Interpelasi
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO,
22 November 2014
Sedang
asyiknya saya berbincang dengan Romo Imam, tiba-tiba datang cucunya yang baru
kelas V sekolah dasar. "Kakek, saya mau interpelasi, boleh
berenang-enggak?" Romo cuma mengangguk, dan anak itu sudah berlari masuk
ke kamar mengambil perlengkapan renang.
Tinggal
saya yang terheran-heran. "Kok, bahasanya tinggi, Romo, interpelasi
segala," tanya saya. "Dia lagi suka meniru kata-kata yang sering
didengarnya di televisi," jawab Romo. "Kalau saya lagi ngobrol sama
ibu dan anak-anak, cucu itu suka nyeletuk: interupsi, interupsi, boleh
ngomong enggak? Setelah diizinkan, baru dia ngomong."
"Korban
televisi," kata saya. "Ya, korban," jawab Romo. "Sejak
kemarin, ibunya sudah melarang anak itu menonton siaran berita, karena isinya
kekerasan melulu. Demo yang bakar-bakaran dan lempar bom molotov, tentara dan
polisi saling tembak. Pernah dulu anak itu melempar piring ketika bertengkar
sama adiknya. Ibunya menegur. Eh, anak itu melawan: ibu jangan marah, dong,
ini piring kan tak bisa pecah. DPR saja kalau bersidang meja
dirobohkan."
Saya
tertawa: "Anak yang cerdas." Romo ikut tertawa: "Itu yang saya
suka, dia cerdas. Tetapi anak-anak harus tetap diberi filter saat ini ketika
para politikus dan pejabat publik tidak memberi teladan bagaimana bersikap
santun. Apalagi ketidaksantunan itu dipamerkan di televisi, dan televisi
sekarang memang lebih suka menyiarkan hal-hal yang buruk ketimbang hal-hal
yang baik."
Saya
membenarkan dalam batin, dan Romo melanjutkan: "Banyak predikat yang
sudah perlu dievaluasi karena manusia pemegang predikat itu telah
mencampakkannya. Wakil rakyat mendapat predikat 'yang terhormat' karena mereka
dipilih oleh rakyat untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi, ketika mereka
membuat undang-undang untuk kepentingan kelompoknya dan bukan untuk
kepentingan rakyat, dan mereka menyusun anggaran untuk kepentingan
pribadinya, apa masih 'yang terhormat' itu boleh disandang? Apalagi bicaranya
main tuding, menyeruduk meja pimpinan, jauh dari sopan-santun para leluhur
bangsa. Dan, astaga, merobohkan meja, bukankah 'yang terhormat' itu harus
dicabut? Hakim dipanggil 'yang mulia' dalam persidangan karena diharapkan
memberi keadilan atas nama Tuhan. Tetapi, ketika hukum diperjualbelikan,
masihkah sebutan 'yang mulia' layak diberikan? Negeri ini terpuruk karena
para elite bangsa yang mestinya jadi panutan melecehkan kehormatannya
sendiri."
Saya
mendadak ingat pada cucu Romo tadi. "Pantas cucu Romo sampai hafal
interpelasi. Kata itu sering muncul di televisi," kata saya. "Ya,
memang. Sejak Presiden Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak, tiap saat
ada berita pernyataan interpelasi dari koalisi yang beroposisi. Dari elite
partai seperti Aburizal Bakrie, Fadli Zon, Ibas anaknya SBY, Desmon, ya,
entah siapa lagi. Mereka akan mengajukan interpelasi kepada pemerintah."
"Itu
kan hak melekat pada anggota DPR, biarkan saja Romo, interpelasi artinya
bertanya," saya menyela. Romo bersemangat: "Tapi kenaikan harga
minyak sudah dijelaskan gamblang oleh presiden. Subsidi yang lebih banyak
dinikmati oleh orang-orang bermobil itu dan hanya untuk kepentingan
konsumtif, kini dialihkan untuk kepentingan produktif. Untuk membangun sarana
transportasi, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya agar rakyat kecil yang
menikmati. Dan rakyat sudah paham. Ternyata elite partai oposisi tak paham,
karena itu mau interpelasi."
Saya
diam, dan Romo meneruskan: "Kalau saja urusannya bukan politik, orang
yang terus-menerus bertanya termasuk golongan mana? Pastilah orang
bodoh." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar