan
Simatupang, Putu Wijaya, dan banyak lainnya. Hingga empat puluh tahun
kemudian kita pun tahu, masih nama-namadiatasyangmenjadi referensi utama dari
dunia seni atau artistik kita.
Artinya, empat puluh tahun kemudian ternyata kita gagal melahirkan
karya dan seniman-seniman yang memiliki maqom atau pencapaian artistik yang
setara. Bahkan bisa dibilang merosot, drastis bahkan. Mengapa? Apa yang
terjadi dengan para seniman dan para pekerja budaya kita lainnya?
Pertanyaan itu sebenarnya paralel juga dengan kesangsian dan kecemasan
akan terjadinya pula kemerosotan kehidupan berbangsa kita di semua level
praktisnya. Termasuk dalam kehidupan politik, bisnis (ekonomi), hingga hidup
beragama atau akademis kita. Saat ini kita mengalami kerancuan, atau semacam
kekacauan acuan dan orientasi, di hampir semua lapangan kehidupan kita.
Hal-hal yang dulu dianggap sakral, luhur atau mulia, kini seperti
menjadi sesuatu yang sangat biasa, artinya dapat ditinggalkan atau tak perlu
dipedulikan lagi. Lalu orang menyeberang jalan sembarangan, berkendaraan
tanpa mengindahkan rambu dan marka jalan, sekolah hanya untuk kedok menutupi
tindakan kriminal, menjadi pejabat hanya untuk menipu rakyatnya sendiri, jadi
bagian dari parlemen hanya menggunakan konstituen sebagai arsenal pemenuhan
hedonis saja, menjadi pedagang cuma untuk menguras dompet publik sampai pada
simpanan kebutuhan primernya.
Apa sebenarnya yang telah terjadi? Saya melihat sederhana saja:
kebudayaan telah melupakan kata dasar utamanya: budhi. Kita semua telah
kehilangan “budhi”, satu hal yang mampu mengolah kendali semua kecenderungan
menyimpang kita serta mengutamakan apa yang kita sebut baik dan benar.
Maka, saya amat sangat berharap agar masalah “budhi” ini harus menjadi
mata pelajaran utama sekolah di negeri tercinta, Indonesia. Saya sebagai
salah satu pendiri Mufakat Budaya Indonesia selalu berdoa semoga para pendiri
lain, seniman, budayawan, sejarawan, politisi, ilmuwan, cendekiawan,
akademisi, birokrat, dan pengamat bisa menjadikan “kegelisahan” itu sebagai
penyemangat.
“Budhi” inilah materi dalam Temu
Akbar II, setelah Temu Akbar I dengan Deklarasi Cikini 2009 yang melahirkan
“rekomendasi” untuk penyelenggara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar