Waktu
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
KOMPAS,
24 November 2014
Ketika bumi kian cepat rusak,
ketika kering & panas menjalar membunuh hutan-hutan dan melelehkan es di
kutub, dan laut tak sanggup lagi menampung air yang meluap dan kota-kota
tenggelam, ketika pada suatu hari ini terjadi, apa yang bisa dilakukan
manusia? Rage, rage against the dying
of the light, baris sajak Dylan Thomas itu melintas. Marahlah kepada
cahaya yang punah. Marahlah.
Dalam film Interstellar, sajak itulah yang tak selesai diucapkan seorang
ilmuwan tua, Brand, menjelang mati. Ia telah diam-diam menyiapkan manusia
untuk hengkang dari bumi yang makin hancur: manusia harus mencari sebuah
planet lain sebagai alternatif. Tapi utopia itu tetap utopia: impian bagus
yang tak punya tempat. Empat belas penjelajah diluncurkan, namun tanpa jejak
tanpa kepastian.
Tapi cerita ini tak seluruhnya
mengusung fatalisme yang muram.
Dengan gemuruh pesawat
antarbintang yang menjangkau Lubang Hitam, dengan robot-robot yang pintar
berbicara, Interstellar berangkat sebagai sebuah science fiction dalam tradisi Star
Trek. Tapi sebenarnya ia sebuah mithos yang tak jauh berbeda dari yang
didongengkan orang sejak zaman dulu. Pertama dalam kekuatan bercerita. Kedua
dalam kandungannya. Ketiga dalam perspektifnya tentang waktu.
Salah satu kekuatan mithos ialah
menunda sikap tak percaya. Kita tak mencegat keajaiban (atau keganjilan?)
dalam narasinya dengan tanda tanya besar. Kita sepenuhnya terkesima, kita
asyik, dan kita menyimpan kesangsian di depan layar ketika Ki Dalang berkisah
tentang Bima yang memasuki tubuh Dewa Ruci yang kecil. Kita juga tak
menggugat ketika Interstellar disorotkan, tak bertanya bagaimana mungkin
Cooper, pilot itu, dengan sosok yang tetap gagah seperti ketika ia berangkat
mengemudikan pesawat Endurance,
balik ke kehidupan manusia tapi memasukinya di masa depan, ketika Murph,
anaknya, telah jadi perempuan berusia 100 tahun. Bagaimana mungkin juga ayah
itu, di ujung perjalanannya, justru tiba di masa lalunya sendiri, memberi
isyarat seperti bisikan hantu kepada Murph yang masih kecil? Dan benarkah ada
"mereka", makhluk dengan dunia lima dimensi yang berniat menolong
manusia?
Interstellar -- sebuah dongeng.
Dan seperti umumnya dongeng, di
dalamnya ada yang membuat kita lebih bijaksana, biarpun sedikit, tentang
hidup. Film ini menunjukkan bahwa egoisme bukanlah ciri manusia. Ada
saat-saat orang sanggup mengorbankan diri agar orang lain selamat.
Cooper, misalnya, bersedia
melakukan penjelajahan yang penuh teka-teki itu. Di satu saat bahkan ia
melontarkan dirinya dalam pesawat yang nyaris habis energi, agar rekannya,
Amelia, bisa sampai di sebuah planet tempat Edmunds, salah satu penjelajah
ruang angkasa terdahulu, menemukan ruang hidup.
Jika saya katakan Interstellar
sebuah dongeng, ia dongeng yang, katakanlah, pasca-modern: ia mempertanyakan
ide "kemajuan" dan agenda besarnya.
Dengan segala teknologi dan
derap modernitas untuk menguasai ruang & waktu, yang terjadi malah bumi
yang rusak. Dan lihat Cooper: seperti manusia pertama di angkasa luar dalam
sajak Subagio Sastrowardoyo, ia terlontar dari bumi, kesepian, akibat
"1.000 rumus ilmu pasti yang penuh janji".
Tapi kutipan yang tepat untuk
film ini saya kira bukan dari Subagio Sastrowardoyo atau Dylan Thomas,
melainkan dari sebuah lagu yang dinyanyikan dalam suasana sentimental dalam
film Casablanca: lagu tentang waktu
dan manusia. Sementara waktu berlalu, as
time goes by, kata lirik lagu itu, cerita tua yang sama, the same old story, selalu kembali.
Waktu hadir di pusat Interstellar tapi, seperti dalam
mithos tentang dewa dan manusia yang menitis, waktu itu tanpa batas yang
jelas di antara masa lalu, kini, dan nanti. Dalam film ini, Cooper berada di
tiga kurun sekaligus. Dan kita pun jadi bertanya, sambil mencoba memahami
teori relativitas Einstein yang muskil itu, apa arti waktu jika demikian, dan
benarkah waktu ada dan berlalu atau manusialah yang mengkonstruksikannya
demikian.
Para pemikir
"korelasionis" akan mengatakan bahwa waktu ada; tapi ia selalu ada
dalam korelasi dengan manusia. Pertanyaan klasik para
"korelasionis": mungkinkah akan ada warna andai kata tak ada mata
manusia? Ataukah sebaliknya: benarkah warna, waktu, dan lain-lain memang
pernah ada dan akan ada tanpa kita?
Ilmu menunjukkan bahwa sudah
terbentang alam semesta 14 miliar tahun yang lalu, sebelum manusia.
Meillassoux menyebutnya "arche-fossil", jejak fenomena "nenek
moyang" bahkan sebelum munculnya kehidupan -- yang membuat pendapat
"korelasionis" guyah. Tapi sebaliknya: bagaimana waktu bisa ada
tanpa subyek yang menyusun "kemarin", "kini", dan
"kelak"?
Interstellar, sebagaimana
dongeng, tak menjawab, sebab ia bukan sebuah eksplorasi filsafat. Ia
pertama-tama sebuah keasyikan. Meskipun tak cuma itu.
Yang membuat penjelajahan Cooper
menarik adalah pertautannya yang erat dengan bumi, meskipun bumi itu sedang
binasa -- pertautan yang dibentuk cintanya kepada Murph. Bocah itu berumur
sepuluh tahun ketika ditinggalkannya berangkat mengarungi alam semesta
mencari planet alternatif. Pada suatu saat, dari dalam kokpit Endurance pada jarak sekian ratus
tahun cahaya, si ayah menyimak pesan anaknya -- dan melihat bahwa yang
berbicara kepadanya adalah Murph, seorang perempuan dewasa. Bapak itu
menangis. Seseorang menghitung bahwa sejam di posisi "interstellar"
itu sama dengan tujuh tahun di bumi.
Tapi kerinduan seorang tua,
cinta seorang anak, kasih yang mungkin tak sampai tapi keras kepala, kasih
yang lebih kuat ketimbang pengharapan: semua itu membuat ruang & waktu
tak lagi relevan.
Benar, the same old story. Tapi siapa yang
akan berkeberatan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar