Selasa, 25 November 2014

“Warna” Jokowi

                                                      “Warna” Jokowi

Rhenald Kasali  ;   Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
JAWA POS,  24 November 2014

                                                                                                                       


DARI luar, kita bisa melihat kentalnya ”warna Jokowi” dalam kerja pemerintahan kali ini. Itu setidak-tidaknya tampak dari aksi para menterinya hanya beberapa hari setelah dilantik. Dan itu seharusnya membuat malu kalangan akademisi atau mereka yang mengedepankan gelar atau birokrat priyayi.

Indonesia saat ini sedang membutuhkan orang yang berani bertindak, bukan jagoan bicara yang cuma bisa berwacana. Dan untuk bergerak itu, diperlukan manusia bermata elang yang cepat membaca the brightest spot. Titik penyumbat yang berkelap-kelip dan harus segera dipotong atau diterobos.

Apa saja aksi tersebut? Kita lihat satu per satu.

Orang bisa saja memandang sebelah mata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang namanya sebelumnya tak pernah kita dengar. Namun, begitu berkenalan saat memberikan penghargaan SNI Award minggu lalu, saya bisa membaca ke mana dia akan membawa kementerian itu.

Juga, ketika dia melakukan inspeksi mendadak ke rumah penampungan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) di kawasan Tebet, Jakarta, kita bisa melihat iramanya. Kepada saya, dia juga bercerita tentang mata rantai nilai yang mau dibangunnya dalam dunia ketenagakerjaan. Saya tertegun, begitu cepat dia belajar mengenali masalah bidang yang baru ditekuninya.

Kalau Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, saya tak terlalu heran. Sejak dulu, dia biasa turun ke bawah. Demikian juga Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo yang lebih mementingkan kerja daripada memusingkan kantornya. Apalagi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti atau Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Bagi saya, mereka benar-benar bertekad melakukan perubahan.

Kalau Menteri Hanif tidak lompat pagar dan memilih duduk manis di kantor, mungkin kondisi tempat penampungan calon TKI yang sangat memprihatinkan tersebut tak pernah terungkap. Policy-nya juga tak akan menyentuh hak-hak dasar yang terabaikan itu. Padahal, mereka yang tinggal di dekat rumah penampungan TKI sudah biasa mendengar dan menyaksikan calon TKI yang melompat kabur gara-gara diperlakukan tidak manusiawi.

Blusukan adalah cara jitu untuk menangkal laporan yang ABS (asal bapak senang). Kita tentu terheran-heran menyaksikan komentar miring sejumlah orang, termasuk para artis, yang menilai blusukan para menteri tersebut hanya pencitraan. Mereka menganggap blusukan bukan kerja. Komentar yang aneh.

Memang soal blusukan itu, saya juga punya catatan. Pertama, dengan turun langsung ke lapangan, mereka bisa mengecek kebenaran laporan dan kinerja bawahan. Kedua, kalau sistemnya jalan, mestinya yang banyak turun ke lapangan memang bawahan para menteri tersebut. Bisa direktur atau para Dirjen. Merekalah yang mestinya gesit memeriksa keadaan di lapangan, lalu mengusulkan kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Jadi, kita tunggu, setelah para menteri blusukan, apakah itu akan ditindaklanjuti oleh bawahan mereka. Kalau itu tidak terjadi, mungkin betul blusukan yang dilakukan para menteri hanya pencitraan. Bukan shock therapy dan membangunkan sistem agar bawahan bekerja sebagaimana mestinya.

Lelang Jabatan

Gaya kedua Jokowi yang kelihatannya mulai ditiru oleh bawahannya adalah lelang jabatan. Ketika menjabat gubernur DKI Jakarta, Jokowi melelang ratusan posisi. Di antaranya, lurah dan camat, kepala sekolah, kepala puskesmas, dan berbagai posisi lain. Melalui cara itu, Pemprov DKI Jakarta bisa memperoleh pejabat-pejabat yang kompeten pada bidang masing-masing.

Kita juga bisa melihat hasilnya. Misalnya, ada perbaikan pelayanan di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan yang lurah dan camatnya diangkat dari hasil lelang jabatan. Kinerja Kelurahan Lenteng Agung, misalnya, naik setelah masuknya Susan Jasmine Zulkifli sebagai lurah. Susan terpilih menjadi lurah melalui proses lelang jabatan. Lalu, ada beberapa pejabat lain dari hasil lelang jabatan yang dengan cepat dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi karena kinerja mereka dinilai memuaskan.

Keberhasilan lelang jabatan tersebut kini akan diadopsi di tingkat pusat. Mulanya, sebagaimana kita baca, lelang jabatan hanya digunakan untuk mencari pengganti Dirjen Migas Kementerian ESDM serta empat posisi di lingkungan Kementerian Keuangan. Namun, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi sudah mengatakan akan memperluas ke seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya. Bahkan, kabarnya, regulasi baru tengah dipersiapkan. Kelak, kabarnya, lelang jabatan terbuka untuk kandidat non-PNS.

Jangan Kebablasan

Saya tentu menghargai upaya seperti itu. Kita harus menjadi bangsa yang mengedepankan kompetensi dan hasil kerja ketimbang ukuran-ukuran primordial ataupun ”urut kacang”.

Meski begitu, menempatkan kompetensi sebagai satu-satunya alat ukur juga kurang pas. Sebab, prestasi kerja juga ditentukan oleh beberapa indikator. Misalnya, disiplin kerja, kesetiaan, masa kerja, pengalaman, kemampuan menjalin kerja sama, dapat dipercaya, dan berbagai indikator lain. Nah, bicara soal itu, kita butuh organisasi penyeleksi yang berani dan pintar, bukan yang ”bermain” atau mudah ditakut-takuti atau dikendalikan kelompok yang bermain. Sudah sering kita dengar ”selera” mengalahkan kinerja.

Selain itu, ada faktor psikologis yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, bagaimana kepastian berkarir di kalangan PNS. Sebab, setiap orang tentu berharap posisinya kelak terus meningkat.

Mengatur keseimbangan antara kompetensi dan berbagai indikator lain adalah bagian dari art of management. Manajemen itu bukan hanya ilmu, tetapi juga seni. Itu adalah salah satu tugas seorang pemimpin. Mudah-mudahan hasilnya kelak bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar