Fung
Seng
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
Anthony Salim lebih sering
mengenakan baju batik ketimbang baju jenis lain. "Saya pakai batik karena saya suka batik. Ada orang-orang yang
menyukai pakai Gucci karena mereka ingin dilihat berbaju merek itu. Biar
saja. Bagi saya, saya pakai batik karena nyaman."
Sosok Anthony, putra Liem Sioe
Liong yang melanjutkan jaringan bisnis raksasa ayahnya, juga setelah rezim
Soeharto yang mendukungnya jatuh, dilukiskan secara hidup dalam buku Liem
Sioe Liong's Salim Group yang ditulis Richard Borsuk dan Nancy Chng, yang
terbit pada 2014 ini -- agaknya buku terbagus selama 10 tahun terakhir tentang
sejarah bisnis di Indonesia.
Anthony, menurut buku ini,
"tajam" dalam memandang kesempatan bisnis. Anthony berani ambil
risiko. Anthony yang sejak kecil menunjukkan gairah bisnis. Anthony yang
dipilih ayahnya, meskipun bungsu, buat jadi pengganti. Anthony yang berbeda
dari kakak sulungnya, Albert.
Albert, menurut ayahnya, anak
yang "sedikit malas", "gemar main gitar dan mobil balap".
Sebaliknya Anthony: tak suka dandan, pakai kacamata model kokok-beluk gaya
lama, dan tetap mengenakan kaus merek 777 produksi pabrik tekstil ayahnya di
masa lalu.
Sambil setengah bercanda,
Anthony menjelaskan apa yang tersirat dari batik. Desain batik yang rumit,
katanya, itu mirip cara berbisnis di Indonesia. "Batik berbeda dari
desain Burberry yang bergaris-garis sangat jelas, clear-cut, yang kotak dan
batasnya segera tampak," katanya. Sementara itu, "Motif batik
selalu agak gelap." Batas-batasnya "kabur". Tapi di tengah
itu, "Bagaimana juga situasinya, kita akan dapat survive!"
Nama kecilnya Liem Fung Seng.
Arti harfiahnya "menemu kehidupan", selamat dan hidup terus dari
bencana. Hanya beberapa pekan sebelum ia lahir, pada 1949, ayahnya, pedagang
yang waktu itu masih belum makmur, hampir tewas karena kecelakaan mobil. Si
bungsu seakan-akan isyarat bahwa hidup bisa menjumpainya lagi. Berpuluh tahun
kemudian, setelah krisis ekonomi 1997 mengguncang konglomerasi ayahnya --
disebut "Grup Salim" -- Fung Seng juga yang menemukan hidup kembali
bagi usaha keluarga itu.
Riwayat usaha keluarga itu,
seperti lazimnya kisah pebisnis di Indonesia --apalagi bila ia keturunan
Tionghoa -- memang bukan berlangsung di atas garis-dan-petak ala Burberry.
Tapi Liem Sioe Liong memang berhak mengatakan ia mujur. Ia sangat percaya
kepada feng shui. Ia tak mau merombak rumahnya yang tak mentereng di Jalan
Gunung Sahari, Jakarta. Dengan alasan yang sama, di masa jayanya ia
membiarkan makam ayah dan kakeknya yang sangat bersahaja di bukit di
Niuazhai, sebuah dusun di Kota Fuqing, di Provinsi Fujian, di pantai Tiongkok
sebelah tenggara.
"Saya
beruntung," katanya sebagaimana dikutip Borsuk dan Chng. "Saya kerja dan saya berkembang.
Kalau misalnya saya hidup di Afrika, Timur Tengah, pegimana saya bisa kerja?
Waktu, tempat, dan keberuntungan -- ini yang ndak bisa diubah."
Tapi ia bisa membuat tempatnya
berubah: meninggalkan dusun tempat ia dilahirkan.
Di desa itu berlaku ucapan "jiu nian han, yi nian zai"
(sembilan tahun kekeringan, satu tahun bencana). Antara gersang dan banjir,
antara gunung dan pesisir, tanah pertanian itu nyaris tak bisa ditanami. Orang
tua Liem, yang punya 11 anak, bukan peladang yang paling melarat. Tapi hidup
tak gampang.
"Kami kebanyakan makan apa
yang kami tanam," Liem mengisahkan masa kecilnya. "Jarang ada
daging tersedia di meja." Hasil ladang juga tak menentu. Uang cepak. Orang
terkadang harus pinjam ke lintah darat.
Liem muda berusaha bertahan. Ia
berdagang mi mentah. Tapi pada 1937, ketika musim kering melanda, ayahnya
meninggal, setelah pulang memikul ubi. Hidup berubah. Di saat itu juga Jepang
mulai menyerbu Tiongkok.
Di umur 21 tahun, Liem
meninggalkan dusunnya, mencoba naik kapal menuju Jawa. Ia nyaris gagal, tapi
akhirnya ia berhasil mendarat di Surabaya pada 1938 -- dengan kantong uang
yang dicopet. Dari Surabaya, ia ke Kudus di Jawa Tengah.
Di kota itu, Liem berdagang
pakaian yang dipikulnya berkeliling jalan kaki. Dari sini ia mulai naik.
Kudus menyenangkan hatinya. Liem merasa buah kerjanya segera tampak. Penduduk
setempat ramah. Makanan juga enak -- terutama soto Kudus.
Tapi baru di Semarang ia
meloncat. Kota ini, pada akhir abad ke-19, adalah pusat kerajaan bisnis Oei
Tiong Ham, "Raja Gula", saudagar besar pertama kelahiran Jawa yang
berhasil membangun emporium internasional.
Liem kemudian menyusul, bahkan
melampaui kejayaan itu. Tapi, sementara Oei Tiong Ham tak membangun koneksi
bisnis dengan pemerintah Belanda, Liem berbeda: ia praktis ditegakkan
kekuasaan Soeharto, jenderal yang dikenalnya sejak 1949 meskipun baru jadi
rapat dengannya setelah 1966. Liem, yang selama perang kemerdekaan dari
Semarang ikut menyalurkan barang kebutuhan ke wilayah Republik yang diblokade
Belanda, dengan gampang menemukan teman di kalangan orang militer ini.
Soeharto menjadikan pebisnis
yang jinak dan ulet ini pendukung kekuatannya -- juga jadi pendorong
pertumbuhan ekonomi. Tapi ekonomi yang terbentuk ibarat bangunan besar yang
tak stabil, sebab cuma disangga dua tiang: kekuasaan yang otoriter dan bisnis
dengan monopoli yang dipaksakan.
Tapi Liem memang beruntung dan
penggantinya, Anthony, memang Fung Seng. Soeharto jatuh dan digantikan sebuah
sistem di mana monopoli tak berlaku. Tapi Anthony -- bahkan setelah Bank BCA
lepas dari tangannya -- bisa memanfaatkan keadaan baru. Dan ia mengakui,
"Cara kita berbisnis [kini] lebih terstruktur."
Yang
kini dilupakan: pernah ada seorang mujur, yang dengan dukungan kekuasaan yang
sewenang-wenang, bisa membuat orang lain tak beruntung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar