Timah
Panas di Tubuh Demokrasi
Umbu T Pariangu ; Dosen Fisipol, Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 25 November 2014
KITA berbelasungkawa atas
tewasnya anggota TNI Praka Joni K Marpaung dalam aksi saling baku tembak
antara anggota satuan Yonif 134 dan Brimob Polda di Batam (19/11). Itu
semakin memperpanjang jatuhnya korban akibat pertikaian dua institusi
tersebut. Sebelumnya bentrok TNI-Polri pernah terjadi di awal-awal reformasi
seperti di Madiun (2001), Binjai (2002), Pontianak (2003), Ambon, Cimanggis,
Depok (2005), Binjai (2007), Maluku (2008), Ogan Komering Ulu (2013), dan
beberapa konfl ik lainnya hingga kini.
Data Pusat Studi Politik dan
Keamanan Unpad menunjukkan konfl ik TNI-Polri pada 2014 sudah terjadi sebanyak
delapan kali dan jika dihitung dalam kurun 1999-2014, jumlahnya sudah
mendekati 200 kasus dengan memakan korban tewas sebanyak 20 orang. Data lain
sebagaimana dilansir Indonesia Police Watch menyebutkan, sejak 9 Oktober 2013
hingga 21 September 2014, sudah terjadi enam kali bentrokan antara TNI dan
Polri yang mengakibatkan 8 anggota TNI terluka, 4 di antara mereka tertembak,
dan 5 polisi mengalami luka-luka.
Berapa pun jumlah korban yang
tewas dari konflik tersebut, ini harus menjadi alarm bahwa aliran darah dan
kekerasan harus disetop. TNI-Polri merupakan institusi pengendali senjata,
penjaga keamanan, dan pelindung masyarakat yang mestinya memperkuat dan
melindungi negara dan rakyat dari berbagai ancaman, bukan justru mereproduksi
intimidasi, keresahan, ketakutan, dan kekerasan. Bahkan fungsi keamanan yang
diemban keduanya tidak hanya mencakup menegakkan keamanan negara (state security) yang bernuansa
militeristis, tapi juga pada pemenuhan kebutuhan kemanusiaan (human security) yang menjamin
eksistensi warga dalam kehidupan sosialnya.
Antonio Garmsci menegaskan
rakyat merupakan fundamen dan soko guru utama eksistensi sebuah negara.
Artinya keadaan dan konfi gurasi kekuatan negara akan mempersonifi kasikan pula
keadaan rakyat sesungguhnya. Hubungan entitas inilah yang perlu terus dirawat
dan diperkuat aliran social trust-nya agar nilai demokrasi terus terjaga dari
infi ltrasi dan hegemoni kekerasan.
Rentannya konflik yang meletup
dari dua kesatuan yang pernah bersatu secara institusi di zaman Orde Baru
tersebut menunjukkan disorientasi kelembagaan dalam mendefi nisikan peran dan
wewenang mereka di hadapan rakyat. Padahal, saat ini TNI-Polri sedang
giat-giatnya meniti ujian konsolidasi sebagai lembaga yang baru saja mengenakan
jubah keprofesionalan pascareformasi untuk menjalankan tugas dan pengabdian
sebagai pelaku agenda reformasi sektor keamanan seturut UUD 1945. Artinya dua
institusi tersebut menjadi tulang punggung negara sekaligus agen terdepan
dalam menjalankan dan menciptakan fungsi ketertiban negara dan saluran vital
bagi persemaian dan pelembagaan nilai-nilai demokrasi (penegakan hukum,
kesetaraan, solidaritas, dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 100 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Deretan konflik TNI-Polri harus
dicarikan formula penyelesaian secara komprehensif. Selama ini eskalasi
konflik TNI-Polri selalu disikapi dengan reaksi `eksak' pemberian sanksi
(berupa rotasi, mutasi, dan pemecatan) atau justru sebaliknya pemberian
impunitas karena mutualisme kepentingan antara atasan dan bawahan. Rangkaian
investigasi untuk mengungkap motif penyebab pertikaian pun kerap masih
dibalut justifikasi dan solidaritas sempit kesatuan sehingga rekomendasi yang
dihasilkan pascakonflik selalu gagal mencegah perulangan konflik yang sama.
Akibatnya sistem evaluasi dan
kontrol untuk menghindari penyimpangan perilaku dan fungsi prajurit di
lapangan juga tidak bisa berjalan efektif karena pemberian sanksi tanpa
mengobati luka kultur dan spirit reformis dalam tradisi organisasi justru
hanya menyimpan luka lama (dendam) yang sesekali akan kambuh ketika dipicu
pemantik sekecil apa pun.
Gengsi kelembagaan
Pertikaian Polri dengan `saudara
tuanya' di Batam menjadi refleksi bahwa persoalan gengsi dan hegemoni dalam
menguasai lahan ekonomi untuk menutupi minimnya kesejahteraan masih menjadi
problem utama. Jika tak ada ketentuan sekaligus penerapan sanksi tegas yang
melapangkan kebesaran jiwa TNI untuk mundur dari ranah pengamanan bisnis
tersebut, konflik di antara keduanya sulit diredam.
Sebagai institusi yang diberi
tugas khusus untuk ‘berperang’ dengan militer bangsa lain, TNI seakan
memiliki energi berlebihan, yang jika tidak tersalur dengan baik justru
menjadi destruktif. Karena itu, perlu ada saluran positif dan konstruktif
bagi TNI untuk mengeksploitasi energi positif mereka lewat berbagai
kegiatan-kegiatan konstruktif, seperti sosialkemanusiaan (TNI masuk desa
serta hadir dan terlibat aktif di lokasi-lokasi bencana).
Selain itu, gengsi institusi
menjadi trigger lahirnya seteru. Dengan keputusan politik memisahkan Polri
dari institusi dan garis komando TNI pada 1 April 1999 yang ditetapkan dalam
Tap MPR/VI/2000 dan Tap MPR/VII/2000 dengan menempatkan TNI di bawah
departemen pertahanan sedangkan Polri berada langsung di bawah presiden,
membuat polisi seakan mendapat durian runtuh ‘diskresi’ atau overconfidence untuk menegasi
anasir-anasir yang dianggap mengganggu kepentingannya.
Ditambah pula dengan tugas dan
perannya yang semakin banyak, Polri seakan memiliki privilese yang lebih.
Sebaliknya, TNI yang selama puluhan tahun di bawah rezim Orde Baru selalu
mengendalikan Polri secara psikologis merasa terganggu oleh reposisi
tersebut. Ada semacam kecemburuan psikologis kelembagaan yang kemudian
dikapitalisasi ke dalam motif pencarian ekonomi, pengakuan sosial-politis,
dan sebagainya demi menjaga ‘citra kesatuan’ lembaga.
Kita berharap pemerintah
bereaksi cepat untuk menghadirkan kembali rasa aman publik, dengan
menuntaskan akar konfl ik TNI-Polri di Batam, serta mulai berani merancang
formula penyelesaian konfl ik jangka panjang lewat penataan dan reformasi
struktur dan nilai-nilai lembaga yang reformis dan profesional melalui revisi
UU Keamanan Nasional.
Dibutuhkan pula ketajaman
komando para petinggi baik TNI maupun Polri dalam mengendalikan perilaku
destruktif prajurit bawahan mereka lewat penguatan UU Peradilan Militer agar
tidak terus terjerumus dalam benturan kepentingan yang melemahkan solidaritas
antarkesatuan.
Selain itu, TNI-Perlu diberi
atmosfer aktualisasi spirit persaudaraan lewat aktivitas panggung budaya,
seni bersama untuk mempererat komunikasi dan kesatuan di antara kedua
institusi.
Kita berharap prinsip dan kultur
demokrasi yang mensyaratkan antikekerasan di bangsa ini dapat tumbuh dan
dipertahankan tidak saja oleh institusi militer tetapi juga lembaga sipil.
Rasa aman publik dan
profesionalisme militer akan menentukan ke mana arah demokrasi kita bergerak.
Kita tak ingin lingkaran setan kekerasan merusak energi dan mimpi besar
republik ini untuk tumbuh sebagai bangsa besar dan bermartabat. Mari kita selamatkan demokrasi ini dari
timah panas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar