Citra
Diri Itu Mahal
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 28 November 2014
Terdapat
perbedaan mendasar antara aktualisasi diri dan citra diri. Yang pertama
merupakan pertumbuhan kepribadian seseorang dari potensi ke actus. Dalam
filsafat, pertumbuhan ini sering dijelaskan dengan perumpamaan, misalnya
pertumbuhan dari benih biji mangga yang kemudian berkembang menjelma menjadi
pohon mangga yang besar, rindang, dan berbuah.
Semua
pohon besar-besar itu semula berada dalam biji benih yang kecil dan rapuh.
Atau dengan ungkapan lain, dalam sebuah biji yang kecil dan rapuh itu,
terdapat potensi pohon besar yang gagah perkasa. Demikianlah, seseorang
dikatakan sudah sampai pada tahapan aktualisasi diri ketika sudah menemukan
jati dirinya yang kemudian dimanifestasikan dalam karya, prestasi, dan
perilaku yang dijalani secara istikamah (mantap dan konsisten).
Aktualisasi
diri muncul dari kekuatan dan dorongan pribadi yang datang dari dalam (inner power) sehingga seseorang
menemukan kepercayaan diri yang autentik. Apa bedanya dengan citra diri?
Citra lebih memperhatikan apa yang menjadi pandangan, persepsi, dan harapan
orang lain terhadap diri kita.
Ini bisa
dengan mudah dijelaskan dengan melihat malam penganugerahan Piala Citra
terhadap insan perfilman. Mereka yang dianggap hebat, berhasil, dan
memperoleh Piala Citra berdasarkan peran yang dimainkan, lalu dinilai oleh
penonton. Jadi, yang sangat menentukan kemenangannya adalah penampilan luar
dan adegan panggung yang berhasil memukau penonton, bukannya kualitas dan
perilaku aktor sehari-hari yang apa adanya di luar sorotan kamera.
Citra
diri itu sangat penting, dan banyak orang yang sangat memperhatikan dan rela
mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkannya. Kalangan politisi, saya kira
sangat sadar bagaimana menjaga citra diri di hadapan rakyat. Meskipun,
lagi-lagi, citra diri kadang kala lebih menekankan aksesori, atau kemasan
luarnya saja.
Hidup di
era visual, sebuah era yang sangat peduli pada gambar, foto, dan adegan
panggung, orang dituntut untuk selalu memperhatikan penampilan luar. Tetapi
jika citra diri tidak disertai integritas (inner quality), citra diri hanya akan menipu orang lain dan juga
diri sendiri.
Mungkin saja ada orang-orang yang karena kurang percaya diri lalu
berusaha menutupinya dengan membeli barang-barang mewah dengan harga mahal,
misalnya kendaraan mobil, rumah, dan aksesori lainnya. Kalau itu terjadi pada
politisi, pejabat pemerintah, atau pegawai negeri sipil, jangan-jangan
perilaku itulah yang telah mendorong korupsi besar-besaran di negeri ini.
Mereka ramai-ramai membeli citra
diri, bukannya aktualisasi diri. Fenomena lain yang cukup menarik terjadi di
Korea Selatan (Korsel). Di negeri itu, lebih dari 70% remajanya diberitakan
rela melakukan operasi bedah plastik demi mempercantik parasnya. Konon
ceritanya, fenomena itu bermula dari bedah plastik agar matanya tidak sipit,
yang ternyata berhasil gemilang.
Maka kita jarang melihat remaja Korsel yang bermata sipit. Dari operasi
mata itu lalu berkembang ke bedah plastik mempercantik wajah dan bagian tubuh
lain agar berubah semakin cantik atau tampan. Kalau kita jalan-jalan ke Korea
atau melihat filmnya, remajanya hampir seragam postur badannya dan wajahnya.
Teknologi bedah plastik ini dianggap sangat berhasil sehingga menarik minat
orang-orang Barat datang ke Korea untuk mempercantik diri.
Kita belum tahu efek apa yang ditimbulkan di hari tua nanti akibat
permak wajah ini. Tapi terbayang, betapa mereka selalu memperhatikan
penampilan dirinya agar senantiasa cantik atau tampan. Citra diri begitu
sangat penting dan mahal bagi mereka. Ongkosnya tidak saja uang, tetapi pasti
pikiran dan emosi.
Jadi, mereka tidak sekadar membeli kemasan berupa mobil atau rumah
mewah untuk membangun citra diri, tetapi lebih intens lagi format wajah dan kulitnya
yang diubah agar terlihat keren dan mengundang decak kagum. Wow .. Akhir-akhir ini kita sering
kali disuguhi tema politik ”revolusi mental” yang kemudian menjadi tema
diskusi dan workshop di berbagai
departemen pemerintah.
Saya sendiri punya harapan dan kekhawatiran. Saya berharap ini akan
menjadi momentum dan gerakan yang serius, programatis, dan dikawal secara
konsisten baik secara intelektual maupun kebijakan politik sehingga mendorong
tahapan aktualisasi diri bagi para pejabat tinggi negara serta politisi.
Revolusi mental akan berhasil jika dimulai dan digerakkan serta memperoleh
contoh dari atas sebagai role model.
Tetapi saya khawatir kalau tema ini akan jatuh dan berhenti sekadar
sebagai jargon politik dan citra diri yang semu, tidak autentik, tanpa akar
kedalaman konseptual. Bahkan bisa jadi tema luhur ini tidak menjadi
kepribadian yang autentik (inner power)
di lingkungan elite birokrat dan politisi.
Kalau itu yang terjadi, nantinya akan jadi ungkapan sinikal. Sekian
puluh tahun lalu Erich Fromm menulis buku yang menjadi perbincangan di
kalangan akademisi, judulnya: To Have
or To Be. Dia membedakan antara having
mode dan being mode. Yang
pertama, orang mengejar sukses dan kebanggaan diri dengan memiliki sebanyak
mungkin kekayaan dan jabatan (to have
more and more).
I am
what I have, tulisnya. Orang akan melihat dirinya hebat
karena berkaitan dengan apa yang dimiliki. Sesuatu yang berada di luar atau
yang menempel pada dirinya. Sedangkan pribadi kedua, being mode, lebih menekankan kualitas diri yang autentik atau
yang melekat pada kepribadiannya.
Being a
religious person is different from having a religion.
Demikianlah, jika ditanya mana yang lebih penting, tentu aktualisasi diri
jauh lebih penting yang pada urutannya pasti akan melahirkan citra diri yang
lebih kokoh dan autentik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar