Tantangan
Berat Jaksa Agung Baru
Mas Achmad Santosa ; Mantan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK;
Mantan Anggota Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum
|
KOMPAS,
28 November 2014
KONDISI penegakan hukum di Indonesia telah berada di titik yang sangat
mengkhawatirkan. Publik, termasuk kalangan bisnis, sulit merasakan ada
kepastian hukum dan keadilan. Tidak jarang hukum digunakan untuk
”mengkriminalisasi” mereka yang tidak bersalah atau bahkan ”melindungi”
mereka yang bersalah. Persepsi masyarakat terhadap penegakan hukum dan
institusi penegak hukum di Indonesia pun sangat negatif. Berdasarkan hasil
survei World Justice Project tahun
2014, nilai indeks negara hukum (rule
of law index) Indonesia terkait aspek penegakan hukum secara umum berada
di antara skor 0,34 (dengan 1,00 sebagai nilai tertinggi).
Salah satu penyebab kondisi di atas adalah masalah korupsi di instansi
penegak hukum, termasuk kejaksaan sebagai pilar penting penegakan hukum di
Indonesia. Menurut Global Corruption
Barometer Survey tahun 2013, institusi pengadilan dan kejaksaan
dipersepsikan sebagai salah satu institusi terburuk, yakni dengan nilai 4,4
(nilai 1 adalah sangat bersih dan 5 adalah sangat korup).
Praktik korupsi secara umum dan di instansi penegak hukum ini
mengakibatkan rendahnya daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain,
bahkan termasuk yang paling rendah di negara ASEAN lain, sebagaimana
dipaparkan dalam KPMG Corruption’s
Impact on the Business Environment (2013).
Akar
permasalahan
Jika ditelusuri lebih jauh, akar masalah yang mengakibatkan kondisi di
atas terutama bersumber dari kelemahan organisasi institusi penegak hukum,
termasuk kejaksaan. Kelemahan organisasi yang paling utama adalah kelemahan
leadership (visi, keberanian, dan keteladanan), kelemahan sistem manajemen
sumber daya manusia, kelemahan pola penanganan perkara, dan kelemahan sistem
pengawasan.
Oleh karena itu, agenda prioritas dari pemerintahan, terutama Jaksa
Agung baru, adalah memperkuat
organisasi kejaksaan. Meski selama ini kejaksaan telah melakukan berbagai
program untuk menjawab masalah di atas (misalnya melalui program reformasi
birokrasi serta pelaksanaan Inpres Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi),
belum terlihat perbaikan kondisi yang signifikan belum terlihat.
Hal ini disebabkan antara lain program-program ”pembaruan” dijalankan
secara proforma (tidak genuine),
tidak ”radikal”, piecemeal (tidak komprehensif), serta tidak didukung
anggaran yang memadai.
Pekerjaan
jangka pendek
Menjawab akar persoalan di atas, pada titik inilah kejaksaan perlu
melahirkan dan membentuk kepemimpinan yang memiliki visi, keberanian, dan
keteladanan. Seleksi ketat pejabat strategis, seperti wakil jaksa agung,
jaksa agung muda, para sekretaris jaksa agung muda, para kepala kejaksaan
tinggi (kajati), dan para direktur di posisi-posisi strategis, perlu
dilakukan segera.
Seleksi ulang ini untuk memastikan ada dukungan internal dalam
melakukan perubahan dan melahirkan agen perubahan (agent of change) dalam jumlah yang memadai untuk mendorong
kerja-kerja pembenahan. Untuk menjadi bagian dari motor pembenahan, para
pejabat kejaksaan harus memenuhi persyaratan, (1) memiliki integritas tinggi,
(2) mampu mengelola proses perubahan dan organisasi, (3) memiliki pemahaman
atas organisasi dan visi yang baik.
Seleksi ulang sebaiknya dilakukan dengan kerja sama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), serta profesional (untuk pelaksanaan assessment individu).
Apabila Jaksa Agung telah melakukan seleksi ketat pejabat-pejabat di
atas untuk mendampinginya, ia perlu membentuk tim untuk membantu proses
percepatan pembenahan. Tim beranggotakan figur yang berintegritas dan
memiliki pemahaman atas masalah dan kebutuhan organisasi serta didukung
tenaga profesional. Buka pintu bagi keterlibatan pakar-pakar luar untuk ikut
membenahi kejaksaan.
Selanjutnya, pemetaan dan pengawalan pekerjaan yang tertunggak yang
bersifat prioritas perlu dilakukan segera, terutama pekerjaan menangkap para
buron pelaku kejahatan yang berada di Tanah Air dan di luar negeri, serta
pengembalian aset-aset hasil kejahatan yang berada di dalam dan luar negeri (asset recovery). Sebagaimana janji
Nawa Cita, penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa
lalu juga merupakan pekerjaan rumah yang ditunggu masyarakat.
Sejak awal memulai tugasnya, Jaksa Agung harus membangun dan
mengomunikasikan semangat perubahan dan menerapkan secara konsisten budaya
organisasi yang baru, misalnya menjatuhkan sanksi keras dan tegas bagi mereka
yang melanggar aturan serta diumumkan kepada masyarakat, melarang budaya
menjamu atasan, atau melaksanakan kegiatan yang anggarannya tidak jelas,
mengumumkan anggaran untuk tiap-tiap unit (agar ada kontrol dari bawahan),
membuka saluran komunikasi dan pengaduan masyarakat yang efektif (termasuk
penerapan whistleblowing system),
serta membangun hubungan kerja yang efektif dengan lembaga pengawas
eksternal, seperti Ombudsman RI dan Komisi Kejaksaan.
Akhirnya, koordinasi efektif dengan instansi penegakan hukum,
kementerian, dan lembaga terkait, seperti KPK, Kepolisian Negara RI, Mahkamah
Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Keuangan, yang telah dirintis oleh
Jaksa Agung terdahulu, Basrief Arif, harus semakin ditingkatkan
efektivitasnya.
Program Kabinet Kerja di bidang hukum yang bersandar pada Nawa Cita
adalah melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan tepercaya. Jaksa Agung memiliki peran sentral dalam
mewujudkan hal ini.
Pada titik inilah masyarakat menunggu gebrakan dan langkah nyata Jaksa
Agung baru untuk mengatasi kelemahan organisasi kejaksaan yang menggambarkan potret
buram penegakan hukum Indonesia. Inilah tantangan berat Jaksa Agung baru.
Satu tantangan yang membutuhkan keberanian dan keteladanan dalam mengurai
benang kusut di wilayah penegakan hukum Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar