Selasa, 25 November 2014

Kesenian Pemimpin Negara

                                      Kesenian Pemimpin Negara

Agus Dermawan T  ;   Penulis Buku Budaya dan Seni;
Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana-istana Presiden RI
KOMPAS,  22 November 2014

                                                                                                                       


PRESIDEN Joko Widodo alias Jokowi amat dekat dengan dunia musik metal sehingga ketika terpilih sebagai presiden ke-7 RI, Randy Blythe dari grup Lamb of God menyebutnya ”Presiden heavy metal pertama dunia”. Kesukaan Jokowi pada musik metal adalah pengerucutan dari kegemarannya akan seni pertunjukan.

Ada hubungan tak terpisahkan antara pemimpin pemerintahan dan pilihan seni. Sifat kesenian ia posisikan sebagai landasan sikap kala menunaikan kehidupan politik. Dan lantaran esensi kesenian adalah ”penghadiran sensasi-sensasi menyenangkan”, gerak politik Jokowi mestinya tampil luwes, harmonis, berkarakter, dan bernuansa kesukacitaan.

Kepercayaan Jokowi kepada kesenian didorong oleh kembalinya kepercayaan manusia modern kepadaartes liberales atau seni-seni atau ilmu-ilmu bebas.
Sebuah pemikiran era Romawi yang dikembangkan pada Abad Pertengahan di Eropa. Artes liberalesadalah pengetahuan dasar manusia yang menjajar tujuh ilmu hidup sehingga disebut septem artes: gramatika, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, astronomi, dan seni.

Dari tari ke simfoni

Jokowi hanyalah salah satu dari sekian banyak pemimpin negara yang menjalankan politiknya dengan denyut kesenian. Sebelumnya kita tahu Presiden Soekarno adalah pelukis dan kolektor seni rupa.

Pada tahun 1964, ia memiliki sekitar 1.800 lukisan dan 400 patung serta keramik. Soekarno juga menggemari musik dan tari sehingga ia bisa terpana pada melodi Mus Mualim dan bersahabat dengan penari Ni Reneng serta Ni Polok.

Kesukaan Soekarno kepada seni diturunkan kepada Megawati Soekarnoputri, presiden kelima, yang menata interior Istana Merdeka dengan indah terukur, elegan, dan sangat Indonesia.

Presiden Abdurrachman Wahid mengerek tinggi musik klasik. Dengan menatap langit-langit, ia menikmati komposisi Amadeus Mozart atau Franz Joseph Haydn. Sambil mengkritik musik Leonard Bernstein, ia bisa mendendangkan komposisi Ludwig van Beethoven Simponi # 9 yang tidak rampung itu. Bersamaan dengan itu, ia sangat menggemari humor. ”Humor itu mengatasi ironi, elegi, dan tragedi,” katanya suatu kali.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gemar menggubah puisi dan mencipta lagu. Sejumlah album telah dihasilkan, berisi lagu-lagu yang diciptakan di sela-sela kesibukannya menata negara.

Dari jajaran wakil presiden, kita bisa mengingat nama Adam Malik yang menjadi wakil Presiden Soeharto tahun 1978-1983. Mantan wartawan yang dipanggil ”Si Kancil” ini sangat menggemari film, terutama silat, sehingga rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, punya dinding lebar yang selalu siap disorot proyektor. ”Seni silat menawarkan energi positif, yang mengajak manusia berpikir cepat dan tepat!” katanya.

Ia juga mengoleksi lukisan Indonesia dan Tiongkok klasik, keramik Indonesia dan Tiongkok, ikon Rusia, arloji artistik, serta kamera-kamera estetik. Benda-benda seni memorabilia ini pernah dimuseumkan. Namun, akibat kekurangan biaya operasional, lantaran negara tidak mengurusi, museum ditutup.

Dimanusiakan seni

Di dunia internasional, Perdana Menteri Inggris William Churchill tidak melepaskan pensil dan kuas lukis, meski perang berkecamuk di sekitarnya. Dalam setiap kesempatan, ia mengunjungi museum, dengan tangan yang menenteng papan sketsa.

Presiden AS Franklyn D Roosevelt sangat mencintai karya seni sehingga ia memerintahkan penyelamatan ribuan lukisan dan patung yang dijarah dalam Perang Dunia.

Ronald Reagan, mantan pemain film, penggemar suara emas Frank Sinatra, terus memacu industri film sebagai bentuk kesenian yang komplet. Film baginya merupakan seni yang paling sanggup membungkus hiburan, ilmu pengetahuan, filsafat, dan teknologi.

Nelson Mandela mengobarkan anti apartheid lewat kelembutan musik rakyat di Afrika Selatan. Jimmy Carter memetik suara sejati Amerika lewat lagu-lagu penyanyi pujaannya, Bob Dylan. Presiden Bill Clinton mengiringi pemerintahannya dengan saksofon yang melodius.

Presiden Kuba Fidel Castro adalah pemuja cerpenis Anton Chekov. Sastra itu nutrisi bagi politik, katanya. Ia seperti mengingat kata-kata Plutarchus, sejarawan Yunani (46-120): ”Betapa kata-kata adalah dokter bagi pikiran yang sakit”. Sementara Deng Xiaoping menegaskan kepada rakyat Tiongkok ihwal seni yang setara derajatnya dengan ideologi politik.

Pemimpin negara akan dimanusiakan oleh seni yang digemarinya. Sungguh benar kiranya. Dalam sebuah tulisannya, ilmuwan L Wilardjo (1978) mencatat bahwa sebagian besar keberhasilan penerapan ilmu-ilmu tinggi, termasuk perpolitikan, adalah karena ilmu-ilmu itu menapakkan kakinya di atas lapangan humaniora yang berfondasi estetika dan etika.

Tanpa estetika dan etika, pemimpin—sebagai pengemban ilmu politik tinggi—akan mati rasa. Simpul ini berangkat dari telaah Kenneth Boulding, seorang ilmuwan dan ahli tata ekonomi.

Namun, dalam realitas sosial dalil itu bisa saja tak sepenuhnya lurus. Kadang-kadang juga ada yang bengkok. Adolf Hitler yang semula berperasaan dan pencinta seni rupa luar biasa akhirnya jadi diktator.

Seniman dan bintang film Joseph Ejercito Estrada yang berkehendak ”memanusiakan Filipina” tertuduh sebagai presiden yang korup.
Rakyat Indonesia tentu harus yakin bahwa politik-berkesenian Presiden Jokowi yang dipentaskan mulai 20 Oktober tidak bengkok dan berbelok-belok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar