Kesenian
Pemimpin Negara
Agus Dermawan T ; Penulis Buku Budaya dan Seni;
Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana-istana Presiden
RI
|
KOMPAS,
22 November 2014
PRESIDEN Joko Widodo alias
Jokowi amat dekat dengan dunia musik metal sehingga ketika terpilih sebagai
presiden ke-7 RI, Randy Blythe dari grup Lamb
of God menyebutnya ”Presiden heavy
metal pertama dunia”. Kesukaan Jokowi pada musik metal adalah pengerucutan
dari kegemarannya akan seni pertunjukan.
Ada hubungan tak terpisahkan
antara pemimpin pemerintahan dan pilihan seni. Sifat kesenian ia posisikan
sebagai landasan sikap kala menunaikan kehidupan politik. Dan lantaran esensi
kesenian adalah ”penghadiran sensasi-sensasi menyenangkan”, gerak politik
Jokowi mestinya tampil luwes, harmonis, berkarakter, dan bernuansa
kesukacitaan.
Kepercayaan Jokowi kepada
kesenian didorong oleh kembalinya kepercayaan manusia modern kepadaartes
liberales atau seni-seni atau ilmu-ilmu bebas.
Sebuah pemikiran era Romawi yang
dikembangkan pada Abad Pertengahan di Eropa. Artes liberalesadalah
pengetahuan dasar manusia yang menjajar tujuh ilmu hidup sehingga disebut
septem artes: gramatika, dialektika, retorika, aritmatika, geometri,
astronomi, dan seni.
Dari tari ke simfoni
Jokowi hanyalah salah satu dari
sekian banyak pemimpin negara yang menjalankan politiknya dengan denyut
kesenian. Sebelumnya kita tahu Presiden Soekarno adalah pelukis dan kolektor
seni rupa.
Pada tahun 1964, ia memiliki
sekitar 1.800 lukisan dan 400 patung serta keramik. Soekarno juga menggemari
musik dan tari sehingga ia bisa terpana pada melodi Mus Mualim dan bersahabat
dengan penari Ni Reneng serta Ni Polok.
Kesukaan Soekarno kepada seni
diturunkan kepada Megawati Soekarnoputri, presiden kelima, yang menata
interior Istana Merdeka dengan indah terukur, elegan, dan sangat Indonesia.
Presiden Abdurrachman Wahid
mengerek tinggi musik klasik. Dengan menatap langit-langit, ia menikmati
komposisi Amadeus Mozart atau Franz Joseph Haydn. Sambil mengkritik musik
Leonard Bernstein, ia bisa mendendangkan komposisi Ludwig van Beethoven
Simponi # 9 yang tidak rampung itu. Bersamaan dengan itu, ia sangat
menggemari humor. ”Humor itu mengatasi ironi, elegi, dan tragedi,” katanya
suatu kali.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono gemar menggubah puisi dan mencipta lagu. Sejumlah album telah
dihasilkan, berisi lagu-lagu yang diciptakan di sela-sela kesibukannya menata
negara.
Dari jajaran wakil presiden,
kita bisa mengingat nama Adam Malik yang menjadi wakil Presiden Soeharto
tahun 1978-1983. Mantan wartawan yang dipanggil ”Si Kancil” ini sangat
menggemari film, terutama silat, sehingga rumahnya di Jalan Imam Bonjol,
Jakarta, punya dinding lebar yang selalu siap disorot proyektor. ”Seni silat
menawarkan energi positif, yang mengajak manusia berpikir cepat dan tepat!”
katanya.
Ia juga mengoleksi lukisan
Indonesia dan Tiongkok klasik, keramik Indonesia dan Tiongkok, ikon Rusia,
arloji artistik, serta kamera-kamera estetik. Benda-benda seni memorabilia
ini pernah dimuseumkan. Namun, akibat kekurangan biaya operasional, lantaran
negara tidak mengurusi, museum ditutup.
Dimanusiakan seni
Di dunia internasional, Perdana
Menteri Inggris William Churchill tidak melepaskan pensil dan kuas lukis,
meski perang berkecamuk di sekitarnya. Dalam setiap kesempatan, ia
mengunjungi museum, dengan tangan yang menenteng papan sketsa.
Presiden AS Franklyn D Roosevelt
sangat mencintai karya seni sehingga ia memerintahkan penyelamatan ribuan
lukisan dan patung yang dijarah dalam Perang Dunia.
Ronald Reagan, mantan pemain
film, penggemar suara emas Frank Sinatra, terus memacu industri film sebagai
bentuk kesenian yang komplet. Film baginya merupakan seni yang paling sanggup
membungkus hiburan, ilmu pengetahuan, filsafat, dan teknologi.
Nelson Mandela mengobarkan anti
apartheid lewat kelembutan musik rakyat di Afrika Selatan. Jimmy Carter
memetik suara sejati Amerika lewat lagu-lagu penyanyi pujaannya, Bob Dylan.
Presiden Bill Clinton mengiringi pemerintahannya dengan saksofon yang
melodius.
Presiden Kuba Fidel Castro
adalah pemuja cerpenis Anton Chekov. Sastra itu nutrisi bagi politik,
katanya. Ia seperti mengingat kata-kata Plutarchus, sejarawan Yunani
(46-120): ”Betapa kata-kata adalah dokter bagi pikiran yang sakit”. Sementara
Deng Xiaoping menegaskan kepada rakyat Tiongkok ihwal seni yang setara
derajatnya dengan ideologi politik.
Pemimpin negara akan
dimanusiakan oleh seni yang digemarinya. Sungguh benar kiranya. Dalam sebuah
tulisannya, ilmuwan L Wilardjo (1978) mencatat bahwa sebagian besar
keberhasilan penerapan ilmu-ilmu tinggi, termasuk perpolitikan, adalah karena
ilmu-ilmu itu menapakkan kakinya di atas lapangan humaniora yang berfondasi
estetika dan etika.
Tanpa estetika dan etika,
pemimpin—sebagai pengemban ilmu politik tinggi—akan mati rasa. Simpul ini
berangkat dari telaah Kenneth Boulding, seorang ilmuwan dan ahli tata
ekonomi.
Namun, dalam realitas sosial
dalil itu bisa saja tak sepenuhnya lurus. Kadang-kadang juga ada yang
bengkok. Adolf Hitler yang semula berperasaan dan pencinta seni rupa luar
biasa akhirnya jadi diktator.
Seniman dan bintang film Joseph
Ejercito Estrada yang berkehendak ”memanusiakan Filipina” tertuduh sebagai
presiden yang korup.
Rakyat
Indonesia tentu harus yakin bahwa politik-berkesenian Presiden Jokowi yang
dipentaskan mulai 20 Oktober tidak bengkok dan berbelok-belok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar