Harapan
terhadap HM Prasetyo
M Ali Zaidan ; Pengamat Hukum
|
KOMPAS,
25 November 2014
TEKA-teki
tentang siapa yang akan menduduki jabatan Jaksa Agung terjawab sudah.
Presiden Joko Widodo menunjuk HM Prasetyo, mantan Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Umum, menduduki kepemimpinan tertinggi institusi penegak hukum itu. Harus
diingat bahwa Jaksa Agung sekarang adalah pejabat yang diajukan partai
politik yang kiprahnya harus diawasi. Meski kontroversi mengikutinya, harapan
tetap digantungkan kepada figur itu.
Di luar
kelaziman, tercatat dalam sejarah pemerintah lambat menetapkan Jaksa Agung.
Selama ini penetapan Jaksa Agung bersama-sama dengan pengumuman kabinet.
Lebih dari satu bulan kabinet telah bekerja, Jaksa Agung belum ditetapkan.
Tampaknya pemerintahan Jokowi kesulitan menetapkan sosok yang memimpin
institusi penegakan hukum itu. Akibatnya, muncul berbagai spekulasi: gagasan
yang bersifat ideal sampai pertimbangan politik muncul ke hadapan publik
tentang siapa yang pantas menduduki posisi itu.
Figur
yang ideal harus berintegritas, berani, dan seterusnya. Ada yang mengatakan
bahwa orang tersebut harus mengerti anatomi kejaksaan, pernah mengikuti
pendidikan jaksa, bahkan manusia setengah dewa (Kompas, 20/11). Dari sisi politik, ditengarai terjadi tarik-menarik
kepentingan yang alot di kalangan pemerintah sendiri, menunjukkan bahwa
penetapan itu diwarnai kalkulasi politik yang kentara.
Sesungguhnya
Presiden cukup membaca undang-undang ditam- bah dengan syarat yang ditentu-
kannya sendiri dengan tetap memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat untuk menentukan siapa yang pantas mengisi jabatan itu.
Bagaimanapun Jaksa Agung merupakan bagian terkecil dalam penegakan hukum.
Kinerjanya tidak dapat ditentukan sendiri tanpa melibatkan institusi lain
dalam mata rantai sistem peradilan pidana.
Patut
dicatat, orang-orang yang memimpin kejaksaan telah silih berganti. Tak ada
catatan buruk bila institusi ini dipimpin orang yang berasal dari luar, dan
tidak ada pula catatan spektakuler karena dipimpin orang dalam. Ini
dikarenakan Jaksa Agung bukan pejabat yang mandiri. Sebagai institusi
pemerintahan yang diberi kepercayaan oleh undang-undang, melaksanakan tugas
dan wewenang kejaksaan tidak dapat dilepaskan dari garis kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang penegakan hukum.
Meskipun
demikian, negara harus memberi jaminan kepada Jaksa Agung ketika telah
menentukan langkah penegakan hukum sesuai dengan standar baku yang salah
satunya ditetapkan dalam Guidelines on
the Role of Prosecutors dan
International Association of Prosecutor, seperti jaminan terhadap
intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun yang mengganggu pelaksanaan
tugasnya secara mandiri.
Perubahan kultur
Yang tak
boleh dilupakan, Prasetyo harus menuntaskan reformasi birokrasi di lingkungan
kejaksaan secara menyeluruh. Reformasi birokrasi di antaranya mensyaratkan transparansi, pertanggungjawaban publik, dan
kesejahteraan pegawai merupakan langkah berikutnya yang harus dipikirkan.
Pembenahan jeroan, seperti perekrutan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme serta sistem mutasi dan promosi, didasarkan kompetensi dan
kebutuhan dengan mengacu pada ganjaran dan sanksi harus dilakukan secara konsisten.
Jaksa Agung harus melakukan perbaikan kultur di kalangan dalam agar tercipta
sistem penegakan hukum yang efektif.
Melaksanakan
undang-undang saja tidak cukup, seorang Jaksa (Agung) harus juga memahami
bahwa norma-norma sosial lain memiliki kekuatan yang sama untuk menertibkan
masyarakat. Dengan demikian, kepada bawahan harus ditanamkan bahwa mereka
tidak cukup berkata bahwa ”undang-undangnya mengatakan seperti itu” atau
”biarkanlah pengadilan yang memutuskan”, ini menunjukkan bahwa mereka
terbelenggu dengan positivisme hukum yang seharusnya ditinggalkan.
Tuntutan
kemandirian harus diikuti dengan perubahan pola pikir menyeluruh agar tumbuh
iklim penegakan hukum yang sehat dan pada gilirannya akan menumbuhkan
kesadaran hukum masyarakat agar mematuhi hukum. Bahwa kewajiban mematuhi
hukum adalah lebih utama dalam pelaksanaan tugas daripada sekadar menggiring
seorang terdakwa ke pengadilan untuk kemudian dijatuhi hukuman.
Salah
satu tugas yang menanti Jaksa Agung Prasetyo adalah penuntasan kasus pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) yang hampir dua dasawarsa tidak menunjukkan kemajuan
berarti, bahkan mundur. Pelanggaran atas HAM merupakan tindakan yang merobek
nilai kemanusiaan yang dilakukan dengan meminjam topeng kekuasaan atas nama
rakyat. Kasus Wamena, Wasior, begitu juga Semanggi I dan II, serta kasus
lain, menuntut penuntasan dan Jaksa Agung merupakan motor penggerak utamanya.
Beban sejarah
Kasus
pelanggaran HAM merupakan beban sejarah yang harus dituntaskan, terutama
kasus-kasus yang penyelidikannya telah diselesaikan Komnas HAM. Jaksa Agung
tinggal mendorong Presiden dan DPR membentuk pengadilan ad hoc sesuai dengan
yang disyaratkan undang-undang.
Hambatan teknis ataupun alasan lain harus diteliti secara cermat.
Apakah para pelaku telah diperiksa dan diputus oleh sidang pengadilan secara
jujur dan adil? Kalau belum, tindakan Jaksa Agung dinantikan oleh publik
untuk menuntaskannya.
Pelanggaran
HAM berat merupakan kejahatan kemanusiaan yang menuntut dituntaskan agar
peristiwa yang sama tidak terjadi lagi. Kini, Jaksa Agung telah definitif,
tugasnya sekarang menuntaskan kasus yang hingga saat ini seakan tertutup
misteri. Bekerja menurut aturan saja tidak cukup. Namun, kemampuan melampaui
diri dan kepentingan lebih utama guna membuka tabir gelap sejarah yang
semakin menjauh terseret waktu.
Kepercayaan telah diberikan kepada Jaksa Agung Prasetyo. Tugasnya
sekarang memenuhi ekspektasi publik, sementara tugas masyarakat adalah
mendukung, mengawasi, bahkan mengkritik apabila tindakannya menyimpang dari
harapan publik, khususnya dalam penuntasan kasus berdimensi pelanggaran HAM
berat. Demikianlah tugas seorang jaksa agung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar