Kartel
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 13 November 2014
Dalam dunia bisnis, kartel adalah praktik terlarang. Larangan
ini bukan hanya berlaku di negara kita, tetapi juga di dunia. Kita
melarangnya melalui UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Antimonopoli.
Pasal 11 UU ini menegaskan bahwa kartel termasuk kategori
perjanjian yang dilarang. Apa sebetulnya kartel? Sederhananya begini. Para
pelaku usaha dalam industri tertentu melakukan perjanjian atau bersekongkol
untuk memengaruhi harga. Mereka bisa mengatur volume produksi, jalur
pemasarannya, atau keduanya sekaligus.
Anda tentu bisa menduga akhirnya, pilihan masyarakat untuk
mendapatkan barang berkualitas dengan harga yang baik hilang,
pendatang-pendatang baru dalam bisnis cepat dibuat keluar, harga jual barang
kebutuhan pokok jadi mahal, lalu untuk melindungi kekuatannya mereka harus
menyuap aparat, terjadi korupsi, manipulasi penegakan hukum, dan seterusnya.
Salah satu praktik kartel yang pernah terungkap adalah kartel
tarif SMS yang disangkakan pernah dilakukan operator telekomunikasi di Tanah
Air, juga bawang putih, cengkeh, ban, garam, dan ternak sapi. Saya menilai
praktik kartel semacam ini jahat-jahat terselubung. Kelihatannya baikbaik
saja, seakan bukan kejahatan besar, tapi efeknya besar.
Kita harus membayar jauh di atas harga normal tanpa sadar karena
tidak punya harga referensi. Kita tidak tahu ”berapa harga yang normal itu”
sampai kita bisa melihat di luar negeri yang pasarnya tak sebesar kita
(artinya di sini mereka bisa lebih efisien karena memperoleh skala ekonomis),
harganya tak setinggi itu. Tengok saja harga bawang putih. Dalam kondisi
normal, harganya tak sampai Rp20.000/ kg.
Ketika kartel bermain, harganya bisa mencapai Rp85.000.
Demikianjugasaat BBPC menguasai pembelian cengkeh dari petani, harga petani
hancur, tapi mereka bisa jual dengan harga mahal kepada produsen rokok.
Akibatnya perkebunan cengkeh rakyat yang dulu menjadi andalan kehidupan di
Sulawesi Utara dan Aceh hancur tak terurus hingga sekarang.
Celakanya tak mudah untuk mengusut praktik ini. Maaf, ibarat
buang angin, baunya tercium, tetapi wujudnya tak terlihat. Kita hanya bisa
merasakan dampaknya yang tidak menyenangkan.
Bisnis ke Politik
Mungkin karena terpikat oleh tingginya keuntungan, praktik
kartel pun masuk ke dalam kancah politik. Kita bisa merasakannya kalau rajin
ikut rapat dengar pendapat antara politisi dengan menteri yang membawa deputi
atau pejabat yang mengurus perizinan.
Ini membuat dialog tak bermutu, penuh tekanan, dan Anda tentu
tahu ke mana tujuannya. Di koran mereka sering berkata tak takut dipecat
partainya walau menekan kabinet yang diusung partai sendiri. Alasan besarnya:
demi rakyat. Padahal, itu bohong besar. Yang benar: demi periuk bisnis
sendiri.
Partai-partai politik semestinya bersandar pada ideologi yang
mereka anut. Namun itu tak terjadi di negara kita. Mereka kerap kali
menempatkan kepentingan jangka pendek. Itu terlihat ketika partai-partai
politik yang ada di DPR bersekongkol untuk melengserkan presiden yang ketika
itu tengah berkuasa. Bahkan ada yang mengaku menjadi bandar para operator
mesin media sosial pemeras yang baru-baru ini ditangkap polisi.
Kita juga melihat praktik kartel terjadi ketika partai-partai
itu melakukan berbagai cara agar alokasi anggaran belanja pemerintah atau
proyek-proyek mengalir ke mereka. Kita mengenalnya dengan sebutan ”mafia
anggaran”. Mungkin karena cara-caranya tidak cerdas atau terlalu bernafsu,
sebagian bisa terungkap.
Kita bisa menyaksikan sejumlah anggota DPR, para menteri, dan
petinggi partai yang kena jerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian
sudah divonis, sebagian lainnya ada yang masih menunggu proses persidangan.
Para pelaku kartel juga berusaha sekuat tenaga untuk mencegah masuknya
pendatang-pendatang baru.
Di kancah politik, mereka merancang berbagai regulasi guna
mempersulit masuknya partai-partai baru dan gusar saat memilih calon
komisioner KPK atau hakim agung. Orang yang baik digoreng habis-habisan tak
diluluskan. Entahlah kalau pikiran kartel ini juga ada di kalangan pendidik
saat memilih pemimpin- pemimpinnya. Banyak orang lugu atau berpura-pura lugu
yang mudah dikendalikan kartel.
Konflik dan fitnah bisa dipakai sebagai cara untuk membuat
kartel bekerja efektif. Akibat ulah kartel, siapa pun yang dipercaya akan
sulit menjalankan fungsi pengawasan. Itu, misalnya, terjadi pada DPR periode
2009-2014.
Ketika itu mayoritas partai yang ada di DPR menjadi pendukung
pemerintah. Kita tahu, dukungan semacam ini tidak pernah gratis. Ada
harganya. Di antaranya dengan menjadi pemburu rente untuk proyek-proyek
pemerintah yang ada di APBN.
Kartel vs Perubahan
Bagi pemimpin yang ingin melakukan perubahan, mereka pun harus
berhadapan dengan kuatnya kartel di lingkungan internal organisasi. Saya bisa
mencium baunya. Misalnya, saya sangat menghargai gagasan Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) dengan mewajibkan pejabat-pejabat di bawahnya untuk
menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ke KPK.
Saya juga sangat suka dengan gagasannya untuk membatasi
transaksi tunai maksimal Rp 25 juta di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Saya juga melihat dampak strategis jika e-budgeting benar-benar diterapkan
Pemprov DKI Jakarta. Jelas tak semua karyawan di lingkungan internal Pemprov
DKI menyukai gagasan Ahok.
Selain di lingkungan Pemprov, saya juga merasakannya betapa tak
semua partai atau anggota DPRD yang setuju dengannya. Preman berjubah agama
saja gusar. Begitu pula para pengusaha atau perusahaan yang selama ini
menjadi pemasok atau kontraktor untuk proyek-proyek di lingkungan Pemprov
bakal mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya.
Gaya Ahok dalam memimpin DKI tak sesuai dengan selera mereka.
Kita yang berada di luar kemudian bisa merasakan bentuk-bentuk penolakan
tersebut. Misalnya aksi-aksi demo yang menentang kepemimpinannya. Di
lingkungan perusahaan swasta atau BUMN, praktik-praktik kartel yang dilakukan
kalangan internal pun terjadi.
Misalnya, saya merasakan betul tekanan yang dihadapi RJ Lino
ketika ingin mereformasi perusahaan yang dipimpinnya, PT Pelabuhan Indonesia
II (yang kini berganti nama menjadi PT Indonesia Port Corporation). Bahkan,
Lino harus menghadapi ancaman pemogokan karyawan.
Di lingkungan penegak hukum, ini yang sangat memprihatinkan,
praktik kartel pun terjadi. Kita mengenalnya dengan istilah ”mafia
kepolisian”, ”mafia perkara” atau ”mafia peradilan.” Belakangan di media
cetak kita membaca ramainya komentar soal siapa kandidat yang layak dipilih
menjadi Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan sebagian komentar,
menurut saya, sudah sangat keterlaluan. Sangat mendikte.
Melihat begitu luasnya praktik-praktik kartel ini, saya melihat
urgensinya kita untuk betul-betul melakukan revolusi mental. Maksudnya, tak
perlu menunggu aba-aba dari pemerintah atau Presiden Jokowi, tetapi kita
lakukan saja. Ayo! Jangan pelihara sekecil apa pun di mana pun kita berada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar