Kolom
Agama dalam Perspektif HAM
Todung Mulya Lubis ; Ketua Dewan Pendiri Imparsial
|
KOMPAS,
27 November 2014
NANI
Maryani Ramli, seorang perempuan, pada 1956
memiliki surat keterangan penduduk (belum disebut kartu tanda penduduk atau
KTP) untuk Daerah Kota Praja Jakarta Raya.
Di sana tak tersua kolom agama. Yang ada hanya kolom nama, jenis kelamin,
bangsa (suku), umur (tanggal kelahiran), tempat kelahiran, pekerjaan, dan
alamat. Sama sekali tak ada kolom agama. KTP perempuan tersebut dikeluarkan
Lurah Petojo dengan stempel kelurahan.
Di Surabaya pada 1958, Soemiati mendapat kartu penduduk warga negara
Indonesia yang kolom-kolomnya lebih kurang sama: tak juga memiliki kolom
agama. Saat itu tiada yang mempertanyakan mengapa
tidak ada kolom agama sebab agama diperlakukan sebagai kawasan pribadi, dalam
arti: merupakan urusan manusia bersangkutan. Negara tak perlu tahu agama apa
yang dianut seseorang.
Konsep kewargaan
Kolom
agama kala itu tak ada karena, meski dalam jagat politik Indonesia,
partai-partai Islam sangat kuat (Masyumi, NU, PSII, Persis, dan lain-lain).
Banyak juga partai beraliran nasionalis, sosialis, dan komunis (PNI, PSI,
PKI, Murba, dan lain-lain). Apakah tidak adanya kolom agama karena
kesepahaman para pemimpin negeri yang menganggap agama bukan urusan negara?
Atau, tak adanya kolom agama itu dikarenakan kompromi politik antarsemua
kekuatan politik?
Tak ada
yang bisa menjawab pasti. Namun, kita bisa berspekulasi bahwa pada zaman yang banyak diasosiasikan sebagai zaman liberal itu, turunannya adalah bahwa konsep kewargaan lebih diutamakan. Yang terpenting
apakah seseorang itu warga negara atau bukan. Seorang warga negara bebas
memeluk agama atau kepercayaan atau tak beragama sama sekali. Biarlah urusan
agama itu terpulang kepada manusia bersangkutan. Nyatanya, pabrik
masyarakat kita tetap kukuh meski isinya kumpulan manusia dari beragam agama
dan ideologi politik. Negeri ini tetap utuh. Kohesi sosial terjaga.
Kapan isu agama muncul dalam kebijakan pemerintah? Pada 1965, melalui UU No
1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang
dipeluk penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan
Konghucu.
Tak salah apabila orang menafsirkan, adanya pengakuan negara terhadap agama
tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap
tak beragama.
Tuduhan
kudeta oleh PKI saat itu membuat mutlaknya seseorang memiliki agama jadi
penting. Mereka yang tak beragama akan mudah sekali dituduh sebagai komunis
dan ditangkap atau hilang. Pertanyaannya: bagaimana dengan agama lainnya,
seperti Ahmadiyah, Bahai, Yahudi, dan semua aliran kepercayaan?
Di sinilah diskriminasi itu bermula. Orang Tionghoa sejak 1967
dilarang melaksanakan upacara agama mereka secara terbuka. Lebih jauh dalam
KTP tak boleh ada agama Konghucu dan orang Tionghoa harus menggunakan nama
Indonesia, bukan nama Tionghoa. Mereka kehilangan hak-hak sipil mereka.
Bayangkan, bagaimana nasib penganut agama dan kepercayaan lainnya?
Pengukuhan
keberadaan agama yang diakui negara kembali dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 1470 Tahun 1978 yang
ditegaskan Surat Edaran Mendagri No 477/1978 yang intinya hanya mengakui lima
agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, dan Buddha. Selanjutnya, dalam
Tap MPR No II/MPR/1998 dikatakan bahwa penganut kepercayaan tak boleh
mengarah pada pembentukan agama baru dan sedapat mungkin diarahkan bergabung
dengan salah satu agama yang diakui negara. Tiada tempat buat agama
lain dan kepercayaan.
Baru pada 2000, 35 tahun kemudian, ketika Gus Dur
menjadi Presiden, keluar Keppres No 6/2000 yang
mengatakan bahwa upacara keagamaan penganut Konghucu bisa dilaksanakan secara
terbuka tanpa memerlukan izin. Inilah salah satu produk reformasi yang
penting. Sepertinya iklim kebebasan beragama sudah mulai tumbuh dan Presiden
Gus Dur yang sangat pro kemajemukan memang memberi angin segar untuk
tumbuhnya masyarakat yang pluralistis.
Namun,
dalam praktik, iklim masyarakat yang pluralistis itu tidak sepenuhnya mulus.
Dalam kartu identitas penduduk atau KTP, misalnya, dalam kolom agama, pemilik
KTP tersebut harus mencantumkan agamanya dan agama tersebut harus salah satu
dari agama yang diakui. Seorang penganut agama Bahai mengeluhkan bahwa dia
tak boleh mencantumkan agama Bahai di kolom agama di KTP-nya. Dia harus
menulis salah satu agama yang diakui oleh negara untuk memperoleh KTP itu.
Semua
ini mempunyai dampak turunan: kesulitan mengurus dan mencatatkan perkawinan,
kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak, memperoleh pekerjaan, dan
sebagainya. Diskriminasi disyahkan. Akibatnya, banyak orang yang memilih
tidak mempunyai KTP. Lebih jauh, dalam masyarakat mereka, yang bukan berasal
dari agama yang diakui akan dituduh sebagai tak beragama atau mengikuti
aliran agama sesat.
Kebebasan beragama
Meski
Reformasi sudah mulai sejak 1998 dan Indonesia memiliki jaminan hak asasi
yang kuat untuk menjalankan agama dan keyakinannya,
baik itu atas dasar UUD 1945 maupun Kovenan Hak Sipil dan Politik, persoalan
kebebasan beragama ini tak mendapat jaminan. Banyak kasus ketika penganut agama
minoritas dan agama yang tak diakui negara mengalami intimidasi, teror, dan
kesulitan menjalankan agama mereka. Malah, tak sedikit yang dibunuh dan
diusir. Warga Ahmadiyah dan Syiah mengalami hal itu sampai hari ini. Kita
telah membuat diskriminasi dan segregasi!
Ihwal
kolom agama yang harus diisi dengan agama yang diakui hanya satu soal, tetapi
ini soal yang sangat mengganggu dan menghambat banyak orang yang mencari pekerjaan, mendapatkan pelayanan
pemerintah, dan sebagainya. UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan
sepertinya memberi jalan keluar dengan membolehkan kolom agama tak diisi dan
mereka tetap bisa memperoleh KTP dan data mereka dicatat dalam database
kependudukan.
Namun, dalam praktik, kolom agama
itu dipaksakan diisi. Sedikit yang berani melawan. Syukurlah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membikin
gebrakan dengan mengatakan bahwa kolom agama itu tidak perlu diisi. Mendagri
memulihkan kembali hak warga negara memilih agama mereka dan tak perlu
mencatatkannya dalam dokumen apa pun, termasuk KTP.
Langkah Mendagri ini terbilang
maju walau seyogianya Mendagri harus melangkah selangkah lagi: menghapus saja
kolom agama pada KTP. Harus diakui bahwa pencantuman kolom agama ini
sangat mungkin menjadi sumber diskriminasi, dan sebagai negara yang mengakui
semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, merupakan kewajiban
kita menghilangkan semua peluang terjadinya diskriminasi.
Seandainya
secara statistik negara memerlukan data mengenai jumlah penganut setiap
agama, data itu bisa diperoleh melalui berbagai survei dan sensus yang secara
berkala dilaksanakan.
Perihal kolom agama ini tak perlu diperdebatkan terlalu panjang.
Kebanyakan negara di dunia, termasuk negara tetangga dan negara Timur Tengah,
tidak punya kolom agama dalam KTP mereka. Kebijakan
tentang KTP tanpa kolom agama bukanlah sesuatu yang ahistoris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar