Ironi
Timnas dan Bisnis Sepak Bola Kita
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 28 November 2014
TIM
nasional (timnas) sepak bola kita mengalami kekalahan tragis saat berhadapan
dengan tim Filipina. Kesebelasan Filipina yang selama ini belum pernah
mengalahkan Indonesia berhasil mencukur tim Garuda 4-0 dalam pertandingan
kedua babak penyisihan Piala ASEAN Football Federation (AFF) di Stadion
Nasional My Dình, Hanoi, Vietnam (25/11). Kekalahan yang mengejutkan tersebut
menjadi tamparan keras bagi pengelolaan persepakbolaan di tanah air.
Inikah
buah hiruk-pikuk kepengurusan PSSI yang selama ini sering bergejolak? Sudah
pasti bahwa manajemen PSSI yang sarat kepentingan politik berdampak terhadap
spirit serta moral pemain. Sungguh ironis jika dunia sepak bola kita masih
dikelola dengan hegemoni politik dan kekuasaan. Di banyak negara, sepak bola
sudah begitu maju karena tata kelola organisasinya sudah mirip pengelolaan
korporasi yang kredibel. Hanya di Indonesia yang sering terjadi perebutan
jabatan organisasi dengan intrik-intrik politik.
Akibatnya,
organisasi semacam PSSI tidak lagi berfokus mengembangkan diri sebagai
pencetak pemain profesional berkelas internasional, tetapi cenderung sibuk
dengan pola-pola organisasi Orde Baru yang hanya mengandalkan dana APBN dalam
aksi-aksinya. Padahal, PSSI memiliki potensi yang besar untuk berubah menjadi
sebuah perusahaan (mirip BUMN) yang memproduksi pemain-pemain berbakat yang
direkrut sejak dini dari berbagai daerah di tanah air.
Misalnya,
ketika tim Garuda sempat maju ke final Piala AFF Suzuki 2010 di Gelora Bung
Karno melawan Malaysia, penjualan kaus/kostum pemain berlogo Garuda di
berbagai kota meningkat tajam. Iklan produk di stadion pertandingan dan di
televisi yang ditunjuk penyelenggara pun sangat laris. Bahkan, momen final
itu sempat menjadi sarana strategis bagi politisi untuk personal and institutional branding. Artinya, PSSI sangat
berpeluang menjadi perusahaan yang mampu berpendapatan besar untuk membiayai
program pembinaan pemain.
Sayangnya,
PSSI kurang terbuka ke publik soal sistem tata kelola, regenerasi pengurus,
dan penggunaan anggaran. Sebagai milik publik, PSSI sudah saatnya dipimpin
orang-orang berjiwa entrepreneur seperti sebagian menteri dalam Kabinet Kerja
Presiden Jokowi saat ini. PSSI butuh sosok seperti mantan Menteri BUMN Dahlan
Iskan yang telah berhasil mengubah kultur BUMN jauh lebih profesional dan
lepas dari intervensi politik. PSSI pun sudah saatnya dikelola kaum pebisnis,
bukan birokrat.
Sudah
saatnya PSSI dibangun berdasar prinsip tata kelola yang transparan serta
akuntabel dalam membangun spirit para pemain plus kepercayaan publik. Kejujuran
dan transparansi di internal PSSI tentu bakal terlihat pada pelaporannya
kepada pemerintah dan masyarakat terkait dengan penggunaan anggaran, serta
pengelolaan pendapatan dari tiket dan iklan, relasi bisnis, serta pelayanan
customer (penonton). Naiknya martabat sepak bola kita di mata dunia
bergantung pada integritas dan tata kelola yang diterapkan di PSSI.
Ketika
publik sudah tidak percaya kepada PSSI, mentalitas dan prestasi pemain timnas
pun akan terus menurun. Pemain terbaik hanya bisa lahir dari tata kelola
organisasi yang berintegritas tinggi. Karena itu, melalui penerapan prinsip good corporate governance, PSSI
diharapkan mampu meningkatkan efisiensi serta efektivitas kontribusi kepada
kesejahteraan dan prestasi pemain. Selain itu, PSSI yang dikelola dengan
karakter bisnis bisa meningkatkan legitimasi organisasi lewat tata kelola
yang terbuka, adil, dan bertanggung jawab.
Dengan
begitu, keinginan publik atas permainan sepak bola yang cantik dan
profesional bisa terpenuhi. Apalagi PSSI yang sudah berdiri berpuluh-puluh
tahun seharusnya banyak belajar dari kesalahan manajerial pada masa lalu.
Jangan sampai ketika prestasi timnas sedang di ujung mata, manajemen PSSI
justru kelabakan dalam mengelolanya. Misalnya, kasus pembelian tiket yang
harus berebut dan berdesak-desakan. Dalam kegiatan bisnis, penonton yang
berlimpah ruah itu merupakan peluang bisnis yang besar.
Jangan
pula para pencinta sepak bola hanya bisa pasrah ketika terjadi kesalahan
manajerial di internal PSSI dan panitia. Apa pun keputusan PSSI seolah
mengharuskan konsumen (penonton) hanya bisa memakluminya sebagai ciri khas
tata kelola yang amburadul. Kondisi penjualan tiket dan situasi di gedung
saat pertandingan menimbulkan ragam pertanyaan tentang penggunaan anggaran
PSSI plus dana dari hasil penjualan tiket/iklan dalam setiap pertandingan.
Apa saja produktivitas penggunaan anggaran itu selama puluhan tahun?
Misalnya
lagi, PSSI dan panitia belum bisa memprediksi lonjakan jumlah penonton yang
muncul seiring dengan prestasi timnas yang (misalnya) tiba-tiba gemilang.
Pengajuan anggaran pun tidak cukup hanya terfokus untuk biaya operasi PSSI
dan penyelenggaraan pertandingan, tetapi juga untuk peningkatan kapasitas
gedung, prospek pemasangan iklan, serta kenyamanan penonton. Sebagai olahraga
yang dibiayai APBN, jangan sampai persepakbolaan kita terus mengecewakan
publik atas kinerja dan manajemen PSSI yang buruk.
Karena itu, demi pesta rakyat (menonton sepak bola) pada masa
mendatang, pemerintah dan PSSI perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar
untuk pembinaan para pemain. Juga, memilih pengurus PSSI yang berintegritas
tanpa diwarnai intrik-intrik politik dalam proses pemilihannya. Jika syarat
calon PNS saja harus memiliki surat keterangan bersih diri dari kepolisian
(disebut SKCK), untuk pengurus PSSI pun, tidak boleh ada yang cacat
hukum/etika. Manajemen PSSI yang penuh integritas niscaya bisa mencetak
timnas berkelas dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar