Seni,
Budaya, Kaum Muda, dan Budhi (1)
Sys NS ; Pendiri Mufakat Budaya Indonesia, Seniman
|
KORAN
SINDO, 28 November 2014
Perkembangan
peradaban suatu bangsa salah satunya tercermin dari perkembangan serta
kualitas seni dan budayanya. Tak dapat disangkal bahwa kualitas seni dan
budaya sangat terkait dengan kaum muda.
Baik
dalam konteks kaum muda sebagai suatu generasi baru yang bakal tumbuh dan
berkembang sebagai pemimpin kemudian hari maupun kaum muda sebagai bagian
yang paling dinamis dari keseluruhan komposisi masyarakat dan bangsa. Sesuai
komitmen seniman dunia ”Arts is long, life is short,” otomatis, perkembangan
seni budaya tidak akan bisa dilepaskan kaitannya dengan kaum muda.
Sejarah
peradaban manusia menunjukkan, kaum muda merupakan potensi kreator dan
inovator yang mampu melakukan proses perubahan serta dinamisasi terhadap
karya-karya seni dan budaya. Yang sangat tersohor antara lain pada abad XV
hingga abad XX, ketika kaum muda melakukan reformasi budaya di seluruh dunia.
Karya-karya
seni dan budaya yang mulanya cuma berprinsip: ”Seni untuk Seni,” di tangan
kaum muda berubah menjadi ”Seni untuk Kehidupan Manusia ”. Ketika itu kaum
muda melakukan proses perubahannya dengan sangat spektakuler. Ketika mengubah
posisi seni dan budaya dalam kehidupan manusia, dari media kontemplasi
menjadi media ekspresi.
Dalam
kaitan itulah, akhirnya proses perubahan seni dan budaya itu berkembang
menjadi proses perubahan peradaban. Selaras dengan perkembangan sains dan
teknologi, dalam fase ini kita mengenal berbagai tonggak yaitu zaman
Renaissance di Eropa, yang dimulai dari Prancis dan restorasi Meiji di
Jepang.
Secara
sambil lalu kita dapat melihat, di tangan kaum muda, seni dan budaya sebagai
media ekspresi akhirnya memberi jiwa bagi berlangsungnya revolusi dan
reformasi terhadap tatanan nilai hidup atau peradaban manusia.
Di belantika musik misalnya karya-karya kontemplatif yang formal
sebagaimana ditandai oleh kreasi-kreasi Johan Sebastian Bach, Beethoven,
Mozart, dan genrenya mengalami revolusi luar biasa ketika The Beatles
menjadikan musik sebagai media ekspresi, termasuk pilihan cara serta gaya
tampil yang lebih independen.
Demikian pula halnya dengan revolusi yang dilakukan kelompok Deep
Purple, Mick Jagger (Rolling Stones), dan banyak lagi. Melalui proses
revolusi yang selaras dengan perkembangan sains dan teknologi itulah,
akhirnya industri rekaman musik di dunia sangat berkembang dengan pesat.
Lantas, itu mengubah posisi dunia entertainment di tengahtengah
perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Contoh sejenis dapat kita saksikan
dengan seksama pada industri perfilman dunia, seni rupa, seni sastra, dan
seni lainnya.
Di Indonesia, kita mencatat proses perubahan yang dilakukan kaum muda
juga tidak kalah spektakulernya. Dalam dunia sastra misalnya terjadi
reformasi yang bernilai historis ketika Chairil Anwar mengubah
prinsip-prinsip penulisan puisi secara lebih bebas merdeka.
Terutama dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya. Baik
generasi susastra lama yang cenderung istana sentris, feodal, dan
formalistik, maupun pujangga baru yang kelihatan masih ragu-ragu menempatkan
sastra sebagai media ekspresi. Chairil Anwar dengan kreasi-kreasinya yang
monumental dalam usianya yang sangat muda sanggup mewarnai perubahan konsepsi
pemikiran kita tentang kesenian.
Proses perubahan semacam itu akhirnya terus bergulir ketika Rendra
menghadirkan puisipuisi pamflet dan mengubah performa seni deklamasi.
Selanjutnya kita juga mencatat nama-nama kaum muda yang secara berani,
jenius, dan orisinal menampilkan platform baru bagi kesenian kita.
Misal Sutardji Calzoum Bachri dan Remy Sylado di dunia sastra; Putu
Wijaya dan Riantiarno di panggung teater; Koes Plus, Panbers, Harry Roesli,
Iwan Fals, Jockie S - Chrisye - Eros Djarot, Addie MS, dan sebagainya di
belantika musik; Dede Eri Soepria di kavling seni rupa; Garin Nugroho, Rizal
Mantovani, Arya Kusumadewa di layar perfilman; Warkop, Pancaran Sinar
Petromaks, Sersan Prambors, dan Bagito dalam seni komedi.
Banyak contoh-contoh lainnya. Dari sejumlah nama-nama sohor yang kita
sebutkan di atas tampak bahwa dalam perspektif kaum muda, seni dan budaya
tidak lagi diposisikan sebagai media kontemplasi dan perenungan saja. Dalam
kapa-sitasnya sebagai media ekspresi, di tangan kaum muda, seni dan budaya
mengalam proses demokratisasi yang sangat luar biasa yaitu proses pembebasan
alias kemerdekaan seni dan budaya dari segenap pakem atau standardisasi yang
pada masa lampau ditentukan egosentrisme penguasa dan bahkan senimannya itu
sendiri.
Di tangan kaum muda, seni dan budaya tumbuh dan berkembang, selaras
dengan proses perkembangan serta perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena
itu, dapat dikatakan bahwa dunia kesenian merupakan ruang demokratis yang
memberi kemungkinan setiap orang menunjukkan potensi, kreativitas, dan
kualitasnya.
Lantaran karya seni itu berkembang berbarengan dengan perkembangan
zaman, setiap karya seni dan budaya yang telah terlahir mestilah merupakan
cermin otentik dan abadi sebagai kesaksian zaman itu sendiri. Karena itu,
setiap karya seni dan budaya dapat dibilang sebagai ”potret berwarna” suatu
zaman yang tidak dapat direkayasa atau dimanipulasi oleh kepiawaian dan kecanggihan
teknologi apa pun.
Yang menarik untuk dicatat adalah pada setiap zaman, di tangan kaum
muda, selalu saja muncul seni pembebasan yaitu karya seni yang
mengekspresikan pemikiran-pemikiran baru yang membebaskan seni dari dominasi
bidang lain. Terutama politik dan ekonomi. Dalam perkembangan sejarah bangsa
Indonesia, kita mencatat bagaimana para seniman muda menunjukkan
integritasnya untuk menyuarakan serta mengekspresikan semangat pembebasan
itu.
Zaman telah mencatat misalnya bagaimana Koes Plus, Rendra, dan beberapa
seniman lainnya telah menjadi tumbal semangat pembebasan itu. Sementara itu,
kita juga mencatat Iwan Fals dan Rhoma Irama telah menjadi icon-icon suara
pembebasan yang menunjukkan populisme (jiwa kerakyatan) di zamannya.
Bahkan, mungkin, goyang Inul juga mencerminkan semangat pembebasan yang
mewakili semangat ”kaum pesisir dan kaum pinggiran”. Walau apa yang
dilakukannya mengalir begitu saja, tanpa direncanakan dan disiapkan sebagai
ekspresi pembebasan yang kompleks. Atau, mungkin, itulah potret bangsa yang
sedang sakit selesma. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar