Media
dan Public Sphere Era Jokowi
Umaimah Wahid ; Dosen Komunikasi Politik Universitas Budi Luhur
|
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2014
MEDIA ialah kekuatan sosial
budaya dan politik terbesar saat ini. Media massa mempunyai kekuatan
menyampaikan informasi dalam waktu yang nyaris bersamaan bahkan pada kondisi
`real time'. Media merupakan komunikator yang sangat digdaya jika
dibandingkan dengan bentuk komunikator lainnya dalam upaya memenangkan `hati
dan pikiran' massa. `The power of media' yang mengonstruksi realitas baru dan
tidak ada satu pun kekuatan sistem sosial yang mempunyai kekuatan seperti
media massa. Kekuatan dan kekuasaan itulah yang menjadi fokus pengelolaan
media dan massa. Isi ialah `darah' yang menghidupkan realitas sosial di
tengah masyarakat sebagai wujud ruang masyarakat modern `terkontaminasi' oleh
kekuatan media.
Fenomena Joko Widodo yang
didukung sepenuhnya oleh media massa menjadi sosok yang sangat disukai dan
dicintai oleh masyarakat. Itu menjadi kekuatan untuk memenangkan pemilihan
Gubernur DKI Jakarta 2012 dan Pertarungan Pilres 2014. Jokowi menjadi
`content' yang ditunggu masyarakat. Jokowi mampu menjadi `sihir media' yang
lama-kelamaan dapat menciptakan persepsi dan opini positif di tengah massa.
Namun, pada sisi lain
keberpihakan yang sangat dominan itu justru menciptakan kecenderungan Jokowi
seakan menjadi sosok yang selalu benar dan tidak boleh mempertanyakan atau
melakukan kritik. Siapa pun yang mengkritik akan mengalami `bullying' oleh masyarakat yang pro
Jokowi. Apakah masih ada ruang publik yang objektif, otonom, dan netral di
era Jokowi-JK?
Di ruang publik
Kritik ialah kekuatan refleksi
dari masyarakat atau publik sebagai bentuk antitesis. Munculnya antitesis
yang membuka peluang mampu melahirkan sintesis dalam bentuk konstruksi
pemahaman baru sebagai sebuah realitas baru. Filsuf Universitas Sorbonne
Prancis Mohammed Arkoun menyatakan bahwa kritik menghidupkan manusia dan
realitas. Atas dasar alasan tersebut, manusia harus melakukan autokritik atau
mengkritik diri sendiri sebagai upaya refl ektif seseorang dalam memahami
realitas.
Kritik sekaligus mampu
menciptakan dan memelihara ruang publik sebagaimana yang dinyatakan Habermas.
Ruang publik sangat penting untuk menciptakan keseimbangan antara rakyat dan
penguasa atau pengusaha. Tanpa ruang publik yang otonom maka dapat dipastikan
ruang perdebatan akan tertutup. Pembelaan bentuk apa pun terhadap Jokowi
semestinya tidak menutup peluang kritik bagi masyarakat untuk menggunakan
ruang publik. Proses menciptakan ruang publik itulah, media harus objektif,
bertanggung jawab, dan tidak melahirkan tirani baru yang menafikan perbedaan
pendapat dalam ruang publik.
Media bukan hanya membela
kepentingan pihak tertentu, dan harus memberikan ruang yang sama kepada semua
pihak. Di samping media, kaum intelektual juga harus berperan untuk menjaga
ruang publik dan dialog antara masyarakat politik dan masyarakat sipil tetap
terjaga agar mampu menciptakan masyarakat yang kuat, otonom, dan mempunyai
kekuatan untuk memperjuangkan realitas mereka secara maksimal.
Hal tersebut menarik untuk melihat
apakah ruang publik di era Jokowi-JK milik seluruh masyarakat atau justru
`hanya' menjadi milik pihak yang mendukung pemerintah. Itu akan sangat
bergantung kepada strategi dan cara media massa serta new media untuk
menyatakan diri dalam operasional sehari-hari. Jika media cenderung hanya
membela se cara tidak seimbang terhadap Jokowi JK tanpa mampu menyatakan
kritik, sangat mungkin ruang publik akan sakit dan lama-kelamaan emansipasi
untuk menyatakan pendapat juga akan mati.
Ruang publik yang tersedia
sejatinya menjadi milik semua pihak, dan pemerintah harus mampu menjamin
keterbukaan tersebut. Ruang publik saat ini mudah sekali terbentuk karena
kekuatan new media dan media sosial. Kritik ialah kebutuhan bagi pemerintah
agar proses pelaksanaan program pemerintah mempunyai check and balance dari masyarakat, terutama media. Media harus
men jadi bagian yang konstruktif dan bertanggung jawab kepada masya rakat.
Liberalisme opini, ide, atau
pemikiran apa pun yang terbuka luas bagi khalayak yang disediakan media
sosial, terbukti bisa memberi warna baru dalam konteks perang opini. Media
massa konvensional terkadang justru menjadi objek suatu peristiwa.
Pada konteks itu terbukti bahwa
perang “internal“ antara media massa konvensional seperti televisi, radio, koran,
dan sebagainya dan media sosial, dapat dimenangkan media sosial yang menjadi
hakim terakhir tentang realitas sebuah media. Namun, pada sisi lain, akibat
terbatasnya akses sumber informasi, maka amunisi yang dimiliki media sosial
justru bersumber dari media massa konvensional itu sendiri. Tidak heran, jika
realitasnya antarindividu khalayak media sosial itu sendiri terjadi perang
opini, akibat sumber informasi dan pemahaman yang berbeda.
Pada konteks kekinian, pasca
Jokowi-JK memenangkan pilpres dan saat media massa konvensional telah
tereduksi nilai-nilai idealismenya aki bat pilpres lalu, maka eksistensi me
dia sosial kembali menjadi kekuatan tandingan yang memberi ruang bagi
khalayak dalam mengekspresikan ide, opini, atau nilai-nilai lainnya ten tang
sebuah peristiwa. Mereka saat ini bersumber dari realitas umum, jika mampu
membentuk menjadi opini bersama, itu akan menjadi sebuah kekuatan yang bukan
tidak mungkin tidak akan mampu terbend ung oleh kekuatan opini media massa
konvensional itu sendiri.
Hilangnya
kubu-kubuan media sosial pascapilpres, akan melahirkan sebuah perasaan
bersama di kalangan khalayak dalam menyikapi segala kebijakan pemerintah.
Efeknya itu, mereka sendiri yang langsung merasakan jika digalang dengan
jujur dan masif. Hal tersebut akan mampu menjadi kekuatan tandingan yang
dapat meruntuhkan hegemoni media massa konvensional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar