Menyongsong
Suksesi Partai Golkar
Romanus Ndau Lendong ; Kader Partai Golkar
|
MEDIA
INDONESIA, 27 November 2014
KEBERADAAN Partai Golkar dalam
pentas politik nasional terus mengalami kemerosotan. Setelah sukses meraih
posisi puncak di Pemilu 2004 di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, selanjutnya
posisi partai itu terus merosot. Pada Pemilu 2009, perolehan kursi DPR RI
sebanyak 106 dan pada 2014 tinggal 91. Penurunan akan terus terjadi kalau
Golkar tidak cermat memilih pemimpin baru dalam musyawarah nasional (munas)
nanti.
Sialnya, desakan perlunya
suksesi kepemimpinan dikhawatirkan gagal oleh meluasnya manuver Ketua Umum
Golkar Aburizal Bakrie (Ical) untuk kembali berkuasa.Jelas, itu langkah
mundur karena berpotensi membuat partai itu terus terdegradasi. Niat Ical
juga memicu perlawanan serius dari generasi muda yang mendesak pembaruan
mendasar di partai itu.
Tiga persoalan
Secara politik, Ical memang
memiliki hak untuk kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin Golkar lima
tahun ke depan. Namun, sosok dewasa dan arif tentu tidak melihat hak di atas
segala-galanya. Di atas hak ada etika. Ical perlu wawas diri dan tampil
sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan yang lebih besar ketimbang
terusmenerus meraih kekuasaan tetapi miskin prestasi. Kader Golkar yang
hari-hari menggebu mendukung pencalonan Ical juga hendaknya berpikir ulang
terkait dengan tiga persoalan serius yang menandai kepemimpinan Ical selama
ini.
Pertama, persoalan integritas.
Demi meyakinkan peserta Munas Riau 2009, Ical menjanjikan untuk membangun
gedung 20 lantai dan menyediakan dana abadi Rp1 triliun. Janji tersebut
sempat mengobarkan optimisme bahwa Ical akan menjadi energi yang
mengakselerasi kemajuan Golkar. Akan tetapi, sampai akhir jabatannya, janji
tersebut tidak pernah terealisasi. Soal itu memantik pergunjingan luas
sekaligus membuyarkan respek kader terhadap Ical.
Ingkar janji tersebut merupakan
persoalan serius sebagai indikasi rendahnya integritas Ical. Jelas, itu
masalah serius sebab Ical gagal tampil sebagai teladan. Padahal, pemimpin
yang baik dan sukses harus didukung integritas terpuji yang diukur dari
konsistensi antara perkataan dan tindakan. Tanpa integritas, politik tidak
lebih dari rangkaian kebohongan yang membuat rakyat semakin risih dan jijik
dengan perilaku elite.
Kedua, miskin prestasi. Catur
sukses yang digadang-gadang Ical, yakni sukses konsolidasi, sukses
kaderisasi, sukses demokrasi dan pembangunan, serta sukses Pemilu 2014 ternyata
`jauh panggang dari api'. Kegagalan tersebut menjadi sempurna karena Golkar
juga tidak mengajukan capres/cawapres dalam Pemilihan Presiden 2014.
Ketiga, antidemokrasi. Dalam
berbagai kesempatan Ical selalu mengingatkan kadernya tentang transformasi
Golkar dari partai massa menjadi partai kader. Ide-ide, gagasan, dan inovasi
merupakan jantung dari partai kader. Itu berarti penguasaan ide-ide, gagasan,
dan inovasi yang memadai seharusnya menjadi determinasi bagi proses rekrutmen
kader.
Akan tetapi, gagasan tersebut
hanya indah di atas kertas. Rekrutmen kader justru masih tradisional,
feodalistik, dan transaksional. Faktor senioritas, kedekatan dengan elite,
dan kepemilikan kapital justru terus mendominasi. Suksesi politik di partai
itu dirasakan semakin mahal. Akibatnya, kader Golkar yang sukses meraih
posisi strategis ditanggapi sinis karena semata-mata didukung faktor kapital
tetapi miskin secara intelektual dan moral.
Sikap antidemokrasi yang
didemonstrasikan Ical semakin telanjang semenjak Pemilihan Presiden 2014.
Kader-kader yang mendukung Jokowi-JK seperti Nusron Wahid, Agus Gumiwang
Kartasasmita, dan Poempida Hidayatullah dipecat.Ical juga terkesan
semena-mena dan antidialog dengan memberhentikan kader-kader yang bersikap
kritis seperti Yoris Raweyai (dipecat dari ketua AMPG) dan Zainuddin Amali,
Ketua DPD Jatim (karena mendukung pilkada langsung). Sikap antidemokrasi dan
main pecat tersebut kini menyandera semua DPD I dan DPD II sehingga dengan
terpaksa memberikan surat pernyataan dukungan bagi pencalonan kembali Ical.
Stabilisator KMP?
Hal yang mengejutkan ialah
akhir-akhir ini muncul penilaian bahwa Ical sukses karena tampil sebagai
pemimpin di Koalisi Merah Putih (KMP). Itu jelas ironi karena soal tersebut
tidak tercantum dalam catur sukses. `Keberhasilan' di KMP jelas tidak memadai
untuk mengompensasi kegagalan Pemilu 2014. Sama sekali tidak ada urgensi
untuk menjaga stabilitas KMP sebab tidak memiliki dampak signifikan bagi
cita-cita kemenangan Golkar di masa depan.
Pertama, persepsi publik tentang
KMP amat negatif. Sulit diingkari bahwa KMP tampil sebagai antagonis terhadap
Jokowi-JK. Hal itu jelas terlihat dari manuver dan perilaku politik KMP yang
terkesan kurang sportif sehingga enggan memberikan pengakuan terhadap Jokowi-JK.
Kalau pun kemudian elite KMP seperti Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, dan Ical
bertemu dengan Jokowi-JK, semangat tersebut belum ditindaklanjuti kader-kader
KMP di Senayan. Ambisi sapu bersih untuk posisi-posisi strategis di parlemen
ialah wujud dari antagonisme tersebut.
Kedua, pilihan politik rakyat
tidak ditentukan kemampuan mendominasi posisi-posisi strategis di Senayan.
Apalagi rakyat terlanjur sinis dengan debat-debat parlemen yang lebih
digerakkan nafsu kekuasaan ketimbang ekspresi kepedulian terhadap perbaikan
nasib rakyat. Itu berarti, tampilnya Ical sebagai pemimpin sekaligus
stabilisator KMP jelas tidak berkorelasi positif dengan upaya perbaikan citra
Golkar sebagai kekuatan politik yang senantiasa terlibat langsung dan
berkarya secara konkret untuk rakyat. Mudah dipahami jika banyak pihak
khawatir dengan nasib Golkar apabila kembali dipimpin Ical.
Tantangan
Golkar di masa depan semakin berat sehingga mendesak untuk dipikirkan secara
matang bagaimana menyikapinya. Suksesi merupakan tuntutan mendesak. Partai
itu sangat kaya dengan kader-kader muda yang berwawasan luas dan
berintegritas tinggi. Airlangga Hartarto, Hajriyanto Y Tohari, Agus Gumiwang Kartasasmita, Priyo Budi
Santoso ialah beberapa nama yang sedang muncul ke publik. Meski kurang
populer dan terkesan kurang percaya diri, jika diberi kesempatan dan dukungan
penuh, yakinlah nama-nama tersebut akan mampu membuat Golkar bisa kembali
hadir sebagai kekuatan politik yang amat pantas diperhitungkan di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar