Reforma
Agraria untuk Ketahanan Pangan
Bernhard Limbong ; Doktor Hukum Pertanahan, Unpad, Bandung
|
KOMPAS,
28 November 2014
Pertanian menyediakan lapangan
kerja bagi 40 persen warga dunia yang berjumlah 7 miliar saat ini. Namun,
hampir 900 juta orang masih kelaparan setiap hari. Jumlah orang lapar akan
bertambah menjadi 2 miliar orang pada tahun 2050.
Data dunia itu berbanding lurus
dengan kondisi di Indonesia. Sektor pertanian menyediakan mata pencaharian
bagi 120 juta orang dari total 253 juta penduduk Indonesia.
Memang tidak ada data resmi,
berapa orang Indonesia yang kelaparan setiap hari, tetapi mayoritas petani,
pekebun, peternak, petambak, dan nelayan hidup dalam kemiskinan dan menghuni
sekitar 81.000 desa Indonesia saat ini.
Faktanya, kita kehilangan
kedaulatan pangan. Sebanyak 65-70 persen kebutuhan pangan nasional bergantung
pada impor, mulai dari beras, jagung, kedelai, singkong, kentang, bawang,
wortel, cabe, jeruk, pir, anggur, apel, pir, daging sapi, ikan, hingga ikan
asin dan garam.
Akibatnya, produk petani dan
nelayan tersapu produk impor. Ini persoalan sangat serius karena menyangkut
mati-hidup bagi 120 juta rakyat Indonesia yang hidup dari pertanian dan
perikanan.
Luas lahan pertanian saat ini
tinggal 13 juta hektar. Jika dibagi dengan jumlah 25 juta rumah tangga
petani, rata-rata luas lahan per petani hanya 0,3-0,4 hektar. Dari sekitar
12,5 juta rumah tangga petani (50 juta jiwa) di Pulau Jawa, 40 persennya
tidak memiliki lahan.
Di luar Jawa, ada 18 persen atau
8 juta jiwa petani tidak memiliki lahan. Sedangkan yang memiliki lahan
pertanian rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,36 hektar.
Di sisi lain, setiap tahun
konversi lahan pertanian untuk pertambangan, kawasan pabrik, industri jasa,
dan kawasan permukiman mencapai 106.000 hektar.
Data Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) menyebutkan 64,2 juta hektar tanah (33,7 persen) daratan
Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaan pertambangan gas, batubara, dan
mineral berupa izin konsesi.
Imperialisasi pangan
Tak mengherankan jika produksi
komoditas pertanian terus merosot. Akibatnya, total impor pangan tahun 2013
mencapai 70 persen dengan nilai Rp 125 triliun. Kedelai 70 persen impor dari
AS, Brasil, bahkan dari Thailand dan Malaysia.
Terigu 100 persen diimpor dari
Australia. Gula juga diimpor hingga 30 persen, susu 90 persen dari Selandia
Baru, garam 50 persen, daging sapi 30 persen. Beras diimpor dari Vietnam,
India, Tiongkok, dan Thailand sampai 2 juta ton. Impor kopi 27.000 ton.
Pasar-pasar kita diserbu sayur dan buah-buahan dari Tiongkok.
Imperialisme pangan ini membuat
petani menjual lahan produktif mereka karena hasil pertanian sudah tidak
mencukupi kebutuhan keluarga mereka hari ini yang terus bertambah. Tenaga
kerja produktif di pedesaan juga menurun tajam. Hasil Sensus Pertanian 2013
menunjukkan terjadi pengurangan hingga 5 juta keluarga petani dalam periode
10 tahun terakhir.
Padahal, UUD 1945 dan UUPA Tahun
1960 mengamanatkan, negara menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan.
Kita juga sudah memiliki payung
hukum berupa Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, diikuti PP No 1 Tahun 2011 tentang Penetapan
dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No 12 Tahun 2012
tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Reforma agraria
Tuntutan reforma agraria sejak
awal era Reformasi merupakan sebuah keniscayaan. Maka yang mendesak dilakukan
pemerintahan JKW-JK adalah melaksanakan reforma agraria.
Selain amanat Pasal 33 UUD 1945
dan UU Pokok Agraria 1960, pemerintahan baru memiliki payung hukum kuat,
yaitu Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Kisah sukses reforma agraria terjadi di Jepang, Tiongkok,
Korea Selatan, dan negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Brasil.
Reforma Agraria meliputi
aspek legal reform dan access reform. Dalam tataran
implementasi, ada sejumlah kebijakan pokok yang bisa dilakukan. Pertama, seperti
di banyak negara, lahan subur diperuntukkan bagi pembangunan sektor pangan.
Kebijakan ini harus diawasi secara ketat agar lahan subur untuk pertanian
pangan tidak beralih fungsi.
Kedua, meredistribusi tanah
untuk petani, terutama dengan memanfaatkan tanah telantar yang mencapai 8
juta hektar lebih, dengan koordinasi antara Kementerian Agraria/BPN dengan
Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Desa.
Ketiga, mewujudkan
industrialisasi pertanian, peternakan, dan perikanan, mulai dari hulu hingga
hilir sehingga memberi nilai tambah, terutama bagi kesejahteraan petani dan
nelayan. Dengan demikian, produk pangan kita bisa bersaing di pasar global
sekaligus menekan banjir pangan impor.
Keempat, mengusahakan secara
sistematis dan integratif akses permodalan, pelatihan, pendampingan, dan
penerapan teknologi tepat guna, terutama teknologi pengelolaan varietas baru
dan pasca panen, serta akses pasar.
Kelima, penyediaan infrastruktur
distribusi dan pembenahan manajemen logistik secara sungguh-sungguh. politik
anggaran (APBN dan APBD) harus berpihak pada masalah sentral-substansial ini.
Keenam, kebijakan proteksi yang
ketat terhadap produk impor pangan seperti bea masuk tinggi, hambatan
nontarif, antisubsidi, dan antidumping.
Sudah banyak negara maju, bahkan
negara-negara ASEAN, menerapkan kebijakan melindungi produk dalam negeri yang
berarti melindungi petani, peternak, dan nelayan.
Ketujuh,
politik hukum terutama penegakan hukum sebagai pilar berbagai kebijakan
ketahanan pangan berkelanjutan. Pembuatan hukum (UU) harus yang menjabarkan
nilai-nilai fundamental Pancasila dan prinsip-prinsip rule of
law dalam Konstitusi UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar