Standar
Nasional Bukan Ujian Nasional
Itje Chodidjah ; Praktisi Pendidikan; Pelatih Guru Internasional
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2014
TARGET utama pendidikan formal
ialah anak didik yang proses penyelenggaraan tidak dapat terlepas dari
berbagai unsur, seperti fasilitas sekolah, guru, buku, dan sebagainya. Evaluasi
terhadap layanan dari berbagai unsur terkait itu harus dilakukan. Layanan
yang dimaksud ialah terpenuhi sarana prasarana belajar, tersedia kualitas
pendidik, dan proses pendidikan itu sendiri agar anak didik siap untuk dapat
berperan di zamannya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 11 ayat (1) menyatakan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi.
Proses belajar mengajar yang
bermutu ialah serangkaian kegiatan bermakna dan ditumpukan pada tujuan
terukur yang bermuara pada kurikulum.Bukan bahan ajar yang diakhiri dengan
tes atau ujian. Evaluasi terhadap proses pembelajaran dilakukan secara
berkesinambungan dan hasilnya membantu proses perbaikan belajar mengajar.
Peningkatan kualitas kemampuan berpikir dan bertingkah laku harus terukur.
Proses belajar mengajar yang berkualitas dan dibimbing pendidik yang terampil
akan mampu menghasilkan penilaian terhadap anak didik lebih objektif dan
mewakili kemampuannya.
Lalu, bisakah ujian nasional
yang tidak dibarengi standar pendidikan lainnya menjadi standar kemampuan
anak didik? Standar apakah yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh
pemerintah? Dua pertanyaan penting itu perlu dikaji secara saksama
berdasarkan fakta yang tersedia tentang seluruh kebutuhan standardisasi
pendidikan.
Layanan pendidikan di sekolah
bertumpu terlalu berat pada Ujian Nasional (UN) sejak 2004.Nilai UN yang jadi
penentu kelulusan siswa membuat semua pihak mencari cara bagaimana
mendongkrak nilai mereka. UN terkesan kuat sebagai standar kualitas siswa di
setiap jenjang pendidikan dan nilai tinggi di akhir jenjang sekolah. Itu
dianggap menjadi tolok ukur keberhasilan sekolah. Lalu, secara kumulatif
dianggap keberhasilan pemerintah kota atau kabupaten dalam membina
pendidikan. Kemendikbud seolah-olah meyakini bahwa hasil ujian nasional ialah
potret pendidikan nasional. Benarkah demikian? Pasti jawabnya tidak karena
capaian anak selama proses pembelajaran satu periode jenjang pendidikan tidak
menjadi pertimbangan utama dalam menilai. Padahal, itu cerminan kompetensi
anak didik sebenarnya. UN juga menyempitkan pengembangan ragam kompetensi
yang mungkin dikuasai anak.
UN seolah membuat pemerintah
daerah dan pusat terlena dan lupa bahwa sebelum ujian nasional banyak unsur
lain yang seharusnya distandarkan. Konteks pendidikan di Indonesia yang
sangat beragam mengakibatkan berbagai perbedaan dalam penanganan pendidikan
formal. Pemerintah wajib mewujudkan standar minimum berbagai aspek pendukung
pembelajaran di pendidikan formal.
Sebelum memaksakan UN bagi
siswa, seharusnya pemerintah mewujudkan terlebih dahulu sistem pelayanan
standar secara nasional. PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan mengurai adanya delapan standar nasional pendidikan yaitu standar
isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana
prasarana, pengelolaan, pembia yaan, dan penilaian.
Sudahkah standardisasi selain UN
diimplementasikan secara nyata dan merata? Sudahkah secara nasional semua
kepala sekolah memenuhi standar yang diatur Permendiknas No 13 Tahun 2007?
Apakah pengawas sekolah sebagai kepanjangan tangan dinas pendidikan secara
nasional memiliki kompetensi standar?
Hasil uji kompetensi oleh
pemerintah tahun lalu menunjukkan nilai rata-rata mereka berkisar 42.25 dari
skala 100. Hasil Uji Kompetensi Guru juga rata-rata tidak mencapai angka 50.
Bagaimana dengan standar minimum ruang kelas, materi ajar, fasilitas
pendukung, dan pembiayaan? Sudah kah secara nasional merata atau memenuhi
standar minimal? Siapakah yang menjamin efektivitas proses bela jar mengajar
di kelas? Jika layanan pendidikan belum dipastikan standarnya, mengapa anak
anak harus distandarkan melalui UN dan menjadi tameng untuk menyatakan keberhasilan
proses pendidikan.
UN tidak adil bagi anak-anak
yang secara geografis dan ekonomi kurang beruntung. Mereka diuji dengan alat
uji yang sama dengan anak-anak yang tersaring di sekolah unggulan dengan
fasilitas prima. Anak-anak itu rata-rata hanya mendapat kesempatan untuk
memperoleh pendidikan di sekolah yang serbaterbatas, baik sarana dan
prasarana, akses terhadap informasi ataupun kualitas, maupun kuantitas guru.
Beberapa contoh kasatmata sering
kita saksikan seperti sekolah yang dua jenjang kelas diajar satu orang guru,
sekolah dengan atap bocor, papan tulis pecah, dan jalan akses menuju sekolah
yang sulit bagi anak.Ketimpangan sarana prasarana yang ada menunjukkan
mencoloknya ketimpangan antara sekolah yang beruntung dan tidak. Bagaimana
mungkin ujian nasional bisa disebut valid sebagai alat ukur dari hasil proses
pembelajaran yang berbagai aspek pendukungnya terlalu berbeda.
Sejak 2006 pemerintah secara
nasional memberlakukan standar isi melalui Standar Kompetensi (SK) dan
Kompetensi Dasar (KD) bukan kurikulum nasional. SK dan KD diterjemahkan
sendiri oleh sekolah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
berbasis di sekolah. Pertanyaannya, jika kurikulum di tingkat sekolah, lalu
apakah saat ini yang menjadi dasar penulisan soal-soal ujian nasional? SK dan
KD yang berupa rangkaian kompetensi umum, bisakah ketercapaiannya secara
nasional diukur melalui ujian pilihan ganda? Apakah ujian nasional dapat
digunakan untuk menentukan ketercapaian tujuan pembelajaran?
Meskipun pemerintah seringkali
mengatakan UN dapat dijadikan rujukan untuk melihat performasi siswa dan
sekolah, tetapi secara psikologis ongkos yang harus dibayar sangat mahal
karena proses belajar mengajar seperti mati rasa. Tujuan pendidikan menjadi
manipulatif karena baik guru, siswa, orang tua, maupun birokrasi pendidikan
bekerja dan belajar untuk tujuan yang sama, yaitu kelulusan yang diukur dari
aspek kognitif. Artinya, pendidikan seperti kehilangan kegembiraannya karena
para guru dan birokrasi pendidikan tidak memiliki keyakinan bahwa pendidikan
ialah sebuah proses bukan bergantung pada hasil akhir. Jika dilihat dari
aspek itu, diperlukan langkah-langkah yang konkret dan komprehensif untuk
menyelamatkan proses pendidikan anak-anak kita.
Langkah-langkah
PP No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan ialah rujukan utama dalam meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Ke delapan standar pendidikan nasional harus dilihat
sebagai sistem secara menyeluruh dan berkaitan. Kebijakan dan peraturan yang
menyangkut standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan harus
diwujudkan dengan monitor yang konsisten dari pemerintah pusat ataupun
daerah.
Ketersediaan sarana prasarana
minimum harus merata, begitu juga keadilan pembiayaan, serta pengelolaan.
Proses belajar mengajar terstandar dan termonitor. Oleh karena itu, harus
dipastikan guru mampu menyelenggarakan proses belajar mengajar. Mulai dari
merancang sampai melakukan penilaian. Jika ke delapan standar sudah merata,
mungkin ujian nasional dapat menjadi alat ukur kualitas sekolah bahkan
pendidikan Indonesia.
Menstandarkan
anak didik melalui UN sebelum menyediakan secara nyata layanan pendidikan
dengan standar minimum yang merata ialah sebuah ketidakadilan. Meskipun
terlihat utopis, pemenuhan standar pelayanan minimum harus memperoleh
perhatian secara berkala dan berkelanjutan sehingga kebijakan pengukuran
semacam UN juga seyogianya dilakukan setelah terpenuhi standar pelayanan
minimum, seperti yang diinginkan UU kita. Semoga tim yang saat ini sedang
diberi mandat oleh menteri untuk mengevaluasi kebijakan UN dapat bekerja
secara terbuka dan objektif dalam melihat kemaslahatan UN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar