Gubernur
Ahok
Anton Kurnia ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 26 November 2014
Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi)
sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Ahok tercatat sebagai
gubernur beretnis Tionghoa pertama di Jakarta.
Menurut
sejarawan Lance Castle, populasi penduduk Jakarta pada 1673 adalah orang
Eropa sebanyak 2.750 jiwa, Tionghoa 2.747, Mardijker 5.326; pribumi, yang
terdiri atas Jawa-Sunda 6.339, Bali 981, Melayu 611, dan yang terbesar kaum
budak 13.278. Dua abad kemudian, tepatnya pada 1893, tercatat populasi orang
Eropa sebanyak 9.017, Tionghoa 26.5697, dan pribumi total 72.241. Orang
Mardijker alias para budak Portugis yang dimerdekakan sudah dianggap tak ada
dan perbudakan telah dihapuskan. Sementara itu, orang Arab hanya ada 318
orang.
Dari
data itu terbaca bahwa orang Tionghoa bukanlah penduduk kemarin sore yang
tiba-tiba ada di Jakarta. Orang Tionghoa bahkan lebih dulu menjadi warga
Jakarta ketimbang keturunan Arab. Jika kini Ahok, yang orang Tionghoa itu,
menjadi Gubernur DKI Jakarta, ini adalah penghormatan terhadap sejarah.
Sebab, orang Tionghoa adalah salah satu etnis terawal yang mendiami Jakarta.
Banyak
orang menolak Ahok menjadi gubernur hanya karena alasan primordial, bukan
karena kapabilitasnya. Selain karena beretnis minoritas Tionghoa, dia
nonmuslim. Tepatnya beragama Kristen. Soal kapabilitas, tampaknya sulit
dibantah bahwa Ahok cukup tegas, jujur, dan berprestasi sebagai wakil
gubernur selama dua tahun mendampingi Gubernur Jokowi sejak dua tahun silam.
Pelantikan Jokowi sebagai presiden membuka peluang agar Ahok berperan lebih
besar dalam membenahi persoalan yang membelit Ibu Kota.
Terkait
dengan penolakan terhadap kepemimpinan Ahok oleh segelintir orang Islam yang
melakukan aksi demonstrasi, saya justru teringat kisah seorang kawan tentang
pemimpin nonmuslim yang pernah dipercayai oleh Nabi Muhammad SAW saat terjadi
krisis seputar peristiwa hijrah.
Pada
masa itu, untuk menghindari persekusi kaum Quraisy, umat Islam untuk pertama
kalinya hijrah dari Mekah ke Habsyi--kini Ethiopia--pada tahun kelima dan
ketujuh setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul. Raja Habsyi saat itu
bernama Najasyi (Negus), orang kulit hitam beragama Kristen. Dia dikenal
sebagai seorang raja yang baik hati, taat pada ajaran agamanya, dan
berkomitmen menjamin keselamatan segenap penduduk dan tamu-tamunya.
Nabi
Muhammad mempercayakan kepemimpinan, kecakapan, dan keadilan seorang
nonmuslim untuk keselamatan orang muslim pada peristiwa bersejarah itu. Walau
Raja Negus beragama Kristen dan tak seiman, Nabi Muhammad mempercayainya
karena dia seorang pemimpin yang adil dan cakap.
Jakarta,
ibu kota negara kita, yang penduduknya mayoritas muslim, membutuhkan pemimpin
yang cakap, tegas, adil, dan tangkas untuk membenahi berbagai persoalan.
Kerja sama Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan Jokowi yang notabene
mantan atasan langsungnya untuk membenahi masalah yang membelit Ibu Kota-termasuk
banjir, kemacetan, transportasi umum, dan kepadatan penduduk-amat kita
tunggu.
Bukankah yang penting bagi seorang pemimpin adalah kecakapan dan
pengabdiannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar