Sabtu, 29 November 2014

Reforma Agraria untuk Ketahanan Pangan

               Reforma Agraria untuk Ketahanan Pangan

Bernhard Limbong  ;   Doktor Hukum Pertanahan, Unpad, Bandung
KOMPAS,  28 November 2014

                                                                                                                       


Pertanian menyediakan lapangan kerja bagi 40 persen warga dunia yang berjumlah 7 miliar saat ini. Namun, hampir 900 juta orang masih kelaparan setiap hari. Jumlah orang lapar akan bertambah menjadi 2 miliar orang pada tahun 2050.

Data dunia itu berbanding lurus dengan kondisi di Indonesia. Sektor pertanian menyediakan mata pencaharian bagi 120 juta orang dari total 253 juta penduduk Indonesia.

Memang tidak ada data resmi, berapa orang Indonesia yang kelaparan setiap hari, tetapi mayoritas petani, pekebun, peternak, petambak, dan nelayan hidup dalam kemiskinan dan menghuni sekitar 81.000 desa Indonesia saat ini.
Faktanya, kita kehilangan kedaulatan pangan. Sebanyak 65-70 persen kebutuhan pangan nasional bergantung pada impor, mulai dari beras, jagung, kedelai, singkong, kentang, bawang, wortel, cabe, jeruk, pir, anggur, apel, pir, daging sapi, ikan, hingga ikan asin dan garam.

Akibatnya, produk petani dan nelayan tersapu produk impor. Ini persoalan sangat serius karena menyangkut mati-hidup bagi 120 juta rakyat Indonesia yang hidup dari pertanian dan perikanan.

Luas lahan pertanian saat ini tinggal 13 juta hektar. Jika dibagi dengan jumlah 25 juta rumah tangga petani, rata-rata luas lahan per petani hanya 0,3-0,4 hektar. Dari sekitar 12,5 juta rumah tangga petani (50 juta jiwa) di Pulau Jawa, 40 persennya tidak memiliki lahan.

Di luar Jawa, ada 18 persen atau 8 juta jiwa petani tidak memiliki lahan. Sedangkan yang memiliki lahan pertanian rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,36 hektar.

Di sisi lain, setiap tahun konversi lahan pertanian untuk pertambangan, kawasan pabrik, industri jasa, dan kawasan permukiman mencapai 106.000 hektar.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan 64,2 juta hektar tanah (33,7 persen) daratan Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaan pertambangan gas, batubara, dan mineral berupa izin konsesi.

Imperialisasi pangan

Tak mengherankan jika produksi komoditas pertanian terus merosot. Akibatnya, total impor pangan tahun 2013 mencapai 70 persen dengan nilai Rp 125 triliun. Kedelai 70 persen impor dari AS, Brasil, bahkan dari Thailand dan Malaysia.
Terigu 100 persen diimpor dari Australia. Gula juga diimpor hingga 30 persen, susu 90 persen dari Selandia Baru, garam 50 persen, daging sapi 30 persen. Beras diimpor dari Vietnam, India, Tiongkok, dan Thailand sampai 2 juta ton. Impor kopi 27.000 ton. Pasar-pasar kita diserbu sayur dan buah-buahan dari Tiongkok.

Imperialisme pangan ini membuat petani menjual lahan produktif mereka karena hasil pertanian sudah tidak mencukupi kebutuhan keluarga mereka hari ini yang terus bertambah. Tenaga kerja produktif di pedesaan juga menurun tajam. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan terjadi pengurangan hingga 5 juta keluarga petani dalam periode 10 tahun terakhir.

Padahal, UUD 1945 dan UUPA Tahun 1960 mengamanatkan, negara menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.

Kita juga sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diikuti PP No 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Reforma agraria

Tuntutan reforma agraria sejak awal era Reformasi merupakan sebuah keniscayaan. Maka yang mendesak dilakukan pemerintahan JKW-JK adalah melaksanakan reforma agraria.

Selain amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960, pemerintahan baru memiliki payung hukum kuat, yaitu Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kisah sukses reforma agraria terjadi di Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Brasil.

Reforma Agraria meliputi aspek legal reform dan access reform. Dalam tataran implementasi, ada sejumlah kebijakan pokok yang bisa dilakukan. Pertama, seperti di banyak negara, lahan subur diperuntukkan bagi pembangunan sektor pangan. Kebijakan ini harus diawasi secara ketat agar lahan subur untuk pertanian pangan tidak beralih fungsi.

Kedua, meredistribusi tanah untuk petani, terutama dengan memanfaatkan tanah telantar yang mencapai 8 juta hektar lebih, dengan koordinasi antara Kementerian Agraria/BPN dengan Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Desa.

Ketiga, mewujudkan industrialisasi pertanian, peternakan, dan perikanan, mulai dari hulu hingga hilir sehingga memberi nilai tambah, terutama bagi kesejahteraan petani dan nelayan. Dengan demikian, produk pangan kita bisa bersaing di pasar global sekaligus menekan banjir pangan impor.

Keempat, mengusahakan secara sistematis dan integratif akses permodalan, pelatihan, pendampingan, dan penerapan teknologi tepat guna, terutama teknologi pengelolaan varietas baru dan pasca panen, serta akses pasar.
Kelima, penyediaan infrastruktur distribusi dan pembenahan manajemen logistik secara sungguh-sungguh. politik anggaran (APBN dan APBD) harus berpihak pada masalah sentral-substansial ini.

Keenam, kebijakan proteksi yang ketat terhadap produk impor pangan seperti bea masuk tinggi, hambatan nontarif, antisubsidi, dan antidumping.
Sudah banyak negara maju, bahkan negara-negara ASEAN, menerapkan kebijakan melindungi produk dalam negeri yang berarti melindungi petani, peternak, dan nelayan.

Ketujuh, politik hukum terutama penegakan hukum sebagai pilar berbagai kebijakan ketahanan pangan berkelanjutan. Pembuatan hukum (UU) harus yang menjabarkan nilai-nilai fundamental Pancasila dan prinsip-prinsip rule of law dalam Konstitusi UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar