Bahasa
dan Kekerasan
Flo K Sapto W ; Praktisi Pemasaran
|
KORAN
TEMPO, 24 November 2014
Baku
tembak antara satuan TNI Yonif 134 Tuah Sakti dan Brimob Kepolisian Daerah
Kepulauan Riau, Batam, salah satunya dipicu oleh percekcokan di kios bahan
bakar minyak (Koran Tempo, 20 November
2014). Percekcokan lain yang diawali dengan sebuah cuitan di Twitter pada
gilirannya juga memicu tawuran antara pelajar SMA 60 dan SMA 109 Jakarta.
Bahasa
sebagai pemicu dalam kedua pertikaian di atas awalnya hanyalah ekspresi dari
sebuah ketidakberterimaan. Sayangnya, bahasa dirasakan tidak cukup untuk
mengekspresikan segala ketidakberterimaan itu. Akibatnya, ketidakcukupan itu
kemudian dialihkan ke sebuah naluri dasar fisik melalui kekerasan. Sebuah
situasi yang agaknya merupakan kemunduran dari peradaban kemanusiaan. Mirip
dengan perilaku manusia purba sebelum muncul tradisi literer. Kekuatan otot
yang termanifestasikan dalam dominasi kekerasan fisik dianggap lebih unggul.
Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, manakala justru terjadi pada institusi
terdidik (pelajar, prajurit). Secara lebih spesifik, apakah bahasa
(Indonesia) dengan demikian gagal menjadi bahasa penjaga perdamaian dan pilar
peradaban?
Terkait
dengan hal itu, sebuah kajian awal tentang penggunaan ragam bahasa kasar,
halus, dan lugas di dunia industri memberikan hasil menarik. Ketiga jenis
ragam bahasa tersebut adalah yang digunakan untuk komunikasi imperatif,
evaluatif, maupun sekadar teguran yang berkaitan dengan kinerja. Menariknya,
tidak ada satu pun responden yang memilih ragam bahasa kasar (menyakitkan dan
merendahkan) sebagai opsi. Sedangkan opsi ragam bahasa halus (menyarankan)
dipilih oleh 48 persen responden. Selanjutnya, opsi ragam bahasa lugas (to
the point) dipilih oleh 52 persen responden. Uniknya, sebagian besar
responden (65 persen) berusia di atas 36 tahun dan bergaji di atas Rp 11 juta
(40 persen). Secara umum, profil responden tersebut bisa diasumsikan sebagai
pekerja yang sudah mapan dalam karier dan pendapatan. Posisi ini tentu
didapatkan melalui sejumlah pengalaman panjang di dunia kerja atau usaha.
Rentang pengalaman itu semestinya juga bersinggungan erat dengan berbagai
jenis ragam bahasa perintah, kritik, teguran, dan evaluasi.
Dengan
demikian, dari profil responden tersebut, setidaknya bisa ditarik dua buah
kesimpulan. Pertama, jika pilihan responden yang sudah berpengalaman di dunia
kerja tersebut memang dijadikan acuan--yaitu pada ragam bahasa halus dan
lugas--tentunya pilihan ini sudah melalui sebuah proses pengendapan. Dengan
demikian, jika pilihan jenis ragam bahasa tertentu berkorelasi positif
terhadap kecenderungan berbahasa, golongan responden ini juga tidak akan
menggunakan ragam bahasa di luar pilihannya.
Kedua,
pilihan terhadap jenis ragam bahasa halus dan lugas tersebut sekadar
merupakan manifestasi dari kebaikan universal. Dengan kata lain, disadari
atau tidak, responden sangat dimungkinkan--pernah dan ada
kecenderungan--menggunakan ragam bahasa kasar dalam situasi tidak normal.
Apakah ini sebuah hipokritisme berbahasa?
Terkait dengan tindak kekerasan, satu hal sederhana namun pasti adalah
bahwa ragam bahasa kasar sangat berpotensi menimbulkan respons serupa, entah
dalam bentuk bahasa maupun lainnya. Persis dengan prinsip jual-beli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar