Regenerasi
Kepemimpinan
Moh Ilham A Hamudy ; Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
|
REPUBLIKA,
24 November 2014
Musyawarah
Nasional (Munas) Partai Golkar yang rencananya berlangsung dalam waktu dekat
ini menjadi pertaruhan regenerasi kepemimpinan di tubuh partai berlambang
pohon beringin itu. Betapa tidak, Aburizal Bakrie (Ical) naga-naganya masih
mau maju lagi. Sementara, kawan sejawatnya dan mungkin kader muda lainnya juga
bertekad ingin menggantikan Ical.
Salah
seorang Ketua DPP Partai Golkar memberi sinyal kuat Ical akan kembali maju
dalam Munas IX Partai Golkar itu. Ia menegaskan, tidak ada aturan dalam
AD/ART yang melarang Ical maju lagi. Bahkan, ia pun mengklaim, Ical sudah
mendapat dukungan dari 400 DPD I dan DPD II Partai Golkar.
Kalau
sudah seperti itu, kecil kemungkinan kader lainnya akan memenangkan
kontestasi. Kemungkinan Ical memimpin kembali Partai Golkar memang besar.
Terlebih, lamat-lamat terdengar kubu Ical tengah mendesain aturan pemilihan
yang intinya menguntungkan Ical. Disinyalir, harus ada syarat dukungan
minimal 30 persen dari DPD I dan DPD II untuk bisa mencalonkan diri sebagai
ketua umum. Syarat itu tentu saja cukup berat bagi kader lainnya.
Skenario
seperti itu agak sukar dibantah. Sebab, arus dinamisasi di Partai Golkar
biasanya mudah dikontrol dan dikendalikan oleh suprastruktur partai. Ketika
pucuk pimpinan dengan didukung para loyalisnya berambisi maju, maka suasana
pengondisian ke arah penggiringan menjadi tradisi Golkar yang sudah
turun-temurun.
Memang
benar, tidak ada larangan konstitusional bagi Ical untuk maju lagi memimpin
Partai Golkar. Cuma, tidak lazim jika Ical kembali menang dan memimpin Partai
Golkar. Secara tradisi, kebiasaan itu tidak ada dalam kamus Partai Golkar.
Para ketua umum yang punya prestasi tinggi, seperti Sudharmono dan Harmoko
yang pernah "memberi" 325 kursi bagi Partai Golkar di DPR saja
tidak pernah mengajukan diri lagi sebagai ketua umum.
Problem partai
Apalagi
Ical, yang secara prestasi masih bisa diperdebatkan, kalau tidak mau dibilang
jeblok. Kenyataan, Ical gagal mengantarkan Golkar sebagai partai pemenang
pemilu, gagal mengantar kadernya menjadi capres, cawapres, bahkan menteri
sekalipun. Ical juga gagal menentukan arah politik koalisi serta gagal
melakukan regenerasi kepemimpinan.
Senyatanya,
niat Ical maju kembali hanya akan menghambat regenerasi di tubuh Partai
Golkar. Padahal, regenerasi kepemimpinan mutlak terjadi. Tujuannya, agar
tidak terjadi kebuntuan, kevakuman, dan kendala pengalihan kepemimpinan bagi
kader muda. Karena itu, harus dibuka peluang regenerasi kepemimpinan
mengingat Golkar adalah partai besar dan paling berpengalaman.
Kalau
tidak, dikhawatirkan, Partai Golkar akan semakin terpuruk. Perolehan suara
dalam Pileg 2014 bisa dijadikan patokan. April kemarin, misalnya, Golkar
hanya meraih 14,75 persen suara nasional. Bahkan, pada 2009 Partai Golkar
cuma meraih 108 kursi, sekarang malah turun menjadi 91 kursi.
Kondisi
seperti itu mesti diinsyafi secara arif. Ical harus menyadari jangan sampai
Golkar kembali terpuruk di bawah kepemimpinannya. Kalau mau menjadi pemimpin
yang hebat dan selalu dikenang, Ical wajib ikut melahirkan calon pemimpin
baru di partainya. Terlebih lagi, tantangan ke depan sangatlah berat karena
baru pertama kali Golkar di luar pemerintahan. Nakhoda Partai Golkar harus
bisa membawa Golkar menjadi perahu yang tahan guncang.
Problem
regenerasi kapemimpinan partai politik seperti di Golkar senyatanya juga
menimpa partai lain. Sebut saja, misalnya, PDIP yang masih mengandalkan
Megawati, atau PPP versi Suryadharma Ali yang kini "diwariskan"
kepada kader tua Djan Farid. Belum lagi partai-partai yang masih dipimpin
kader lawas, seperti Gerindra, Hanura, ataupun Partai Demokrat.
Contoh
itu menunjukkan, partai politik kita belum menjadi partai modern. Harusnya
ketua-ketua partai yang sudah pernah menjabat tidak usah menjabat kembali.
Terlebih lagi bagi para ketua umum yang gagal membawa partainya menjuarai
pemilu legislatif kemarin.
Hal itu
juga menunjukkan rakyat tidak menginginkan mereka menjadi pemimpin di negeri
ini. Mereka harus mundur dari kepengurusan partai karena telah gagal. Dengan
begitu akan ada regenerasi. Kader partai yang lain punya kesempatan naik
menjadi ketua.
Berbagi kesempatan
Kehidupan
politik kita tidak akan pernah maju kalau mereka masih bercokol di tempat
masing-masing. Hal ini menjadi ironi bagi demokrasi kita karena gagal
mendemokratisasikan partai politik secara internal. Padahal, pangkal berbagai
kekisruhan politik sejatinya berasal dari situ.
Partai
politik memang telah berupaya membangun sistem regenerasi. Tetapi, semuanya
berjalan setengah hati. Politisi kaum tua masih belum mau berbagi. Partai
politik sebagai kanal kemunculan pemimpin harusnya sigap melakukan regenerasi
dan kaderisasi kepemimpinan. Supaya lahir pemimpin partai politik yang
berasal dari kaum muda.
Pemimpin
partai ideal yang berasal dari kalangan kaum muda dinilai lebih menjanjikan
karakter yang dinamis, berani ambil terobosan, dan progresif. Tentu saja,
sosoknya harus bersih, punya visi kebangsaan dan kerakyatan, mampu, dan
berintegritas.
Sudah
sepatutnya para kader muda yang telah banyak makan asam garam di partai, yang
sudah memegang jabatan politik di parlemen diberi kesempatan menjadi ketua
umum partai. Partai Golkar, dan partai politik lainnya, membutuhkan pemimpin
yang merangkak dari bawah sebagai sosok aktivis, ideolog partai, yang
berjuang untuk kepentingan rakyat, negara, dan partai.
Peran
partai sebagai penyuplai pemimpin politik akan bisa optimal jika parpol itu
sendiri menjadi wahana bermunculannya pemimpin baru. Pemimpin partai politik
yang sudah "mengabdi" terlalu lama harus berhenti. Generasi baru
perlu didorong untuk tampil dan memimpin partai.
Kader
dimaksud bukan hanya sebatas usia yang harus muda, melainkan juga kemampuan
memimpin bangsa. Calon pemimpin harus memiliki semangat tinggi dan rekam
jejak yang baik. Untuk mendapatkan kriteria itu tidak bisa dilakukan
tiba-tiba. Kader harus dididik, benar-benar disiapkan. Sudah semestinya
partai politik menanamkan nilai-nilai baik dan keteladanan tingkah laku yang
baik.
Jika hal itu dilakukan terus, akan muncul kader yang memiliki karakter
baik. Saat berkuasa, mereka tidak hanya memikirkan kekuasaan dan kewenangan,
tetapi bagaimana menjalankan kekuasaan dengan amanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar