Debat
Keadilan Subsidi BBM
Yusuf Wibisono ; Ketua Program Studi S1 Ilmu Ekonomi Islam FEUI
|
KORAN
TEMPO, 24 November 2014
Pencabutan
subsidi bahan bakar minyak kembali menuai penolakan publik secara keras.
Secara ekonomi, subsidi bukanlah sesuatu yang tabu. Yang menjadi isu adalah
bagaimana desain subsidi agar efektif dan tepat sasaran. Desain subsidi
terbaik adalah subsidi yang diarahkan dan tepat diterima oleh mereka yang berhak
(targeted subsidy). Namun
permasalahan terbesar targeted subsidy
adalah, implementasi program membutuhkan basis data yang akurat, by name by address, dan selalu
diperbarui secara berkala. Tanpa basis data yang kuat, subsidi akan
menghadapi masalah kebocoran yang masif.
Penargetan
subsidi BBM agar tepat sasaran sulit dilakukan. Sebab, adanya kemudahan
transportasi dan distribusi membuat pengalihan penggunaan dan penjualan di
pasar gelap hampir tidak mungkin dihalangi. Terlebih lagi dengan wilayah
geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri atas kepulauan yang
dipisahkan oleh lautan. Subsidi BBM semakin tidak tepat sasaran ketika
disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi semakin lebar.
Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM juga terjadi dalam dimensi regional di
mana sekitar 60 persen BBM bersubsidi habis di Jawa-Bali saja.
Dalam
konteks inilah, subsidi terhadap barang dan jasa yang hanya dikonsumsi
masyarakat miskin (self-targeted
subsidy program), seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan
operasional untuk puskesmas dan sekolah, hingga subsidi kereta api kelas
ekonomi, menjadi menjanjikan karena diyakini jauh lebih tepat sasaran dan
terhindar dari masalah targeting.
Karena
itu, terlepas dari defisit APBN dan minimnya ruang fiskal, subsidi BBM sudah
selayaknya dicabut. Jika subsidi BBM berlanjut, berbagai distorsi dalam
perekonomian akan semakin kuat, terutama semakin tidak terkendalinya alokasi
anggaran subsidi BBM karena permintaan yang semakin tinggi, khususnya dari
kendaraan bermotor pribadi. Subsidi BBM didominasi oleh bensin Premium dan
solar, yang 97 persen dan 85 persen distribusinya disalurkan melalui SPBU,
yang konsumennya sebagian besar adalah kendaraan bermotor pribadi. Kemacetan
di berbagai kota besar akan semakin meningkat menuju kemacetan total (grid-lock).
Dengan
demikian, manfaat terdekat dari menghentikan subsidi BBM adalah struktur APBN
yang lebih sehat, sehingga belanja untuk sektor yang lebih penting dapat
ditingkatkan. Seluruh inefisiensi perekonomian yang terkait dengan BBM juga
dapat ditekan, seperti lonjakan penjualan kendaraan bermotor pribadi dan
penambahan ruas jalan tol. Dengan konsumsi BBM yang lebih sehat karena tidak
lagi terdistorsi oleh subsidi, tekanan terhadap impor BBM akan menurun, neraca
pembayaran luar negeri lebih sehat, dan nilai tukar lebih stabil.
Meski
pencabutan subsidi BBM memiliki banyak rasionalitas, dampak negatif kebijakan
ini tidak bisa diremehkan dan harus diminimalkan dengan berbagai affirmative policy dan program
kompensasi. Dampak terbesar adalah kenaikan harga secara umum karena posisi
BBM sebagai input produksi yang penting dan signifikan di semua sektor
perekonomian. Ketika inflasi tidak dapat dihindarkan, daya beli masyarakat
tergerus, sehingga berpotensi melonjakkan angka kemiskinan. Kenaikan biaya
produksi juga berpeluang menyebabkan naiknya harga barang dan turunnya daya
saing sehingga memicu kebangkrutan atau relokasi industri sehingga angka
pengangguran meningkat. Kombinasi kemiskinan dengan pengangguran berpotensi
memicu kerawanan sosial.
Meski
timing pencabutan subsidi ini sudah cukup tepat, di saat secara historis
inflasi rendah dan di periode honeymoon,
sayangnya kita tidak melihat pentahapan dalam pencabutan subsidi BBM. Di sisi
lain, pemberian kompensasi bagi pihak yang akan terkena beban paling besar
dari pencabutan subsidi BBM ini tidak dipersiapkan secara memadai.
Lebih
jauh lagi, ketika subsidi BBM dicabut, kita juga tidak melihat dana hasil
penghematan subsidi BBM digunakan untuk affirmative
policy seperti membangun sarana transportasi massal yang dapat dirasakan
hasilnya dalam waktu cepat dan dalam cara yang berkeadilan, yaitu pembangunan
bus rapid transport (BRT) dan
kereta api, khususnya untuk daerah perkotaan di Jawa dan Sumatera, bukan
justru memacu jalan tol.
Pada
saat yang sama, sebagian dana hasil penghematan subsidi BBM digunakan untuk
program kompensasi untuk "tiga kartu sakti" yang substansinya
adalah cash transfer. Meski
dibutuhkan oleh kelompok miskin yang paling rentan dan tidak mampu bekerja,
program "bagi-bagi uang" seperti ini diyakini tidak efektif karena
sangat mudah disalahgunakan untuk kepentingan politik, tingkat salah sasaran
yang tinggi, rawan korupsi, dan menimbulkan dampak negatif terhadap modal
sosial (social capital) masyarakat.
Jika kemudian penolakan terhadap kebijakan ini begitu keras, memang
sebaiknya pemerintah lebih banyak berkaca daripada menuding, terlebih ketika
Kabinet Kerja memang belum bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar