Merdeka
adalah Pernyataan Budaya
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar UI; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
|
KOMPAS,
28 November 2014
TUNTUTAN kemerdekaan mentransformasi diri sebagai tudingan terhadap
Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928): ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi
embel-embel bangsa lain…”.
Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan: ”…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada
nasionalisme… mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas karena menguntungkan
bagi Inggris, bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia….”
Sementara Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan: ”…pertumbuhan berkesinambungan
perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung
berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan
ditopang oleh nasionalisme....”
Widjojo Soejono (2012): kewaspadaan (vigilance) adalah hanya kemerdekaan.
Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Pernyataan kemerdekaan tak lain suatu pernyataan budaya, budaya untuk
menegakkan onafhankelijkheid—melepaskan
diri dari ketergantungan, tak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan,
keberanian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri
sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander.
Kesadaran-kedaulatan berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berkehidupan
cerdas (tak sekadar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna
merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka.
Barangkali kita gagal unlearning untuk memenuhi tuntutan budaya itu. Kita
alpa tak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita
lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme.
Kita terjerumus mengejar-ngejar to
have more, lupa mengejar to be more.
Kita terjerumus mengejar ”nilai tambah ekonomi”. Pembangunan nasional harusnya
mengejar pula ”nilai tambah sosial-kultural” agar mampu meraih makna to be more. Akibatnya hasil utama
pembangunan adalah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), itu pun cuma 6
persen. Beginilah jika pembangunan lebih mengutamakan ”daulat-pasar”-nya liberalisme
dan kapitalisme, bukan mengutamakan ”daulat-rakyat”.
Dengan pertumbuhan PDB sekadarnya itu, kita sebaliknya banyak
kehilangan kedaulatan nasional: kita tak berdaulat dalam pangan, bibit, obat
dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi,
kelautan, pertahanan (mesiu), tata guna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita
tak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/2014) sempat
mencemaskan 60 persen penguasaan industri penting di tangan asing. Bagaimana
keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di
kelas-kelas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi
kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini?
Koreksi
kelemahan budaya
Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan
kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tak
perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/2014): ”…jangan heran orang-orang Singapura nanti
berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di
pasar tradisional kita….” Kita harus selekasnya koreksi kelengahan-budaya
ini dengan mengakhiri servilisme diri.
Kita
tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak
ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang
penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum
kerja sama, bukan forum persaingan, apalagi pengangkangan dan ajang
perampokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita.
Seharusnyalah kita mampu mewujudkan ”pembangunan Indonesia”, bukan
sekadar ”pembangunan di Indonesia”. Kita sendiri harus mampu menjadi
aktor-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekadar menjadi penonton.
Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor
asing seolah-olah investor asing adalah Deus
ex machina—dewa penolong, lalu lupa tanggung jawab untuk mandiri dan
menyelamatkan penderitaan rakyat.
Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravaganza
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
yang asal-usulnya karya rekaan mancanegara, yang bukan karya anak negeri
melalui Bappenas. Di situlah Indonesia ”menari atas kendang orang lain”. Di
MP3EI ada puncak pimpinan (presiden, wakil presiden, dan ketua harian), ada
pula badan koordinasi, ada komite (KP3EI yang didirikan 20/5/2011), dan ada
keanggotaannya yang berisi hampir semua anggota kabinet, ada badan pelaksana,
ada tim kerja wilayah, dan seterusnya.
Namun, hingga kini kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali
perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014.
Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan
sarana strategis pembangunan nasional kepada investor-investor asing,
menjadikan kita malah bisa tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan
asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, investor asing diposisikan
sebagai Deus ex machina—dewa
penolong bagi Indonesia.
Kita beruntung bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah
bersumpah setia pada Doktrin Trisakti sehingga MP3EI gaya baru yang apa pun
tak membuat Indonesia jadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi
tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles.
Semangat
kerja sama
Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi
birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin
APEC tercemari semangat kompetisi ekonomi, di mana seorang kepala negara
sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerja sama, menggunakan
istilah ”bersaing”, mengucapkan perkataan fair competition dalam APEC yang
sebenarnya forum kerja sama.
Berdasar titik tolak di atas, globalisasi harus kita hadapi melalui
pendekatan beraliansi dalam skema kerja sama pula, baik substansi maupun
mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam PBB, WTO, APEC,
Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan lain-lain, yang pada hakikatnya masing-masing
merupakan ”forum kerja sama”—bukan ”forum bersaing”, semua paket kerja sama
harus disetujui in good faith oleh
semua pihak yang bekerja sama.
Prinsip kerja sama harus saling mengamankan konstitusi, kedaulatan dan
kepentingan nasional setiap negara. Dalam kerja sama ekonomi internasional,
proteksi dan subsidi tidak perlu diha¬ramkan. Keduanya harus tetap merupakan
pilihan sebagai stimulus dan motivasi melaksanakan pembangunan nasional kita.
Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat
kebersamaan. Sebaliknya kerja sama global harus lebih ditonjolkan demi
meredam persaingan yang saling merugikan. Kerja sama bukanlah suatu
konspirasi. Kerja sama adalah upaya bersama untuk dukung-mendukung bergotong
royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau
mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak
lain yang lebih lemah dan lengah.
Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan
tanggung jawab global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar