Mufakat
untuk Kebudayaan
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
28 November 2014
SETIAP pagi dini sekali, setelah siuman dari tidurnya, sebelum ia
melakukan kegiatan, bahkan shalat sebagaimana diajarkan ayah dan ustaznya,
Tuan Fulan akan keluar rumahnya, memasuki taman kecil di depan, berjongkok,
membungkuk, dan bersujud untuk mencium tanah. Tuan ini tidak begitu tahu persis kapan ia mulai kegiatan itu, tetapi
jelas sudah sangat lama, mungkin sejak ia akil balig.
Seperti dorongan tak tertahan, Tuan yang berasal dari sebuah pulau
purba di timur negeri ini merasakan tanah sebagai bagian ”tak terhindar” dari
dirinya, diri kemanusiaannya. Dengan menyentuh semua yang paling murni dari
kehidupan: tanah pagi, udara bersih, dan embun sebagai H2O termurni yang
dihasilkan alam. Jika itu berkesesuaian dengan cerita para tetua di desanya,
bahwa ia keturunan akhir salah satu nenek moyang warga adat setempat yang
muncul dari tanah, laut (air), dan udara, Tuan Fulan tak begitu peduli.
Dalam pengertian kita, manusia modern, Tuan Fulan mewakili jutaan dan
miliaran manusia di muka bumi ini, sebagaimana juga Anda yang jika memeriksa
diri memiliki kegiatan serupa. Kegiatan yang secara personal berisi sebuah
pegangan atau acuan abstrak dan idealistis bernama: nilai (value). Inilah dasar awal kesadaran
manusia mengetahui diri dan hidupnya cukup berharga untuk dipertahankan
menghadapi segala tantangan zaman; manusia perlu menjaga bukan hanya
keberadaan, melainkan juga kemuliaan.
Apa yang terjadi pada Tuan Fulan—juga Anda—sebenarnya sebuah langkah
pertama dalam upaya manusia secara kolektif membangun apa yang kita sebut
kemudian sebagai kebudayaan. Kegiatan rutin yang kemudian jadi tradisi atau
adat (keduanya berasal dari bahasa asing, tetapi maknanya kongruen), yang
jika dilakukan secara kolektif, dari sebuah masyarakat atau komunitas akan
menciptakan tingkat kedua dari proses pembudayaan: norma (norms). Sebuah tingkat, sebagaimana
yang pertama, tak membutuhkan bahkan belum muncul penilaian sosial (social judgement) apakah tradisi
normatif itu bersifat negatif (destruktif) atau positif (konstruktif). Bisa
salah satu, bisa keduanya.
Baru di tingkat kedua ini saja, kita, warga dari sebuah bangsa dan sebuah
negara, dapat meninjau diri sendiri—sebagai individu, komunitas, dan
seterusnya—apakah ia berada dalam sebuah norma—yang merupakan mufakat
(konsensus) secara sadar maupun bawah-sadar—dengan bentuk dan dampak yang
membangun (positif) atau merusak (negatif)? Ketika kita, misalnya, mengambil
dua buah lembar kertas dari laci simpanan kertas kantor kita (milik
perusahaan atau negara) untuk katakanlah menulis surat pribadi atau
membungkus makanan, apa yang terasa signifikan dalam diri kita? Sebuah
kewajaran normal (yang secara etimologis berakar pada norms) karena dilakukan
hampir seluruh orang tanpa perasaan bersalah, atau sadar betapapun itu hanya
dua lembar kertas sebenarnya ia contoh nyata perilaku yang koruptif?
Maka mari kita jadikan dunia sekeliling cermin reflektif untuk memahami
realitas diri kita sendiri? Bagaimana kita dan ribuan orang lain bersepeda
motor di lalu lintas padat Ibu Kota, mengantre tiket sepak bola, berebut
proyek yang ditawarkan pemerintah, berkompetisi di lapangan olahraga, bersaing
dengan toko/pedagang yang punya komoditas serupa dengan dagangan kita. Apakah
secara normatif Anda melakukan tindakan yang tampaknya secara kolektif
lumrah, alamiah—sehingga tak menerbitkan rasa bersalah atau ”dosa”—padahal
sesungguhnya dalam norma lain keliru, a-sosial, bahkan kejahatan?
Berbudaya satu, Indonesia
Sebuah kebudayaan pada intinya sebuah kerja dari agregat-agregat
tradisi atau adat yang dilakukan manusia, baik di tingkat personal, komunal,
hingga nasional. Kerja kebudayaan yang semula hanya bermaksud untuk
kebertahanan (survivality) dari
hidup makhluk bernama manusia, menjadi niat untuk memuliakan (honor, dignity) ketika mereka,
gerombolan (crowd) yang kemudian
menjadi masyarakat (society) itu
meninggikan level kebudayaannya dari norma sektoral yang mereka tradisikan
menjadi sebuah kumpulan kebenaran dan kebaikan bernama moralitas. Sebuah
acuan abstrak-idealistis yang dimufakatkan sejumlah gerombolan normatif (normative crowds) untuk terciptanya
kerja sama, harmoni, atau sebuah keteraturan hidup (order), di mana kecenderungan individual atau kelompok/sektarian
tak ganggu keseluruhan.
Di tingkat ketiga mufakat maya (abstractive
consensus) inilah sebuah kebudayaan pada tingkat awal tercipta dalam diri
sebuah masyarakat atau bangsa. Inilah argumen kunci, bagaimana bangunan
sebuah bangsa tak akan tercipta tanpa fondasi kebudayaan yang menegakkan
tiang-tiangnya. Dalam kasus negeri ini, betapapun saya kerap menyatakan
Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah pernyataan kebudayaan, ketimbang maklumat
politik, tetap saja akan terasa tak sempurna karena ia mengabsensi frase
krusial dan vital: ”berbudaya satu, budaya Indonesia”.
Frase vital inilah yang akan memberi signifikansi atau penjelasan kuat
apa makna, posisi, dan peran dari tiga frase sebelumnya. Dan harus kita akui
bersama, setelah hampir 70 tahun negeri ini merdeka dengan fait accompli berupa proklamasi 1945,
kita belum pernah berhasil menunaikan PR atau tugas penting yang jauh lebih
tua dari kemerdekaan itu sendiri: memufakatkan apa yang kita bayangkan (baca:
harapkan) tentang kebudayaan (nasional) Indonesia (KNI). Karena sesungguhnya,
dari komprehensi kolektif yang adekuat tentang KNI itulah tersimpan
jawaban-jawaban krusial dan fundamental dari persoalan-persoalan yang
mengguncang dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan kita di tengah kerumitan
zaman mutakhir ini.
Kita menyadari, pemerintah—di semua sektornya—sebagai penyelenggara
negara, dengan pergantian pimpinan, kabinet atau lembaganya yang aneka rupa,
ternyata senantiasa lalai mengerjakan PR kebangsaan ini. Secara sadar kita
pun menyesalkan aparatus sipil, termasuk kaum intelektual, rohaniwan, hingga
para seniman, juga tak merasa kebutuhan ini hal emerjensial dalam realitas
hidup kita kini.
Terlebih generasi kita saat ini, di mana tingkat dan fasilitas hidup
sudah jauh meningkat ketimbang—setidaknya—para pendiri bangsa, baik dalam
kecukupan ekonomis, kesehatan, kekuatan daya pikir dan emosi, maupun limpahan
data yang berjuta kali lipat dari apa yang bisa diakses oleh bapak-ibu bangsa
kita dahulu, ternyata belum juga berhasil membuahkan karya kebudayaan
terbaiknya: gagasan. Sebuah nebula abstrak yang sebenarnya menjadi ruh dari
kebudayaan di tiga tingkatan di atas (plus dua tingkatan sesudahnya, etika
dan estetika, di mana sebuah kebudayaan bermetamorfosa menjadi
(per)adab(an)), yang laiknya menjadi warisan (legacy) penting lain pada generasi-generasi mendatang, di samping
warisan material kita yang memalukan.
Warisan
gagasan kita
Bagaimana tidak memalukan jika dalam segi material kita hanya mewarisi
artefak dalam monumen-monumen rapuh dan jiplakan, berupa gedung pencakar
langit, jalan raya, jembatan, hingga tarian, puisi, atau kebiasaan hingga
kejahatan sebagai produk-produk budaya mutakhir yang sama sekali tak
merefleksikan harta karun budaya yang ditinggalkan nenek moyang kita di 600
suku bangsa negeri ini. Bahkan, dengan bangga kita memasang reklame di jidat
kebudayaan kita, nama-nama yang diproduksi secara masif dan global oleh
kebudayaan lain, notabene kontinental, baik oksidental atau oriental.
Terlebih sumber daya material yang dimiliki alam negeri ini, dengan
pendaman waktu jutaan dan miliaran tahun, yang ternyata hanya dalam hitungan
dekade menjadi kerusakan tak terperbaiki, limbah, dan bencana karena
kerakusan kontinental kita. Inikah bentuk pertanggungjawaban generasi kita
pada anak cucu, meninggalkan tak hanya peninggalan natural dan nurtural yang
apkir bahkan secara sistemik merusak? Menciptakan warisan beban yang demikian
beratnya, sehingga membuat anak cucu sangat kewalahan dan akhirnya terdesak
untuk menerima kenyataan eksistensialnya hanya jadi korban dari zaman yang
lebih kejam dari semua jenis kolonialisme masa lalu?
Rasa prihatin terhadap semua masalah fundamental, rasa bersalah pada
generasi pendahulu dan penerus itulah yang mendorong Mufakat Budaya Indonesia
(MBI), tergerak untuk menunaikan tugas sederhana tetapi besar itu,
memufakatkan di antara para penggerak dan pekerja sebuah gagasan tentang
lantai fondasi dari kebangsaan dan kenegaraan kita: kebudayaan nasional
Indonesia. Majemuk kecil yang berimplikasi besar dan luas ini diharapkan
dapat menjadi sekadar warisan idea(listis) yang mungkin menjadi jalan setapak
bagi generasi berikut dalam menghadapi rimba hidup yang kembali pada
hukum-hukum purbanya yang primitif.
Betapapun mungkin tidak cukup representatif bagi khazanah pemikiran,
modern, tradisional hingga spiritual, 150 cendekiawan, budayawan, tokoh
spiritual, dan tetua adat akan berkumpul dan berkeringat untuk mencapai
mufakat pada 28-30 November 2014 tentang tema besar di atas bersama elaborasi
tematiknya. Ini temu akbar kedua di mana Deklarasi Cikini 2009 yang
dihasilkan temu akbar pertama (diikuti 80-an peserta) jadi landasan gagasan
di mana ternyatakan di dalamnya: kebudayaan nasional Indonesia berbasis
realitas historis, geografis, hingga arkeologis sebagai kebudayaan maritim.
Apakah 150 peserta dari berbagai kalangan di tengah kebebasan
preferensial hingga di tingkat pemikiran dan klaim kebenaran ini mampu
bermufakat? Inilah sebuah ujian laboratoris bagi kebudayaan kita, kebudayaan
yang konon menjadi faktor tunggal kita berbangga dan merasa berdaulat, di
tengah semua sektor yang melulu jadi pecundang bahkan di level regional
kecil, seperti ASEAN.
Apa pun yang dapat dihasilkan, sebuah langkah dari upaya besar yang
mesti berlanjut ke masa depan telah kita tapakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar