Roadmap
Pengurangan Subsidi BBM
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
(IEI)
|
REPUBLIKA,
24 November 2014
Pemerintah
telah memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar 30
persen dari harga semula. Subsidi BBM merupakan salah satu isu yang paling
"panas" yang dihadapi pemerintahan baru.
Bahkan,
sebelumnya pemerintah diragukan akan mengambil keputusan kenaikan harga BBM
ini. Terlebih, sejak Juni 2014, tren harga minyak mentah dunia mengalami
penurunan, seperti yang telah saya bahas pada bulan lalu (Republika, 27 Oktober 2014).
Keberadaan
subsidi BBM yang sangat besar menjadi salah satu faktor penyebab bagi tidak
sehatnya fiskal kita. Pada 2013, subsidi BBM mencapai sekitar Rp 200 triliun
atau sekitar tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2014,
subsidi BBM meningkat lagi menjadi Rp 246,5 triliun. Bila subsidi BBM ini
ditambahkan dengan subsidi listrik, subsidi energi pada 2014 diperkirakan
mencapai Rp 350,3 triliun atau sebesar 232 persennya dibandingkan belanja
modal yang mencapai Rp 151 triliun.
Pascakebijakan
kenaikan harga BBM bersubsidi ini, yang paling penting adalah bagaimana agar
program pengurangan subsidi BBM dapat berjalan secara konsisten dengan
pendekatan yang komprehensif sehingga dampak sosial ekonominya bisa ditekan
sekecil mungkin. Sebab, kebijakan pengurangan subsidi BBM melalui kebijakan
harga memang akan selalu menimbulkan polemik bila upaya pengurangan subsidi BBM
di luar kenaikan harga belum ada kemajuan berarti.
Dulu,
pemerintah memiliki rencana untuk mengurangi subsidi BBM melalui pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi. Sayangnya, program ini tidak berjalan. Pemerintah
juga memiliki program konversi BBM ke gas untuk sektor transportasi. Program
konversi ke gas ini pun juga tidak jelas nasibnya. Berbagai rencana
pengurangan subsidi BBM yang tidak berjalan inilah yang menyebabkan
masyarakat masih skeptis terhadap kebijakan kenaikan harga BBM.
Padahal,
kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan kebijakan
pengurangan subsidi BBM lainnya. Karena itu, pemerintah semestinya menyadari
bahwa kini tidak lagi memiliki ruang untuk tidak menjalankan berbagai program
pengurangan subsidi BBM di luar kebijakan kenaikan harga BBM.
Presiden
Joko Widodo pernah menyatakan keinginannya untuk mengalihkan sektor
transportasi ke gas. Presiden Jokowi menargetkan ‘ambisinya’ untuk
mengonversi sebesar 30 persen dari penggunaan BBM ke gas untuk sektor
transportasi, yang berarti dapat diterjemahkan akan ada permintaan gas
tambahan sekitar 1.445 mmcfd (250 ribu barel per hari ekuivalen minyak) jika
rencana tersebut direalisasikan secara penuh meskipun belum jelas jadwal
pelaksanaannya.
Program
ini merupakan proyek dengan magnitude yang besar. Saya berpendapat, proyek
ini bisa menjadi momentum sebagai tanda keseriusan pemerintah untuk
mengurangi subsidi BBM secara komprehensif. Tentunya, diperlukan
langkah-langkah yang komprehensif untuk implementasinya. Faktanya adalah sekitar
59 persen pengguna BBM berada di Jawa dan Bali sedangkan sumber gas sebagian
besar ada di luar Jawa dan Bali. Untuk memasok kebutuhan gas Jawa dan Bali
dari luar Jawa tidak mudah. Kita membutuhkan terminal regasifikasi LNG, kapal
LNG, transmisi gas, dan fasilitas SPBG yang pastinya membutuhkan investasi
besar.
Seiring
dengan semakin tingginya laju urbanisasi, tentunya perkembangan ini akan
mendorong pertumbuhan yang signifikan alat-alat transportasi di kota-kota
besar dan tentunya membutuhkan dukungan bahan bakar yang cukup. Saya
berpendapat, penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi, khususnya
di kota-kota besar, merupakan pilihan yang atraktif karena selain dapat
mengurangi subsidi, juga meningkatkan kualitas udara. Penggunaan BBG telah sukses
dipraktikkan di sejumlah kota di Asia, seperti New Delhi, Mumbai, dan
Bangkok.
Di
Indonesia, penggunaan BBG memerlukan pendekatan yang terintegrasi dengan
menggabungkan beberapa elemen, seperti (i) insentif ekonomi bagi konsumen,
produsen, dan penjual, serta harga yang optimal diperlukan sebagai kompensasi
kepada konsumen atas biaya investasi yang dikeluarkannya untuk mengubah
komponen kendaraannya, (ii) produsen dan supplier mendapatkan tingkat
pengembalian investasi yang cukup, (iii) penjual memperoleh margin keuntungan
yang cukup, (iv) dukungan regulasi yang mewajibkan adanya perubahan ke BBG
untuk alat-alat transportasi, dan (v) menyiapkan infrastruktur penting untuk
memungkinkan kegiatan pemasangan converter kits dapat dilakukan serta
pembangunan SPBG.
Salah
satu tantangan terbesar kita sebagai negara kepulauan adalah mengangkut
barang dan orang melintasi seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini membutuhkan
dukungan perkapalan yang besar dan kebutuhan konsumsi bahan bakar yang besar
pula. Melalui percepatan penerapan teknologi maju di bidang mini dan mikro
LNG, Indonesia dapat mengonversi sebagian besar kapal domestik dari BBM ke
LNG. Diperlukan aksi yang terkoordinasi karena fasilitas pengisian LNG perlu
didirikan di pelabuhan-pelabuhan utama. Pemerintah juga perlu memberikan
insentif kepada operator perkapalan dan memberikan dukungan regulasi agar
fasilitas pengisian LNG dapat ditempatkan bagi kepentingan industri.
Tak
kalah strategis dengan program konversi gas di atas, updgrading kilang minyak
juga harus segera dilakukan. Kapasitas dan kualitas kilang minyak kita sangat
rendah sehingga produksi BBM yang dihasilkan juga rendah. Kondisi ini pada
akhirnya menyebabkan impor BBM terus meningkat di tengah semakin meningkatnya
kebutuhan BBM. Tingkat losses kilang kita juga tinggi karena kilang tua dan
tidak efisien yang berujung pada tingginya biaya produksi BBM dan tingginya
subsidi BBM. Kondisi kilang inilah yang juga menyebabkan relatif lebih
mahalnya harga BBM di Indonesia dibanding di negara lain.
Untuk
meningkatkan competitiveness, kilang perlu di-upgrade secara signifikan.
Kilang baru atau kilang hasil upgrading harus diarahkan untuk mengolah sour
crude, bukan low sulfur sebagaimana yang diolah oleh sebagian besar kilang
yang kita miliki saat ini agar margin kilang meningkat. Ketersediaan minyak
mentah jenis low sulfur (sweet crude) juga semakin terbatas karena
produksinya yang menurun. Di samping itu, crude availability dari sour crude
juga lebih terjamin karena produksinya di dunia sangat besar dan harga sour
crude juga lebih murah.
Berdasarkan
penjelasannya, pemerintah kini memiliki dana hasil pengalihan subsidi BBM
sekitar Rp 9 triliun untuk 2014 dan Rp 140 triliun untuk 2015. Jumlah yang
tentunya besar, lebih dari cukup untuk dialokasikan pada kegiatan dan
investasi pemerintah yang strategis seperti saya sebut di atas.
Di
sinilah letak strategisnya bagi pemerintah untuk membuktikan kepada
masyarakat bahwa pemerintah saat ini serius melakukan pengalihan subsidi BBM.
Sebab, pengalihan subsidi BBM yang setengah-setengah atau bahkan retorika
akan sulit membangun kepercayaan bahwa pemerintah serius menyehatkan struktur
APBN.
Kita mendukung pemerintah untuk serius melakukan pembenahan secara
mendasar terkait dengan energi, khususnya yang terkait dengan pengurangan
subsidi BBM ini. Semoga gagasan besar tidak terkalahkan oleh kepentingan
pragmatis semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar