Minggu, 30 November 2014

Interpelasi

                                                               Interpelasi

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO,  22 November 2014

                                                                                                                       


Sedang asyiknya saya berbincang dengan Romo Imam, tiba-tiba datang cucunya yang baru kelas V sekolah dasar. "Kakek, saya mau interpelasi, boleh berenang-enggak?" Romo cuma mengangguk, dan anak itu sudah berlari masuk ke kamar mengambil perlengkapan renang.

Tinggal saya yang terheran-heran. "Kok, bahasanya tinggi, Romo, interpelasi segala," tanya saya. "Dia lagi suka meniru kata-kata yang sering didengarnya di televisi," jawab Romo. "Kalau saya lagi ngobrol sama ibu dan anak-anak, cucu itu suka nyeletuk: interupsi, interupsi, boleh ngomong enggak? Setelah diizinkan, baru dia ngomong."

"Korban televisi," kata saya. "Ya, korban," jawab Romo. "Sejak kemarin, ibunya sudah melarang anak itu menonton siaran berita, karena isinya kekerasan melulu. Demo yang bakar-bakaran dan lempar bom molotov, tentara dan polisi saling tembak. Pernah dulu anak itu melempar piring ketika bertengkar sama adiknya. Ibunya menegur. Eh, anak itu melawan: ibu jangan marah, dong, ini piring kan tak bisa pecah. DPR saja kalau bersidang meja dirobohkan."

Saya tertawa: "Anak yang cerdas." Romo ikut tertawa: "Itu yang saya suka, dia cerdas. Tetapi anak-anak harus tetap diberi filter saat ini ketika para politikus dan pejabat publik tidak memberi teladan bagaimana bersikap santun. Apalagi ketidaksantunan itu dipamerkan di televisi, dan televisi sekarang memang lebih suka menyiarkan hal-hal yang buruk ketimbang hal-hal yang baik."

Saya membenarkan dalam batin, dan Romo melanjutkan: "Banyak predikat yang sudah perlu dievaluasi karena manusia pemegang predikat itu telah mencampakkannya. Wakil rakyat mendapat predikat 'yang terhormat' karena mereka dipilih oleh rakyat untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi, ketika mereka membuat undang-undang untuk kepentingan kelompoknya dan bukan untuk kepentingan rakyat, dan mereka menyusun anggaran untuk kepentingan pribadinya, apa masih 'yang terhormat' itu boleh disandang? Apalagi bicaranya main tuding, menyeruduk meja pimpinan, jauh dari sopan-santun para leluhur bangsa. Dan, astaga, merobohkan meja, bukankah 'yang terhormat' itu harus dicabut? Hakim dipanggil 'yang mulia' dalam persidangan karena diharapkan memberi keadilan atas nama Tuhan. Tetapi, ketika hukum diperjualbelikan, masihkah sebutan 'yang mulia' layak diberikan? Negeri ini terpuruk karena para elite bangsa yang mestinya jadi panutan melecehkan kehormatannya sendiri."

Saya mendadak ingat pada cucu Romo tadi. "Pantas cucu Romo sampai hafal interpelasi. Kata itu sering muncul di televisi," kata saya. "Ya, memang. Sejak Presiden Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak, tiap saat ada berita pernyataan interpelasi dari koalisi yang beroposisi. Dari elite partai seperti Aburizal Bakrie, Fadli Zon, Ibas anaknya SBY, Desmon, ya, entah siapa lagi. Mereka akan mengajukan interpelasi kepada pemerintah."

"Itu kan hak melekat pada anggota DPR, biarkan saja Romo, interpelasi artinya bertanya," saya menyela. Romo bersemangat: "Tapi kenaikan harga minyak sudah dijelaskan gamblang oleh presiden. Subsidi yang lebih banyak dinikmati oleh orang-orang bermobil itu dan hanya untuk kepentingan konsumtif, kini dialihkan untuk kepentingan produktif. Untuk membangun sarana transportasi, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya agar rakyat kecil yang menikmati. Dan rakyat sudah paham. Ternyata elite partai oposisi tak paham, karena itu mau interpelasi."

Saya diam, dan Romo meneruskan: "Kalau saja urusannya bukan politik, orang yang terus-menerus bertanya termasuk golongan mana? Pastilah orang bodoh."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar