Selasa, 25 November 2014

Menuju Kebijakan Satu Peta

               Menuju Kebijakan Satu Peta

Ketut Wikantika  ;   Guru Besar Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB)
KOMPAS,  21 November 2014

                                                                                                                       


EMPAT tahun lalu, SBY saat masih menjadi presiden menggagas kebijakan satu peta (one map policy) sebagai satu-satunya referensi nasional. Selama ini, penggunaan peta dasar memang berasal dari berbagai sumber sehingga ”tumpang tindih” dalam implementasinya di lapangan. Peta yang beragam menyebabkan inkonsistensi dan ketidaktepatan informasi, apalagi jika dibuat ”seadanya” dan tidak berasal dari sumber yang valid.

Hakikatnya kebijakan satu peta mengandung makna satu acuan, satu standar, satu basis data, dan satu sistem. Keempat makna tersebut mencakup aspek teknis, aspek manajemen, aspek praktis, aspek integrasi, dan aspek domain publik (sharing dan kemudahan akses).

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ini semakin ramai dibicarakan dan didiskusikan sebagai bentuk sosialisasi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), komunitas geospasial dan lembaga terkait lainnya.

Undang-Undang Informasi Geospasial (UUIG) No 4/2011 menjamin akses dan ketersediaan informasi geospasial (IG) yang dapat dipertanggungjawabkan.
BIG menjadi satu-satunya lembaga pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan Informasi Geospasial Dasar (IGD). Informasi Geospasial Tematik (IGT) dapat diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perorangan, ataupun pihak swasta.

IGT yang dibuat harus mengacu ke IGD pada skala tertentu. Dengan kata lain, sebenarnya ”roh” kebijakan satu peta sudah termaktub dalam UUIG.
Tahap selanjutnya yang jauh lebih penting adalah bagaimana membuat regulasi-regulasi turunan, termasuk revitalisasi kelembagaan agar penyelenggaraan IGD dan IGT baik oleh pemerintah pusat, daerah (provinsi, kabupaten/kota), maupun perangkat desa, dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum, keterpaduan, kemutakhiran, dan keakuratan.

Tiga masalah besar

Kebencanaan Indonesia punya tiga masalah besar saat ini, yaitu jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, luas lautan melebihi luas daratan, serta ”kaya”-nya Indonesia akan bencana. Kebutuhan penduduk yang besar dan fungsi tata ruang yang lemah memicu perubahan fungsi lahan.
Hilangnya ruang terbuka hijau memicu degradasi lingkungan, seperti erosi, banjir, dan berkurangnya sumber air.

Bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus, akan menyebabkan perubahan dan kerusakan tata guna lahan. Dapat dikatakan bahwa ketiga masalah tersebut di atas akan saling memengaruhi.
Jika dikaitkan kebijakan satu peta dengan tiga masalah besar tersebut di atas, seyogianya kita sepakat bahwa kebijakan tersebut mutlak diperlukan dan dilaksanakan agar semakin berdaya guna dan berhasil guna.

Produk IGD dan IGT sangat banyak dan tidak mungkin bisa diselesaikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja sehingga perlu menggandeng pihak swasta.

Sebagai gambaran umum, peta dasar rupa bumi skala 1 : 50.000 dan yang lebih besar saja belum selesai, apalagi peta dasar Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan peta dasar Lingkungan Laut Nasional (LLN)!

Oleh sebab itu, harus disiapkan beberapa regulasi sebagai payung hukum dalam percepatan pemetaan laut dan darat dengan memberikan peluang dan kesempatan lebih besar kepada pihak swasta.

Belum lagi peta tematik terkait pertanian, kehutanan, perikanan, transportasi, jaringan listrik, kepadatan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya.
Kita tentunya masih ingat gempa dan tsunami Aceh 2004. Tragedi tersebut ”menginspirasi” masyarakat Indonesia untuk ”melek” bencana dan sadar bahwa ternyata negeri ini sangat ”kaya” bencana.

Masyarakat Indonesia juga menjadi paham bahwa bencana Aceh ternyata dapat diketahui dampak kerusakannya melalui produk-produk geospasial (peta, foto udara, citra satelit, dan lain-lain) dan memunculkan kesadaran geospasial (geospatial awareness).

Dalam konteks geospatial security (ketahanan infrastruktur geospasial) yang ditunjukkan oleh ketersediaan produk IGD dan IGT, Indonesia termasuk negara dengan tingkat ketahanan rendah.

Ini ditunjukkan dengan masih sangat terbatasnya produk IGD dan IGT, terutama pada skala menengah dan skala besar. Bandingkan dengan Jepang, kita bisa membeli produk IGD skala besar di toko buku!

Begitu mudahnya masyarakat Jepang mengakses produk geospasial sehingga pemahaman pentingnya IG akan semakin cepat dan membuat setiap individu mengerti lingkungannya, baik dalam aspek geografis, topografis, maupun karakteristik lingkungannya.

Dapat dipastikan, negara-negara maju memiliki ketahanan infrastruktur geospasial sistematik yang seiring dengan kesejahteraannya.

Reposisi BIG

Kebijakan satu peta bukanlah jargon. Kebijakan ini harus diimplementasikan secara menyeluruh. BIG sebagai pemangku kepentingan dan pengambil keputusan dalam penyelenggaraan IGD termasuk IGT sudah sepantasnya secara proaktif memosisikannya sebagai geospatial leader.

Dalam UUIG secara implisit sudah dinyatakan betapa pentingnya kebijakan satu peta tersebut.

Oleh sebab itu, BIG akan berfungsi sebagai badan yang akan memimpin lembaga terkait lainnya dalam penyelenggaraan IGT dengan cara berkoordinasi sehingga produk-produk geospasial dapat dipertanggungjawabkan.

Secara internal, BIG harus cermat merevitalisasi struktur badannya agar efisien dan mampu mencapai tujuan-tujuan UUIG, termasuk tugas pokok dan fungsi BIG.

BIG bertanggung jawab kepada presiden dan tidak berada di bawah koordinasi Kementerian Ristek. Ini karena BIG adalah badan implementatif, bukan lagi dominan melakukan studi dan riset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar