Rabu, 26 November 2014

Gubernur Ahok

                                                        Gubernur Ahok

Anton Kurnia  ;   Penulis
KORAN TEMPO,  26 November 2014

                                                                                                                       


Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Ahok tercatat sebagai gubernur beretnis Tionghoa pertama di Jakarta.

Menurut sejarawan Lance Castle, populasi penduduk Jakarta pada 1673 adalah orang Eropa sebanyak 2.750 jiwa, Tionghoa 2.747, Mardijker 5.326; pribumi, yang terdiri atas Jawa-Sunda 6.339, Bali 981, Melayu 611, dan yang terbesar kaum budak 13.278. Dua abad kemudian, tepatnya pada 1893, tercatat populasi orang Eropa sebanyak 9.017, Tionghoa 26.5697, dan pribumi total 72.241. Orang Mardijker alias para budak Portugis yang dimerdekakan sudah dianggap tak ada dan perbudakan telah dihapuskan. Sementara itu, orang Arab hanya ada 318 orang.

Dari data itu terbaca bahwa orang Tionghoa bukanlah penduduk kemarin sore yang tiba-tiba ada di Jakarta. Orang Tionghoa bahkan lebih dulu menjadi warga Jakarta ketimbang keturunan Arab. Jika kini Ahok, yang orang Tionghoa itu, menjadi Gubernur DKI Jakarta, ini adalah penghormatan terhadap sejarah. Sebab, orang Tionghoa adalah salah satu etnis terawal yang mendiami Jakarta.

Banyak orang menolak Ahok menjadi gubernur hanya karena alasan primordial, bukan karena kapabilitasnya. Selain karena beretnis minoritas Tionghoa, dia nonmuslim. Tepatnya beragama Kristen. Soal kapabilitas, tampaknya sulit dibantah bahwa Ahok cukup tegas, jujur, dan berprestasi sebagai wakil gubernur selama dua tahun mendampingi Gubernur Jokowi sejak dua tahun silam. Pelantikan Jokowi sebagai presiden membuka peluang agar Ahok berperan lebih besar dalam membenahi persoalan yang membelit Ibu Kota.

Terkait dengan penolakan terhadap kepemimpinan Ahok oleh segelintir orang Islam yang melakukan aksi demonstrasi, saya justru teringat kisah seorang kawan tentang pemimpin nonmuslim yang pernah dipercayai oleh Nabi Muhammad SAW saat terjadi krisis seputar peristiwa hijrah. 

Pada masa itu, untuk menghindari persekusi kaum Quraisy, umat Islam untuk pertama kalinya hijrah dari Mekah ke Habsyi--kini Ethiopia--pada tahun kelima dan ketujuh setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Raja Habsyi saat itu bernama Najasyi (Negus), orang kulit hitam beragama Kristen. Dia dikenal sebagai seorang raja yang baik hati, taat pada ajaran agamanya, dan berkomitmen menjamin keselamatan segenap penduduk dan tamu-tamunya.

Nabi Muhammad mempercayakan kepemimpinan, kecakapan, dan keadilan seorang nonmuslim untuk keselamatan orang muslim pada peristiwa bersejarah itu. Walau Raja Negus beragama Kristen dan tak seiman, Nabi Muhammad mempercayainya karena dia seorang pemimpin yang adil dan cakap.
Jakarta, ibu kota negara kita, yang penduduknya mayoritas muslim, membutuhkan pemimpin yang cakap, tegas, adil, dan tangkas untuk membenahi berbagai persoalan. Kerja sama Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan Jokowi yang notabene mantan atasan langsungnya untuk membenahi masalah yang membelit Ibu Kota-termasuk banjir, kemacetan, transportasi umum, dan kepadatan penduduk-amat kita tunggu.

Bukankah yang penting bagi seorang pemimpin adalah kecakapan dan pengabdiannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar