Pencabutan
Hak Politik
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 29 November 2014
Masyarakat
bersorak gembira ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
mengabulkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
menjatuhkan hukuman pidana tambahan, pencabutan hak politik, terhadap mantan
Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol Djoko Susilo.
Djoko
Susilo yang terbukti melakukan korupsi dalam proyek Simulator SIM selain
dijatuhi hukuman penjara dan kewajiban mengembalikan harta hasil korupsi
kepada negara, juga dijatuhi hukuman pencabutan hak politik, yakni tidak
boleh menggunakan hak memilih atau dipilih. Dukungan masyarakat juga
terdengar riuh saat Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman yang sama terhadap
Anas Urbaningrum.
Seperti
halnya Djoko, Anas Urbaningrum dijatuhi hukuman penjara, pengembalian harta
hasil korupsi kepada negara, dan pencabutan hak politik. Dua hari lalu (Kamis, 27/11/ 2014), mantan Bupati
Bogor Rachmat Yasin, selain dijatuhi pidana pokok juga dijatuhi pidana
tambahan, pencabutan hak untuk dipilih. Masyarakat menganggap wajar jika hak
politik koruptor dicabut.
Substansi
hak politik yang dicabut, menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, adalah hak
untuk memimpin atau ikut menentukan pemimpin masyarakat. Menurut Busyro,
orang yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi tidak pantas diberi kesempatan untuk memimpin atau menentukan
pemimpin masyarakat.
Tentu
ada yang mengkritik hukuman pencabutan hak politik itu sebagai hukuman yang
melanggar hak politik dalam hukum hak asasi manusia (HAM). Ada juga yang
melancarkan kritik bahwa hukuman tampahan itu berlebihan. Paling tidak, sang
terhukum atau kuasa hukum atau kawan serumpun sang koruptor yang dijatuhi
hukuman tambahan itulah yang melancarkan kritik.
Kita
bisa mengabaikan kritik bahwa hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik
itu merupakan pelanggaran atau pengurangan HAM. Sebab setiap hukuman itu pada
dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran itu diperbolehkan
berdasarkan undang-undang (UU).
Mengurung orang di jeruji penjara atau merampas harta bendanya juga
merupakan pelanggaran HAM, tetapi dengan alasan tertentu yang diatur dengan
dan di dalam UU maka HAM setiap orang itu bisa dirampas atau dikurangi. Itu
bersesuaian dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Yang menarik untuk diperhatikan dan tak bisa diabaikan adalah
kritik bahwa hukuman pencabutan hak politik itu berlebihan.
Berlebihan karena tanpa dijatuhi hukuman tambahan seperti itu pun orang
yang terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman karena korupsi
memang secara otomatis tercabut hak politiknya untuk menjadi pejabat publik.
Kalau ditelusuri satu per satu, semua UU yang terkait dengan peluang untuk
menduduki jabatan publik memang melarang orang yang pernah dijatuhi hukuman
pidana karena korupsi untuk menduduki jabatan publik.
Untuk menjadi pegawai negeri sipil, menjadi anggota DPR/DPD/DPRD,
menjadi hakim agung atau pejabat negara lainnya disyaratkan tidak pernah
dijatuhi hukuman pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun atau lebih. Koruptor adalah pelaku tindak pidana yang
ancaman hukumannya di atas lima tahun sehingga tanpa dimasukkan dalam vonis
pengadilan pun pencabutan hak politik itu langsung berlaku padanya.
Untuk apa lagi menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik jika
hukuman itu sudah otomatis berlaku karena ketentuan berbagai UU? Jadi tidak
salahlah para pengkritik yang mengatakan bahwa KPK, Pengadilan Tipikor, dan
Mahkamah Agung berlebihan dalam menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik
itu.
Ia membuat produk hukum dan hukuman yang tumpang tindih, menjatuhkan
hukuman yang sudah otomatis berlaku bagi koruptor tanpa dimasukkan dalam
vonis pengadilan. Kesan berlebihan dan tumpang tindih ini semakin terasa
manakala kita melihat pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencabutan
hak politik ini.
Melalui putusan No 4/PUUVII/ 2009 (tanggal 24 Maret 2009) MK telah
menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional
tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Batasan-batasannya, antara lain,
pencabutan hak itu hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai
menjalankan hukumannya, jabatan yang boleh diduduki itu hanya jabatan yang
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan dan bukan jabatan yang diraih karena
pengangkatan atau penunjukan.
Satu syarat lainnya adalah yang bersangkutan harus mengumumkan kepada
rakyat pemilih bahwa dirinya pernah dihukum penjara karena tindak pidana yang
pernah dilakukannya. Jadi setelah lima tahun selesai menjalani hukuman yang
bersangkutan boleh mencalonkan diri untuk menjadi presiden, anggota DPR/DPD/
DPRD, gubernur, bupati/wali kota, dan sebagainya.
Tapi yang bersangkutan tidak boleh diangkat dalam jabatan-jabatan yang
tidak melalui pemilihan oleh rakyat seperti PNS, menteri, duta besar, dan
sebagainya. KPK, Pengadilan Tipikor sampai Mahkamah Agung memang tidak salah
dalam hal ini. Lembaga-lembaga tersebut hanya terasa melakukan hal yang
sangat berlebihan karena menjatuhkan hukuman yang memang sudah otomatis
berlaku sebagai hukuman.
Ketidaksalahan lembaga-lembaga tersebut tampak dari isi penghukuman
bahwa hak politik yang dicabut itu mencakup hak dipilih dan memilih. Padahal
di dalam berbagai UU maupun putusan MK pencabutan itu tertuju pada hak untuk
menjadi pejabat publik.
Namun hukuman pencabutan hak politik itu terasa berlebihan sebab secara
psikologis dan sosiologis pencabutan hak memilih tak dirasakan sebagai
hukuman. Yang dirasakan sebagai hukuman adalah pencabutan hak untuk dipilih
dan menduduki jabatan publik yang sudah ada di berbagai UU dan putusan MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar