“Warna”
Jokowi
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar
Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 24 November 2014
DARI
luar, kita bisa melihat kentalnya ”warna Jokowi” dalam kerja pemerintahan
kali ini. Itu setidak-tidaknya tampak dari aksi para menterinya hanya
beberapa hari setelah dilantik. Dan itu seharusnya membuat malu kalangan
akademisi atau mereka yang mengedepankan gelar atau birokrat priyayi.
Indonesia
saat ini sedang membutuhkan orang yang berani bertindak, bukan jagoan bicara
yang cuma bisa berwacana. Dan untuk bergerak itu, diperlukan manusia bermata
elang yang cepat membaca the brightest spot. Titik penyumbat yang berkelap-kelip
dan harus segera dipotong atau diterobos.
Apa saja
aksi tersebut? Kita lihat satu per satu.
Orang
bisa saja memandang sebelah mata Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang
namanya sebelumnya tak pernah kita dengar. Namun, begitu berkenalan saat
memberikan penghargaan SNI Award minggu lalu, saya bisa membaca ke mana dia
akan membawa kementerian itu.
Juga,
ketika dia melakukan inspeksi mendadak ke rumah penampungan calon tenaga
kerja Indonesia (TKI) di kawasan Tebet, Jakarta, kita bisa melihat iramanya.
Kepada saya, dia juga bercerita tentang mata rantai nilai yang mau
dibangunnya dalam dunia ketenagakerjaan. Saya tertegun, begitu cepat dia
belajar mengenali masalah bidang yang baru ditekuninya.
Kalau
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, saya tak terlalu heran. Sejak dulu, dia
biasa turun ke bawah. Demikian juga Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo yang
lebih mementingkan kerja daripada memusingkan kantornya. Apalagi Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti atau Menteri Perhubungan Ignasius
Jonan. Bagi saya, mereka benar-benar bertekad melakukan perubahan.
Kalau
Menteri Hanif tidak lompat pagar dan memilih duduk manis di kantor, mungkin
kondisi tempat penampungan calon TKI yang sangat memprihatinkan tersebut tak
pernah terungkap. Policy-nya juga tak akan menyentuh hak-hak dasar yang
terabaikan itu. Padahal, mereka yang tinggal di dekat rumah penampungan TKI
sudah biasa mendengar dan menyaksikan calon TKI yang melompat kabur gara-gara
diperlakukan tidak manusiawi.
Blusukan
adalah cara jitu untuk menangkal laporan yang ABS (asal bapak senang). Kita
tentu terheran-heran menyaksikan komentar miring sejumlah orang, termasuk
para artis, yang menilai blusukan para menteri tersebut hanya pencitraan.
Mereka menganggap blusukan bukan kerja. Komentar yang aneh.
Memang
soal blusukan itu, saya juga punya catatan. Pertama, dengan turun langsung ke
lapangan, mereka bisa mengecek kebenaran laporan dan kinerja bawahan. Kedua,
kalau sistemnya jalan, mestinya yang banyak turun ke lapangan memang bawahan
para menteri tersebut. Bisa direktur atau para Dirjen. Merekalah yang
mestinya gesit memeriksa keadaan di lapangan, lalu mengusulkan kebijakan
untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Jadi,
kita tunggu, setelah para menteri blusukan, apakah itu akan ditindaklanjuti
oleh bawahan mereka. Kalau itu tidak terjadi, mungkin betul blusukan yang
dilakukan para menteri hanya pencitraan. Bukan shock therapy dan membangunkan sistem agar bawahan bekerja
sebagaimana mestinya.
Lelang Jabatan
Gaya
kedua Jokowi yang kelihatannya mulai ditiru oleh bawahannya adalah lelang
jabatan. Ketika menjabat gubernur DKI Jakarta, Jokowi melelang ratusan
posisi. Di antaranya, lurah dan camat, kepala sekolah, kepala puskesmas, dan
berbagai posisi lain. Melalui cara itu, Pemprov DKI Jakarta bisa memperoleh
pejabat-pejabat yang kompeten pada bidang masing-masing.
Kita
juga bisa melihat hasilnya. Misalnya, ada perbaikan pelayanan di
kantor-kantor kelurahan dan kecamatan yang lurah dan camatnya diangkat dari
hasil lelang jabatan. Kinerja Kelurahan Lenteng Agung, misalnya, naik setelah
masuknya Susan Jasmine Zulkifli sebagai lurah. Susan terpilih menjadi lurah
melalui proses lelang jabatan. Lalu, ada beberapa pejabat lain dari hasil
lelang jabatan yang dengan cepat dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi
karena kinerja mereka dinilai memuaskan.
Keberhasilan
lelang jabatan tersebut kini akan diadopsi di tingkat pusat. Mulanya,
sebagaimana kita baca, lelang jabatan hanya digunakan untuk mencari pengganti
Dirjen Migas Kementerian ESDM serta empat posisi di lingkungan Kementerian
Keuangan. Namun, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi sudah
mengatakan akan memperluas ke seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan
lainnya. Bahkan, kabarnya, regulasi baru tengah dipersiapkan. Kelak,
kabarnya, lelang jabatan terbuka untuk kandidat non-PNS.
Jangan Kebablasan
Saya
tentu menghargai upaya seperti itu. Kita harus menjadi bangsa yang
mengedepankan kompetensi dan hasil kerja ketimbang ukuran-ukuran primordial
ataupun ”urut kacang”.
Meski
begitu, menempatkan kompetensi sebagai satu-satunya alat ukur juga kurang
pas. Sebab, prestasi kerja juga ditentukan oleh beberapa indikator. Misalnya,
disiplin kerja, kesetiaan, masa kerja, pengalaman, kemampuan menjalin kerja
sama, dapat dipercaya, dan berbagai indikator lain. Nah, bicara soal itu,
kita butuh organisasi penyeleksi yang berani dan pintar, bukan yang ”bermain”
atau mudah ditakut-takuti atau dikendalikan kelompok yang bermain. Sudah
sering kita dengar ”selera” mengalahkan kinerja.
Selain itu,
ada faktor psikologis yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, bagaimana
kepastian berkarir di kalangan PNS. Sebab, setiap orang tentu berharap
posisinya kelak terus meningkat.
Mengatur keseimbangan antara kompetensi dan berbagai indikator lain
adalah bagian dari art of management.
Manajemen itu bukan hanya ilmu, tetapi juga seni. Itu adalah salah satu tugas
seorang pemimpin. Mudah-mudahan hasilnya kelak bagus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar