Selasa, 25 November 2014

Nusantara di Tepi Mediterania

                                 Nusantara di Tepi Mediterania

Diajeng Pangestri Larashati  ;   Penari, Tinggal di Bandung
JAWA POS,  24 November 2014

                                                                                                                       


PADA hari ketiga Festival Constellation #4, saya menarikan sebuah nomor yang diberi tajuk Miliers D’Iles atau Ribuan Pulau. Saya menari di Musee d’Art (museum seni) di Toulon, Prancis. Di sekeliling terpacak gambar yang melukiskan kota dari negara kepulauan yang terus bergerak. Gambar-gambar itu merupakan karya Gunawan, perupa asal Bandung.

Saya membayangkan Sinta dalam epos Ramayana, yang mesti menghadapi tegangan antara kebaruan dan kelampauan, modernitas dan tradisi, kosmopolitanisme dan pedalaman. Saya menari sembari mengisahkan tafsir perihal Sinta. Benarkah ia objek tarik-menarik dua kuasa tanpa kesempatan menjadi subjek? Bagaimana bila Sinta bukan korban? Saya akhiri pentas dengan melepas batik, melakukan hand-stand dengan kaki mengangkang ke langit.

’’Saya tak pernah menonton ada tarian dari Indonesia dimainkan di sini,’’ kata Tata Noer, seorang WNI yang bekerja di Toulon. ’’Balutan kontemporernya membuat kami merasakan sesuatu yang segar. Jangan hilangkan warna tradisimu,’’ komentar Bi Jia Yang, penari dari Taiwan.

Indonesia mendapat tempat penting dalam Festival Constellation #4, 19–21 September silam, terutama karena Kubilai Khan, kelompok tari yang dibangun Frank Micheletti yang juga inisiator festival, melakukan residensi di Indonesia cukup lama. Frank bahkan membuka festival itu dengan pertunjukan berjudul Island in Between yang mengadopsi konsep Nusantara. Kita tahu, Nusantara berasal dari kata ’’nusa’’ dan ’’antara’’, di antara nusa, Island in Between.

Dalam Islands in Between, tujuh penari menari mengelilingi globe besar yang terletak di sebuah plaza. Penampilan berlangsung hingga larut malam. Tujuh penari utama dipecah dalam sekuen masing-masing di tempat yang berbeda di berbagai sudut area Place du Globe. Saya didapuk menari di studio foto milik seorang fotografer. Sara Tan dan Bi Jia ditempatkan di kelab malam. Gabriela melakukan art performance di galeri. Idio Chicava di sebuah lantai dasar apartemen bekas. Esse menari solo di Galeri Metaxu. Dan Erwann bersama Tsirihaka mengentakkan drum, menekan keyboard, dan meniup saksofonnya di studio tato Neo Vintage.

Saya menjadi satu di antara tujuh penari utama grup Kubilai Khan Investigation (KKI) pada Festival Constellation #4. Frank merasa perlu mengundang representasi Indonesia untuk menjelaskan keselarasan visi Kubilai Khan Investigation dengan konsep Nusantara. Kami bertemu saat KKI melaksanakan residensi di Bandung pada Mei 2014. Difasilitasi Institut Francais Indonesie (IFI), KKI bekerja sama dengan banyak seniman Bandung seperti Bottlesmoker, Etza Meisyara, Tisna Sanjaya, Komunitas Jendela Ide, dan Body Movement. Kolaborasi KKI dengan seniman Bandung mewujud dalam Constellation Bandung dan menjadi acara pembuka Festival Printemps Francais 2014.

Ballades Urbaines (Balada Urban) menjadi tema Constellation Festival #4 2014. Frank melibatkan 50 seniman dari 14 negara. Antara lain, Mozambik, Taiwan, Singapura, Indonesia, Syria, Meksiko, Belgia, dan Prancis sendiri. Menggunakan 16 spot di penjuru Kota Toulon sebagai tempat pertunjukan selama tiga hari, menghadirkan pertunjukan tari, musik, serta lagu di kota yang menjadi markas angkatan laut Prancis itu.

Saya bertanya kepada Frank mengapa memilih nama Kubilai Khan. ’’Dia orang Mongol yang menguasai Asia dan Eropa. Kira-kira kami ingin menjembatani kebudayaan Asia dan Eropa serta dunia secara luas. Sehingga yang terjadi adalah pemahaman, bukan penguasaan.’’

Frank lahir dan besar di Toulon, kota di tepi Laut Mediterania, kawasan penting bagi sejarah Eropa. Meliputi Eropa di sisi utara, Afrika di sisi selatan, dan Asia di sisi timur, laut itu menjadi penghubung banyak bangsa untuk berbagai keperluan: perdagangan, penyebaran agama, hingga peperangan.

Dibimbing kesadaran historis itulah, inisiatif Frank membuat festival dengan tema Ballades Urbaines jadi lebih masuk akal saat mengundang berbagai seniman dari lintas negara budaya. Dan itulah yang memang dilakukannya. Akhirnya, Festival Constellation #4 tergelar dengan merayakan seni urban sembari menjunjung tinggi kosmopolitanisme budaya.

Hal itu terlihat saat pertunjukan digelar di Tour Royale, sebuah benteng yang dibangun pada masa Renaissance oleh arsitek Italia. Di tempat itulah, mulai pukul 15.00 hingga tengah malam, berbagai nomor pertunjukan ditampilkan di hadapan publik Toulon yang sedang bergairah menikmati hari-hari terakhir musim panas Laut Mediterania.

Antusiasme tampak pada makin banyaknya warga yang datang. Mereka tidak hanya menonton, tapi juga menyambut ajakan penampil yang coba melibatkan mereka.

Sophiatou Kossoko, penari sekaligus koreografer dari Afrika Selatan, tampil membawakan ’’Although I Live Inside… My Hair Will Always Reach Toward the Sun…’’, yang memadukan tari kontemporer, seni instalasi, dan story telling. Kossoko berhasil membuat penonton menjadi bagian aktif dalam penampilannya. Penonton bisa mengikuti instruksi Kossoko untuk berpindah arah duduk dan hadap. Dia menggunakan properti seperti kolam plastik yang diisi air dan penonton bisa bermain di dalamnya.

Esse (Belgia) dan Sara (Singapura) tampil duet dalam sebuah penampilan berjudul Time Is A Test of Trouble. Keduanya mampu menguasai dermaga sebagai panggung guna bercerita tentang pencarian identitas perempuan urban. Adegan penutupnya mengundang aplaus: melompat ke laut sebagai simbol pilihan bunuh diri. Apa yang dilakukan Esse dan Sara memperlihatkan bagaimana seni urban tak mungkin mengabaikan identitas dan dinamika sebuah kota yang menjadi latarnya.

Melompat ke laut memperlihatkan kepekaan keduanya pada situasi Toulon yang hangat, pada hari-hari terakhir musim panas. Warga datang ke dermaga tidak hanya untuk pertunjukan, tapi juga berenang. Melompat ke laut, akhirnya, memperlihatkan kepekaan kedua penari akan dinamika, hasrat, serta kehidupan sehari-hari warga Toulon.

Saya sungguh menikmati hari-hari di Toulon. Saya menikmati udara Laut Mediterania di musim panas, menikmati suasana Toulon yang tenang dan hangat, serta menikmati kehadiran kesenian yang menyelinap begitu saja dalam denyut keseharian kota.

Seni kontemporer terlihat dan terasa lebih jelas, lebih konkret, dan lebih membumi. Barangkali itulah hal terpenting yang bisa saya unduh selama berada di tepi Laut Mediterania di Kota Toulon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar