Kamis, 27 November 2014

Roadmap Pengurangan Subsidi BBM

                        Roadmap Pengurangan Subsidi BBM

Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA,  24 November 2014

                                                                                                                       


Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar 30 persen dari harga semula. Subsidi BBM merupakan salah satu isu yang paling "panas" yang dihadapi pemerintahan baru.

Bahkan, sebelumnya pemerintah diragukan akan mengambil keputusan kenaikan harga BBM ini. Terlebih, sejak Juni 2014, tren harga minyak mentah dunia mengalami penurunan, seperti yang telah saya bahas pada bulan lalu (Republika, 27 Oktober 2014).

Keberadaan subsidi BBM yang sangat besar menjadi salah satu faktor penyebab bagi tidak sehatnya fiskal kita. Pada 2013, subsidi BBM mencapai sekitar Rp 200 triliun atau sekitar tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2014, subsidi BBM meningkat lagi menjadi Rp 246,5 triliun. Bila subsidi BBM ini ditambahkan dengan subsidi listrik, subsidi energi pada 2014 diperkirakan mencapai Rp 350,3 triliun atau sebesar 232 persennya dibandingkan belanja modal yang mencapai Rp 151 triliun.

Pascakebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi ini, yang paling penting adalah bagaimana agar program pengurangan subsidi BBM dapat berjalan secara konsisten dengan pendekatan yang komprehensif sehingga dampak sosial ekonominya bisa ditekan sekecil mungkin. Sebab, kebijakan pengurangan subsidi BBM melalui kebijakan harga memang akan selalu menimbulkan polemik bila upaya pengurangan subsidi BBM di luar kenaikan harga belum ada kemajuan berarti.

Dulu, pemerintah memiliki rencana untuk mengurangi subsidi BBM melalui pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Sayangnya, program ini tidak berjalan. Pemerintah juga memiliki program konversi BBM ke gas untuk sektor transportasi. Program konversi ke gas ini pun juga tidak jelas nasibnya. Berbagai rencana pengurangan subsidi BBM yang tidak berjalan inilah yang menyebabkan masyarakat masih skeptis terhadap kebijakan kenaikan harga BBM.

Padahal, kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang terintegrasi dengan kebijakan pengurangan subsidi BBM lainnya. Karena itu, pemerintah semestinya menyadari bahwa kini tidak lagi memiliki ruang untuk tidak menjalankan berbagai program pengurangan subsidi BBM di luar kebijakan kenaikan harga BBM.

Presiden Joko Widodo pernah menyatakan keinginannya untuk mengalihkan sektor transportasi ke gas. Presiden Jokowi menargetkan ‘ambisinya’ untuk mengonversi sebesar 30 persen dari penggunaan BBM ke gas untuk sektor transportasi, yang berarti dapat diterjemahkan akan ada permintaan gas tambahan sekitar 1.445 mmcfd (250 ribu barel per hari ekuivalen minyak) jika rencana tersebut direalisasikan secara penuh meskipun belum jelas jadwal pelaksanaannya.

Program ini merupakan proyek dengan magnitude yang besar. Saya berpendapat, proyek ini bisa menjadi momentum sebagai tanda keseriusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM secara komprehensif. Tentunya, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif untuk implementasinya. Faktanya adalah sekitar 59 persen pengguna BBM berada di Jawa dan Bali sedangkan sumber gas sebagian besar ada di luar Jawa dan Bali. Untuk memasok kebutuhan gas Jawa dan Bali dari luar Jawa tidak mudah. Kita membutuhkan terminal regasifikasi LNG, kapal LNG, transmisi gas, dan fasilitas SPBG yang pastinya membutuhkan investasi besar.

Seiring dengan semakin tingginya laju urbanisasi, tentunya perkembangan ini akan mendorong pertumbuhan yang signifikan alat-alat transportasi di kota-kota besar dan tentunya membutuhkan dukungan bahan bakar yang cukup. Saya berpendapat, penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi, khususnya di kota-kota besar, merupakan pilihan yang atraktif karena selain dapat mengurangi subsidi, juga meningkatkan kualitas udara. Penggunaan BBG telah sukses dipraktikkan di sejumlah kota di Asia, seperti New Delhi, Mumbai, dan Bangkok.

Di Indonesia, penggunaan BBG memerlukan pendekatan yang terintegrasi dengan menggabungkan beberapa elemen, seperti (i) insentif ekonomi bagi konsumen, produsen, dan penjual, serta harga yang optimal diperlukan sebagai kompensasi kepada konsumen atas biaya investasi yang dikeluarkannya untuk mengubah komponen kendaraannya, (ii) produsen dan supplier mendapatkan tingkat pengembalian investasi yang cukup, (iii) penjual memperoleh margin keuntungan yang cukup, (iv) dukungan regulasi yang mewajibkan adanya perubahan ke BBG untuk alat-alat transportasi, dan (v) menyiapkan infrastruktur penting untuk memungkinkan kegiatan pemasangan converter kits dapat dilakukan serta pembangunan SPBG.

Salah satu tantangan terbesar kita sebagai negara kepulauan adalah mengangkut barang dan orang melintasi seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini membutuhkan dukungan perkapalan yang besar dan kebutuhan konsumsi bahan bakar yang besar pula. Melalui percepatan penerapan teknologi maju di bidang mini dan mikro LNG, Indonesia dapat mengonversi sebagian besar kapal domestik dari BBM ke LNG. Diperlukan aksi yang terkoordinasi karena fasilitas pengisian LNG perlu didirikan di pelabuhan-pelabuhan utama. Pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada operator perkapalan dan memberikan dukungan regulasi agar fasilitas pengisian LNG dapat ditempatkan bagi kepentingan industri.

Tak kalah strategis dengan program konversi gas di atas, updgrading kilang minyak juga harus segera dilakukan. Kapasitas dan kualitas kilang minyak kita sangat rendah sehingga produksi BBM yang dihasilkan juga rendah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan impor BBM terus meningkat di tengah semakin meningkatnya kebutuhan BBM. Tingkat losses kilang kita juga tinggi karena kilang tua dan tidak efisien yang berujung pada tingginya biaya produksi BBM dan tingginya subsidi BBM. Kondisi kilang inilah yang juga menyebabkan relatif lebih mahalnya harga BBM di Indonesia dibanding di negara lain.

Untuk meningkatkan competitiveness, kilang perlu di-upgrade secara signifikan. Kilang baru atau kilang hasil upgrading harus diarahkan untuk mengolah sour crude, bukan low sulfur sebagaimana yang diolah oleh sebagian besar kilang yang kita miliki saat ini agar margin kilang meningkat. Ketersediaan minyak mentah jenis low sulfur (sweet crude) juga semakin terbatas karena produksinya yang menurun. Di samping itu, crude availability dari sour crude juga lebih terjamin karena produksinya di dunia sangat besar dan harga sour crude juga lebih murah.

Berdasarkan penjelasannya, pemerintah kini memiliki dana hasil pengalihan subsidi BBM sekitar Rp 9 triliun untuk 2014 dan Rp 140 triliun untuk 2015. Jumlah yang tentunya besar, lebih dari cukup untuk dialokasikan pada kegiatan dan investasi pemerintah yang strategis seperti saya sebut di atas.

Di sinilah letak strategisnya bagi pemerintah untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa pemerintah saat ini serius melakukan pengalihan subsidi BBM. Sebab, pengalihan subsidi BBM yang setengah-setengah atau bahkan retorika akan sulit membangun kepercayaan bahwa pemerintah serius menyehatkan struktur APBN.

Kita mendukung pemerintah untuk serius melakukan pembenahan secara mendasar terkait dengan energi, khususnya yang terkait dengan pengurangan subsidi BBM ini. Semoga gagasan besar tidak terkalahkan oleh kepentingan pragmatis semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar