Minggu, 30 November 2014

Citra Diri Itu Mahal

                                                 Citra Diri Itu Mahal

Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO,  28 November 2014

                                                                                                                       


Terdapat perbedaan mendasar antara aktualisasi diri dan citra diri. Yang pertama merupakan pertumbuhan kepribadian seseorang dari potensi ke actus. Dalam filsafat, pertumbuhan ini sering dijelaskan dengan perumpamaan, misalnya pertumbuhan dari benih biji mangga yang kemudian berkembang menjelma menjadi pohon mangga yang besar, rindang, dan berbuah.

Semua pohon besar-besar itu semula berada dalam biji benih yang kecil dan rapuh. Atau dengan ungkapan lain, dalam sebuah biji yang kecil dan rapuh itu, terdapat potensi pohon besar yang gagah perkasa. Demikianlah, seseorang dikatakan sudah sampai pada tahapan aktualisasi diri ketika sudah menemukan jati dirinya yang kemudian dimanifestasikan dalam karya, prestasi, dan perilaku yang dijalani secara istikamah (mantap dan konsisten).

Aktualisasi diri muncul dari kekuatan dan dorongan pribadi yang datang dari dalam (inner power) sehingga seseorang menemukan kepercayaan diri yang autentik. Apa bedanya dengan citra diri? Citra lebih memperhatikan apa yang menjadi pandangan, persepsi, dan harapan orang lain terhadap diri kita.

Ini bisa dengan mudah dijelaskan dengan melihat malam penganugerahan Piala Citra terhadap insan perfilman. Mereka yang dianggap hebat, berhasil, dan memperoleh Piala Citra berdasarkan peran yang dimainkan, lalu dinilai oleh penonton. Jadi, yang sangat menentukan kemenangannya adalah penampilan luar dan adegan panggung yang berhasil memukau penonton, bukannya kualitas dan perilaku aktor sehari-hari yang apa adanya di luar sorotan kamera.

Citra diri itu sangat penting, dan banyak orang yang sangat memperhatikan dan rela mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkannya. Kalangan politisi, saya kira sangat sadar bagaimana menjaga citra diri di hadapan rakyat. Meskipun, lagi-lagi, citra diri kadang kala lebih menekankan aksesori, atau kemasan luarnya saja.

Hidup di era visual, sebuah era yang sangat peduli pada gambar, foto, dan adegan panggung, orang dituntut untuk selalu memperhatikan penampilan luar. Tetapi jika citra diri tidak disertai integritas (inner quality), citra diri hanya akan menipu orang lain dan juga diri sendiri.

Mungkin saja ada orang-orang yang karena kurang percaya diri lalu berusaha menutupinya dengan membeli barang-barang mewah dengan harga mahal, misalnya kendaraan mobil, rumah, dan aksesori lainnya. Kalau itu terjadi pada politisi, pejabat pemerintah, atau pegawai negeri sipil, jangan-jangan perilaku itulah yang telah mendorong korupsi besar-besaran di negeri ini.

Mereka ramai-ramai membeli citra diri, bukannya aktualisasi diri. Fenomena lain yang cukup menarik terjadi di Korea Selatan (Korsel). Di negeri itu, lebih dari 70% remajanya diberitakan rela melakukan operasi bedah plastik demi mempercantik parasnya. Konon ceritanya, fenomena itu bermula dari bedah plastik agar matanya tidak sipit, yang ternyata berhasil gemilang.

Maka kita jarang melihat remaja Korsel yang bermata sipit. Dari operasi mata itu lalu berkembang ke bedah plastik mempercantik wajah dan bagian tubuh lain agar berubah semakin cantik atau tampan. Kalau kita jalan-jalan ke Korea atau melihat filmnya, remajanya hampir seragam postur badannya dan wajahnya. Teknologi bedah plastik ini dianggap sangat berhasil sehingga menarik minat orang-orang Barat datang ke Korea untuk mempercantik diri.

Kita belum tahu efek apa yang ditimbulkan di hari tua nanti akibat permak wajah ini. Tapi terbayang, betapa mereka selalu memperhatikan penampilan dirinya agar senantiasa cantik atau tampan. Citra diri begitu sangat penting dan mahal bagi mereka. Ongkosnya tidak saja uang, tetapi pasti pikiran dan emosi.

Jadi, mereka tidak sekadar membeli kemasan berupa mobil atau rumah mewah untuk membangun citra diri, tetapi lebih intens lagi format wajah dan kulitnya yang diubah agar terlihat keren dan mengundang decak kagum. Wow .. Akhir-akhir ini kita sering kali disuguhi tema politik ”revolusi mental” yang kemudian menjadi tema diskusi dan workshop di berbagai departemen pemerintah.

Saya sendiri punya harapan dan kekhawatiran. Saya berharap ini akan menjadi momentum dan gerakan yang serius, programatis, dan dikawal secara konsisten baik secara intelektual maupun kebijakan politik sehingga mendorong tahapan aktualisasi diri bagi para pejabat tinggi negara serta politisi. Revolusi mental akan berhasil jika dimulai dan digerakkan serta memperoleh contoh dari atas sebagai role model.

Tetapi saya khawatir kalau tema ini akan jatuh dan berhenti sekadar sebagai jargon politik dan citra diri yang semu, tidak autentik, tanpa akar kedalaman konseptual. Bahkan bisa jadi tema luhur ini tidak menjadi kepribadian yang autentik (inner power) di lingkungan elite birokrat dan politisi.

Kalau itu yang terjadi, nantinya akan jadi ungkapan sinikal. Sekian puluh tahun lalu Erich Fromm menulis buku yang menjadi perbincangan di kalangan akademisi, judulnya: To Have or To Be. Dia membedakan antara having mode dan being mode. Yang pertama, orang mengejar sukses dan kebanggaan diri dengan memiliki sebanyak mungkin kekayaan dan jabatan (to have more and more).

I am what I have, tulisnya. Orang akan melihat dirinya hebat karena berkaitan dengan apa yang dimiliki. Sesuatu yang berada di luar atau yang menempel pada dirinya. Sedangkan pribadi kedua, being mode, lebih menekankan kualitas diri yang autentik atau yang melekat pada kepribadiannya.

Being a religious person is different from having a religion. Demikianlah, jika ditanya mana yang lebih penting, tentu aktualisasi diri jauh lebih penting yang pada urutannya pasti akan melahirkan citra diri yang lebih kokoh dan autentik.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar