Dua
Remaja Putri
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
27 November 2014
CERITA
Boko Haram adalah cerita kekejaman; cerita keganasan, kisah kegarangan;
cerita kesadisan. Pendek kata, cerita tentang tindakan yang tidak manusiawi,
tindakan yang menebarkan ketakutan, horor, dan teror.
Karena
Boko Haram, meminjam ungkapan sastrawan Elie Wiesel saat melukiskan Adolf
Eichmann, mantan komandan SS Nazi, yang bertanggung jawab atas pembunuhan
jutaan orang Yahudi, seperti sosok monster lukisan Pablo Picasso. Picasso (25
Oktober 1881-8 April 1973), pelukis kondang asal Spanyol ini, melukiskan
monster sebagai sosok bermata empat dan bertelinga tiga.
Kelompok
milisi yang didirikan Mohammed Yusuf, 12 tahun silam di Nigeria ini,
diberitakan telah mengebom banyak sekolah, gereja, dan masjid. Mereka
menculik para perempuan dan anak-anak; membunuh para politisi dan pemimpin
agama.
April
lalu, seperti diberitakan CNN, Boko Haram menculik lebih dari 200 anak
perempuan di Chibok, Nigeria timur laut. Penculikan itu berlangsung dramatis:
didahului baku tembak dengan tentara, kelompok milisi itu menyeret anak-anak
perempuan dari tempat tidur dan digiring ke sebuah bus.
Kemarin
diberitakan, dua remaja putri meledakkan bom bunuh diri di pasar yang padat
pengunjung di Maiduguri, Nigeria timur laut. Aksi itu menewaskan tak kurang
dari 30 orang! Dengan tewasnya 30 orang itu, korban tewas Boko Haram untuk
tahun ini saja, menurut Amnesty International, tercatat 1.500 orang.
Boko
Haram mengklaim, kedua remaja putri itu adalah ”orang yang mereka kirim”.
Mengapa
kedua remaja putri itu nekat menjadi pelaku bom bunuh diri? Debra D Zedalis
dalam bukunya Female Suicide Bombers (Juni 2004) mengutip pendapat Sheikh
Ahmed Yassin, tokoh Hamas (sudah meninggal) menulis, ”Petarung laki-laki
menghadapi banyak rintangan, sementara petarung perempuan lebih mudah
mencapai target. Perempuan seperti pasukan cadangan, manakala dibutuhkan,
kami menggunakan mereka.”
Organisasi
teroris menggunakan pengebom perempuan karena beberapa alasan. Pertama,
keuntungan bersiasat, untuk mempermudah mencapai sasaran tanpa dicurigai.
Kedua, menambah jumlah petarung. Ketiga, meningkatkan publisitas. Keempat,
efek psikologis. ”Perempuan pengebom bunuh diri adalah senjata asimetrik
terakhir,” kata Magnus Ranstorp, Direktur Center for the Study of Terrorism
and Political Violence.
Bukan
hanya Boko Haram yang menggunakan kaum perempuan untuk menjadi pengebom bunuh
diri. Para petarung Chechnya dalam menghadapi Rusia melakukan hal yang sama.
Mereka ini yang dikenal sebagai ”Black Widows”.
Tony
Halpin, dalam tulisannya di Times, menyatakan, sebutan Black Widows diambil
dari pakaian yang mereka gunakan, gaun panjang warna hitam yang menutup
seluruh tubuh. Biasanya di balik pakaian hitam itu diikatkan bahan peledak
dan pecahan peluru meriam. Mereka antara lain terlibat dalam penyerangan
teater Moscow Dubrovka (2002) dan Stasiun Lubyanka, Moskwa.
Cara seperti itu pula yang kini dipilih Boko Haram, tak peduli apa
akibatnya. Yang penting menimbulkan efek ”demonstratif” dan ”menghancurkan”.
Wah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar