Menuju
Kebijakan Satu Peta
Ketut Wikantika ; Guru Besar Program Studi Teknik Geodesi dan
Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
(ITB)
|
KOMPAS,
21 November 2014
EMPAT tahun lalu, SBY saat masih
menjadi presiden menggagas kebijakan satu peta (one map policy) sebagai satu-satunya referensi nasional. Selama
ini, penggunaan peta dasar memang berasal dari berbagai sumber sehingga
”tumpang tindih” dalam implementasinya di lapangan. Peta yang beragam
menyebabkan inkonsistensi dan ketidaktepatan informasi, apalagi jika dibuat
”seadanya” dan tidak berasal dari sumber yang valid.
Hakikatnya kebijakan satu peta
mengandung makna satu acuan, satu standar, satu basis data, dan satu sistem.
Keempat makna tersebut mencakup aspek teknis, aspek manajemen, aspek praktis,
aspek integrasi, dan aspek domain publik (sharing dan kemudahan akses).
Dalam beberapa tahun terakhir,
istilah ini semakin ramai dibicarakan dan didiskusikan sebagai bentuk
sosialisasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), komunitas geospasial dan
lembaga terkait lainnya.
Undang-Undang Informasi
Geospasial (UUIG) No 4/2011 menjamin akses dan ketersediaan informasi
geospasial (IG) yang dapat dipertanggungjawabkan.
BIG menjadi satu-satunya lembaga
pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan Informasi Geospasial Dasar (IGD).
Informasi Geospasial Tematik (IGT) dapat diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, perorangan, ataupun pihak swasta.
IGT yang dibuat harus mengacu ke
IGD pada skala tertentu. Dengan kata lain, sebenarnya ”roh” kebijakan satu
peta sudah termaktub dalam UUIG.
Tahap selanjutnya yang jauh
lebih penting adalah bagaimana membuat regulasi-regulasi turunan, termasuk
revitalisasi kelembagaan agar penyelenggaraan IGD dan IGT baik oleh
pemerintah pusat, daerah (provinsi, kabupaten/kota), maupun perangkat desa,
dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum, keterpaduan,
kemutakhiran, dan keakuratan.
Tiga masalah besar
Kebencanaan Indonesia punya tiga
masalah besar saat ini, yaitu jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, luas
lautan melebihi luas daratan, serta ”kaya”-nya Indonesia akan bencana.
Kebutuhan penduduk yang besar dan fungsi tata ruang yang lemah memicu perubahan
fungsi lahan.
Hilangnya ruang terbuka hijau
memicu degradasi lingkungan, seperti erosi, banjir, dan berkurangnya sumber
air.
Bencana alam, seperti gempa
bumi, tsunami, dan gunung meletus, akan menyebabkan perubahan dan kerusakan
tata guna lahan. Dapat dikatakan bahwa ketiga masalah tersebut di atas akan
saling memengaruhi.
Jika dikaitkan kebijakan satu
peta dengan tiga masalah besar tersebut di atas, seyogianya kita sepakat
bahwa kebijakan tersebut mutlak diperlukan dan dilaksanakan agar semakin
berdaya guna dan berhasil guna.
Produk IGD dan IGT sangat banyak
dan tidak mungkin bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah saja sehingga perlu menggandeng pihak swasta.
Sebagai gambaran umum, peta
dasar rupa bumi skala 1 : 50.000 dan yang lebih besar saja belum selesai,
apalagi peta dasar Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan peta dasar
Lingkungan Laut Nasional (LLN)!
Oleh sebab itu, harus disiapkan
beberapa regulasi sebagai payung hukum dalam percepatan pemetaan laut dan
darat dengan memberikan peluang dan kesempatan lebih besar kepada pihak
swasta.
Belum lagi peta tematik terkait
pertanian, kehutanan, perikanan, transportasi, jaringan listrik, kepadatan
penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya.
Kita tentunya masih ingat gempa
dan tsunami Aceh 2004. Tragedi tersebut ”menginspirasi” masyarakat Indonesia
untuk ”melek” bencana dan sadar bahwa ternyata negeri ini sangat ”kaya”
bencana.
Masyarakat Indonesia juga
menjadi paham bahwa bencana Aceh ternyata dapat diketahui dampak kerusakannya
melalui produk-produk geospasial (peta, foto udara, citra satelit, dan
lain-lain) dan memunculkan kesadaran geospasial (geospatial awareness).
Dalam konteks geospatial
security (ketahanan infrastruktur geospasial) yang ditunjukkan oleh
ketersediaan produk IGD dan IGT, Indonesia termasuk negara dengan tingkat
ketahanan rendah.
Ini ditunjukkan dengan masih
sangat terbatasnya produk IGD dan IGT, terutama pada skala menengah dan skala
besar. Bandingkan dengan Jepang, kita bisa membeli produk IGD skala besar di
toko buku!
Begitu mudahnya masyarakat
Jepang mengakses produk geospasial sehingga pemahaman pentingnya IG akan
semakin cepat dan membuat setiap individu mengerti lingkungannya, baik dalam
aspek geografis, topografis, maupun karakteristik lingkungannya.
Dapat dipastikan, negara-negara
maju memiliki ketahanan infrastruktur geospasial sistematik yang seiring
dengan kesejahteraannya.
Reposisi BIG
Kebijakan satu peta bukanlah
jargon. Kebijakan ini harus diimplementasikan secara menyeluruh. BIG sebagai
pemangku kepentingan dan pengambil keputusan dalam penyelenggaraan IGD
termasuk IGT sudah sepantasnya secara proaktif memosisikannya sebagai
geospatial leader.
Dalam UUIG secara implisit sudah
dinyatakan betapa pentingnya kebijakan satu peta tersebut.
Oleh sebab itu, BIG akan
berfungsi sebagai badan yang akan memimpin lembaga terkait lainnya dalam
penyelenggaraan IGT dengan cara berkoordinasi sehingga produk-produk
geospasial dapat dipertanggungjawabkan.
Secara internal, BIG harus
cermat merevitalisasi struktur badannya agar efisien dan mampu mencapai
tujuan-tujuan UUIG, termasuk tugas pokok dan fungsi BIG.
BIG
bertanggung jawab kepada presiden dan tidak berada di bawah koordinasi
Kementerian Ristek. Ini karena BIG adalah badan implementatif, bukan lagi
dominan melakukan studi dan riset. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar