Rabu, 26 November 2014

Statistik Kebijakan Luar Negeri RI

                           Statistik Kebijakan Luar Negeri RI

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  26 November 2014

                                                                                                                       


PENCURIAN ikan di wilayah Indonesia dalam sepekan terakhir menjadi sangat ramai dibahas semua pihak, termasuk di antaranya komentar tentang membakar dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang kedapatan ”mengambil” ikan di wilayah Indonesia. Masalah penangkapan ikan ilegal ini mulai berdampak dalam perspektif kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Di sisi lain, kita merenung sejenak apakah betul sinyalemen Presiden Jokowi kalau Indonesia dirugikan Rp 300 triliun per tahun atas penjarahan tersebut. Pekan lalu, Presiden Jokowi secara mengejutkan memerintahkan menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan di perairan Indonesia.

Anehnya, semua pejabat tinggi setingkat menteri pun seperti mendapat angin melakukan tindakan tanpa memperhatikan nilai dan norma hukum nasional dan internasional terkait masalah ini. Kita harus memahami bahwa masalah ikan bagi negara mana pun sangat terkait erat dengan keamanan pangan dan menjadi kepentingan nasional yang tidak bisa diabaikan.

Kita khawatir, tindakan unilateral terhadap kapal-kapal ikan asing akan memengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia, tidak hanya terkait kedaulatan zona ekonomi eksklusif sesuai hukum laut internasional yang kita akui (UNCLOS), tetapi juga menghadirkan kecurigaan atas konsep poros maritim dunia yang dicanangkan Presiden Jokowi.

Ada beberapa faktor yang menjadi perhatian kita dalam persoalan ini. Pertama, terkait persoalan statistik. Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), produksi ikan Indonesia tercatat 5.420.247 ton pada tahun 2012. Adapun data yang dikeluarkan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan pada tahun 2012, volume ekspor perikanan Indonesia tercatat 1.159.349 ton. Ada selisih yang cukup besar mencapai 4.260.898 ton ikan antara data FAO dan Indonesia.

Dalam rupiah, kalau harga ikan diasumsikan Rp 15.000 per kilogram, data FAO menunjukkan penerimaan negara mencapai Rp 81,303 triliun. Dari angka ini, kita meragukan bahwa potensi kerugian Indonesia Rp 300 triliun. Kita juga meragukan selisih data FAO dan data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mencapai 4,26 juta ton ikan dikonsumsi di dalam negeri karena tidak sesuai dengan konsumsi ikan per kapita Indonesia sebesar 31,5 kg.

Kedua, perbedaan angka-angka statistik ini bisa memicu persoalan diplomatik dengan negara-negara tetangga di sekitar perairan Indonesia. Total produksi ikan Asia Tenggara dari Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam tahun 2012, menurut FAO, tercatat 15.383.095 ton atau senilai (dengan asumsi di atas) Rp 230,746 triliun. Masih ada selisih cukup besar seperti diasumsikan Presiden Jokowi.

Faktor ketiga, tanpa data statistik akurat, bisa dipastikan konsep poros maritim yang ingin dibangun Presiden Jokowi mustahil bisa selesai dalam kurun lima tahun masa jabatannya dan sulit memproyeksikan kebijakan luar negerinya. Poros maritim menata infrastruktur fisik di wilayah perairan Indonesia, harus juga memproyeksikan potensi kelautan di dalamnya.

Kita tidak bisa lagi menuduh praktik ilegal pencurian ikan hanya berasal dari luar wilayah perairan Indonesia dilakukan negara-negara tetangga di kawasan. Kita khawatir persoalan pencurian ikan lebih disebabkan kartel di dalam negeri dikendalikan industri perikanan pada umumnya.

Tanpa pembenahan masif dan struktural, persoalan pencurian ikan menjadi bumerang bagi Indonesia yang mempermalukan kedaulatan sendiri. Akibatnya, konsentrasi kebijakan luar negeri Indonesia membangun poros maritim dunia menjadi tidak berarti tanpa membenahi lingkungan domestik.

Keamanan pangan Indonesia, khususnya dari sektor perikanan, menjadi taruhan serius bersamaan dengan menurunnya kemampuan produktivitas perikanan yang ditangkap. Kita berharap Presiden Jokowi mempertimbangkan mekanisme kerja sama perikanan antarnegara bagi kesejahteraan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar